Foto: Grace Anastasia, Anggota Komisi II DPRD Provinsi Bali dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Denpasar (Metrobali.com)-

DPRD Provinsi Bali tetap menjalankan fungsi pengawasannya terhadap kinerja Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali di tengah situasi pandemi Covid-19.

Tugas Dewan tentunya dilakukan tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan dalam upaya pencegahan penyebaran Covid-19.

Hal ini sebagaimana rapat yang dilaksanakan oleh Komisi II DPRD Provinsi Bali, bersama dengan Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Pertanian, Bapenda Provinsi Bali dan Bapedda Provinsi Bali, Senin (8/6/2020) bertempat di Ruang Rapat DPRD Provinsi Bali.

Dalam rapat ini, hal yang dibahas berkaitan dengan langkah antisipasi pelaksanaan program jaringan pengaman sosial yang dilaksanakan Pemprov Bali dalam situasi pandemi ini. Salah satu penggunaan anggarannya berasal dari Refocusing APBD Tahun 2020.

“Programnya sudah bagus, tapi perlu ditingkatan teknis pelaksaaannya pastikan tepat sasaran. Dan ini butuh bantuan masyarakat secara umum untuk mengawasinya,” ucap Grace Anastasia, Anggota Komisi II DPRD Provinsi Bali, dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menanggapi hasil rapat yang dihadirinya tersebut.

Program bantuan stimulus yang menyasar kelompok pekerja informal, koperasi, media cetak dan UMKM, lanjut Grace Anastasia, adalah program yang sangat bagus untuk menunjukkan keberpihakan pemerintah daerah kepada masyarakatnya yang terdampak pembatasan kegiatan akibat Covid-19 ini.

Setiap program bantuan yang dilaksanakan, dipastikan ada prosedur yang wajib dipenuhi. Dalam kaitan inilah kemudian seringkali niat baik pemerintah daerah dengan pemenuhan persyaratan yang telah ditetapkan, tidak dilaksanakan sesuai dengan maksud diadakannya persyaratan dimaksud.

Sebagai contoh, Grace Anastasia menjelaskan, untuk bantuan stimulus usaha bagi kelompok pekerja informal diwajibkan adanya pemenuhan syarat berupa surat rekomendasi dari Desa Adat dimana calon penerima bantuan berdomisili.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak yang tidak mendapatkan surat rekomendasi tersebut. Sebab yang bersangkutan bukan merupakan krama adat, walaupun secara administrasi kependudukannua (E-KTP) telah beralamat di wilayah dari desa adat setempat.

“Fakta tersebut merupakan salah satu bentuk ketidakselarasan pelaksanaan program yang telah ditetapkan,” ujar Grace Anastasia yang juga Wakil Ketua DPW PSI Provinsi Bali ini.

Padahal sesuai dengan penjelasan dari Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Bali yang didasarkan pada Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, bahwa tidak dibedakannya calon penerima bantuan antara krama adat (uwed), krama tamiu dan tamiu, sehingga tidak menimbulkan diskriminasi di masyarakat.

“Karenanya dapat dipastikan di tingkatan pelaksanaan masih jauh dari apa yang menjadi harapan pembuat kebijakan,” ujar Grace Anastasia.

Hal lainnya lagi, imbuh Srikandi DPRD Bali ini, adalah kelayakan dari penerima bantuan bagi kelompok pekerja informal menjadi permasalahan tersendiri dan perlu diperhatikan dengan baik.

Sebab pada faktanya, banyak para pekerja yang melakukan perkerjaan informal (seperti ojek, pedagang kelontong kecil) dilakukan hanya sebagai pekerjaan sampingan dari sumber pendapatan utamanya, yang lebih banyak dalam bentuk pengelolaan aset keluarga, seperti sewa ruko ataupun rumah kost.

Hal ini akan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat luas, jika hal ini tidak diseleksi secara ketat.

“Niat baik jika pelaksanaannya tidak didasarkan atas kesungguhan berdasarkan ketentuan yang ada, maka hasilnya pun akan buruk di hadapan publik,” tegas Grace Anastasia

“Dan mohon diingat bahwa implementasi kebijakan yang tidak tepat sasaran adalah citra buruk yang akan terus diingat oleh publik,” tutup Grace Anastasia mengakhiri pembicaraan dengan awak media. (wid)