gong kebyar

Denpasar (Metrobali.com)-

Pengamat dan pelaku seni budaya Bali, Kadek Suartaya, SS Kar, MSi menilai, gong kebyar sejak muncul di Bali utara hampir seabad yang lalu mengandalkan kebersamaan (semangat mabarung) secara berhadap-hadapan.

“Kompetisi dan potensi itu sudah menunjukkan gairahnya sejak tahun 1920-an di desa-desa Dangin Enjung (Buleleng Timur) dan Dauh Enjung (Buleleng Barat),” kata Kadek Suartaya yang juga dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Minggu (7/12).

Ia mengatakan, deru mabarung gong kebyar dinikmati masyarakat Buleleng dengan fanatisme membumbung. Gelora kompetitif semakin sengit jika digelar pentas mabarung antarsekaa gong kebyar.

Bahkan masing-masing peserta untuk mengungguli lawannya, sampai ada upaya melibatkan ilmu hitam. Hal itu menunjukkan betapa emosionalnya masyarakat Buleleng tempo dulu mencintai gong kebyar.

Kandidat doktor Kajian Budaya Universitas Udayana itu menambahkan, dari pentas-pentas mabarung di pelosok desa di Bali Utara sejak tahun 1930-an, gong kebyar merambah kawasan Bali Selatan.

Hal itu juga dikenal melalui kompetisi perwakilan kerajaan-kerajaan di Bali yang kemudian sejak tahun 1968 dengan nama “Mredangga Uttava”, yakni lomba gong kebyar se-Bali menggetarkan seantero Pulau Dewata.

Demikian pula dalam arena Pesta Kesenian Bali yang telah dirintis sejak tahun 1979, yang kemudian mengukuhkan gong kebyar sebagai seni pertunjukkan bergengsi yang diapresiasi masyarakat lewat apa yang disebut Festival atau Parade Gong Kebyar.

Suartaya menambahkan dalam forum PKB, selain mengkompetisikan gong kebyar untuk katagori usia dewasa, juga melombakan keterampilan dan penampilan kelompok anak-anak dan grup wanita.

Pada intinya materi seni yang ditampilkan dalam pentas mabarung gong kebyar PKB adalah konser gamelan dan sajian tari (fragmen tari), baik garapan seni yang merupakan pengembangan maupun presentasi karya seni baru, ujar Kadek Suartaya.AN-MB