Jakarta (Metrobali.com)-
Golkar menjadi partai pertama yang telah menetapkan nama Calon Presiden (Capres) untuk tarung Pilpres 2014. Ketua Umum DPP Golkar Aburizal Bakrie alias Ical diputuskan menjadi Capres 2014 melalui Rapimnas di Jakarta, 26-28 Oktober 2011. Pencalonan Ical sebagai Capres 2014 tanpa melalui proses Konvensi ini dinilai sebagai upaya tes pasar bagi Golkar.

Seluruh 33 DPD I Golkar se-Indonesia mengucapkan deklarasi dukungan kepada Ical sebagai Capres 2014, melalui Rapimnas di Jakarta. Deklarasi usung Ical ini dibacakan Ketua DPD I Golkar Sulawesi Tenggara, Ridwan Bae.

“Kami bersepakat mencalonkan Aburizal Bakrie sebagai Capres 2014-2019, ditandatangani 33 DPD I Golkar se-Indonesia. Semoga Allah SWT merestui. Amien,” ujar Ridwan Rae yang selanjutnya menyerahkan pigura berisi logo 33 DPD I Golkar dalam Rapimnas di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Kamis (27/10). Kendati sudah diputuskan untuk diusung ke Pilpres 2014, namun deklarasi pencapresan Ical baru akan dilakukan Golkar dalam Rapimnas 2012 mendatang. Ical sendiri menyambut dukungan itu dengan lapang dada. Artinya, Ical yang selama ini tak kunjung memberikan respons atas pencalonannya, menyatakan bersedia jadi Capres dan siap tarung di Pilpres 2014.

“Saya tidak menolak dicalonkan. Deklarasi akan kita lakukan pada Rapimnas Golkar 2012 mendatang,” ujar Ical dalam pidato tanggapan atas pencalonannya di arena Rapimnas Golkar, Kamis kemarin. Pernyataan siap dari Ical, sontak disambut gempita kader Golkar. “Hidup Pak Ical,” teriak mereka sembari tepuk tangan. Dengan bulatnya kesepakatan mengusungnya sebagai Capres 2014, Ical meminta seluruh 33 DPD I Golkar se-Indonesia untuk meningkatkan konsolidasi, sosialisasi, dan kaderisasi. Ical berharap nantinya elektabilitas yang diperoleh Golkar melebihi angka 25 persen, sedangkan angka elektabilitas Capres-nya tembus hingga 20 persen.

“Itulah soal agenda partai kita hingga 2014. Target Rapimnas III pada 2012 sebagai momentum penting. Kita tidak lagi membahas dan melihat siapa yang menjadi Capres, tapi apakah elektabilitas yang bisa dicapai partai kita memungkinkan memenangkan Pilpres?” tandas Ical yang juga mantan Menko Kesra. Dengan diusungnya Ical ke Pilpres 2014, maka Golkar menjadi satu-satunya partai yang telah memiliki Capres. Sedangkan partai besar lainnya seperti PDIP dan Demokrat, masih sebatas wacana. PDIP masih berkutat dengan polemik internal antara kembali mengusung Ketua Umum DPP Megawati atau putrinya, Puan Maharani (Ketua Bidang Politik dan Hubungan Antar Lembaga DPP PDIP) sebagai Capres 2014.

Ketua Deperpu PDIP, Taufiq Kiemas yang notabene suami dari Megawati, meminta istrinya minggir alias tidak maju lagi sebagai Capres ke Pilpres 2014 dengan dalih sudah terlalu uzur. Taufiq Kiemas pilih menyodorkan putrinya, Puan Maharani, sebagai Capres 2014. Tapi, gagasan Taufiq Kiemas ditentang para elite PDIP, karena mereka melihat belum ada figur di internal partainya yang mampu menandingi ketokohan Megawati.

Sedangkan kubu Demokrat, sejauh ini belum memiliki figur yang pasti akan diusung sebagai Capres 2014 pasca lengsernya Ketua Dewan Pembina mereka, Presiden SBY. Wacana yang berkembang, ada sederet figur yang dielus-elus Demokrat sebagai kandidat Capres 2014. Mereka, antara lain, Ani Yudhoyono (kader Demokrat yang istri SBY), Djoko Suyanto (kader Demokrat yang kini Menko Polhukam), Letjen TNI Pramono Edhie Wibowo (adik Ani Yudhoyono yang kinimenjabat KSAD), hingga Anas Urbaningrum (Ketua Umum DPP Demokrat).

Sejumlah partai menengah memang sudah memiliki figur Capres 2014, seperti Gerindra yang menjagokan Prabowo Subianto dan PAN yang menjagokan Hatta Rajasa. Namun masalahnya, Gerindra dan PAN belum tentu nanti memenuhi syarat untuk mengusung Capres berdasarkan hasil suara mereka hasil Pileg 2014 mendatang. Sedangkan trio Golkar, Demokrat, dan PDIP hampir dipastikan akan meraih suara signifikan untuk bisa mengusung Capres 2014. Fenomena yang terjadi di Golkar ini berbeda dari tradisi sebelumnya. Selama ini, Golkar selalu polih menentukan Capres pada saat-saat akhir untuk tarung Pilpres. Golkar biasanya memilih Capres melalui mekanisme Konvensi (yang melibatkan figur non kader) untuk menjaring Capres. Itu pun, Capres dari Golkar biasanya lahir setelah partai lain menetapkan figur Capres.

Dalam analisis kalangan pengamat, Golkar ngebut mencalonkan Ical lebih awal menjadi Capres 2014, sebagai upaya tes pasar. “Saya kira ini strategi test market dengan mempercepat pemasaran Capres dari Golkar. Dengan pengumuman Capres sejak dini, Golkar bisa ancang-ancang maksimal dengan melihat respons publik,” ujar pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Andi Syafrani, kepada detikcom di Jakarta, Kamis kemarin. “Saya rasa ini antisipatif untuk memberi waktu lebih panjang dan longgar hingga jelang 2014,” imbuhnya. Andi melihat, belakangan ada beberapa mekanisme yang berubah di Golkar dalam penjaringan Capres maupun Calon Kepala Daerah. Survei menjadi instrumen baru untuk mengetahui seberapa besar dukungan kalangan internal kepada sosok yang akan diusung. “Mungkin karena mereka (Golkar) merasa model seperti ini jauh lebih cepat,” tandas Andi.

Kendati mengumumkan Capres cepat-cepat, menurut Andi, Golkar dilihat bermain aman. Maksudnya, Golkar tidak tampak sedang memainkan peran sebagai anak nakal. Golkar seolah membedakan benar ranah kerja pemerintah dengan ranah lainnya.

“Golkar meminta para menterinya di kabinet fokus pada pekerjaannya, apalagi setelah reshuffle. Ical di-Capres-kan cepat dengan argumen SBY tidak bisa jadi Capres lagi. Dengan menteri kerja all out dan SBY tidak akan maju lagi, dilihat sebagai argumen yang aman, tidak akan menciptakan konflik,” papar alumnus Victoria University Melbourne, Australia ini. Ditambahkan Andi, dengan strategi tes pasar jauh sebelum Pilpres 2014, maka Golkar akan cepat mendapatkan respons, sehingga Partai Beringin cepat pula membangun sistem untuk fokus pada satu tujuan. “Negatifnya, biaya politik akan jauh lebih besar karena yang biasanya untuk 1 tahun, jadi disiapkan untuk 3 tahun. Kalau respons negatif, memang akan sia-sia karena menyangkut figur, tapi bisa cepat direspons dengan ajukan calon baru dan tahu sosok apa yang disukai (rakyat),” bebernya.

Sementara itu, Golkar dituding alami kemunduran dengan proses pen-Capres-an Ical yang tanpa melalui Konvensi. Padahal, Golkar begitu maju ketika jelang Pilpres 2004 mereka berani mengusung Wiranto yang sama sekali bukan kader struktural sebagai Capres, setelah mantan Panglima TNI itu terpilih melalui Konvensi—dengan mengalahkan Ketua Umum DPP Golkar Akbar Tandjung. “Kalau dilihat dari prosesnya, Golkar terlihat sangat mundur. Padahal, dulunya Golkar ini bisa menjadi rujukan partai lain yang memberi peluang lahirnya demokratisasi,” kritik Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, Kamis kemarin.

Titi mengatakan, jika Konvensi digelar, memang tidak ada jaminan seorang Ketua Umum DPP Golkar bisa lolos jadi Capres. Namun, dengan model Konvensi, Golkar dinilai cukup berhasil membangun konsolidasi dan soliditas politik internal, meskipun Wiranto akhirnya kalah juga di Pilpres 2004. “Dengan Konvensi, calon diuji. Ini bukan soal struktur di internal, tapi juga bisa memberi ruang yang qualified,” jelas Titi.

Titi menilai, Ical ingin mencari aman sehingga pencalonannya tanpa melalui Konvensi. “Kita menduga, tanpa Konvensi seolah ingin mengamankan sosok nomor satu yang merupakan Ketua Umum. Mereka berpikir, masa orang nomor satu tidak jadi kandidat Presiden? Pada 2009 juga penuh tarik ulur ini,” lanjut Titi. Titik mengatakan ada tiga kemungkinan, kenapa Golkar hapus Konvensi untuk menjaring Capres 2014. Pertama, karena dominasi Ical yang terlalu besar, sehingga untuk membangun kompetisi tidak terlalu besar. Kedua, khawatir fenomena 2004 akan terjadi di mana Wiranto yang maju sebagai Capres, bukannya Akbar Tandjung. Ketiga, jangan-jangan tidak ada sosok yang bisa dijual Golkar. “Dijual maksudnya bukan hanya dalam konteks popularitas, tapi juga modal,” katanya. Analisis senada juga disampaikan pengamat politik UI, Andrinov Chaniago. Dia menilai Ical takut malu jika kalah saat ikut Konvensi, sehingga model penjarinan figur Capres yang cukup demokratis ini dihapus. “Ya, tentu ada unsur ketakutannya, lebih takut malu. Kalau seandainya kalah, kan malu sebagai seorang Ketua Umum kok kalah,” jelas Andrinov.

Seharusnya, lanjut Andrinov, Ical jangan terlihat menolak mentah-mentah Konvensi. Dengan tetap melakukan Konvensi, toh keputusan akhir tetap diputuskan melalui Ical sebagai Ketua Umum Golkar. “Lebih baik melakukan Konvensi yang tidak murni persaingan, seperti Konvensi diputuskan melalui voting,” tandas Andrinov.

Pihak Golkar sendiri membela diri atas tohokan kalangan pengamat. Golkar menyatakan, penetapan Ical sebagai Capres 2014 sudah melalui prosedur demokratis, berdasarkan arus dari bawah. “Tanpa Konvensi pun, Golkar sudah paling demokratis. Jadi, apa yang disampaikan pengamat tentang Konvensi semata-mata ketidaktahuannya tentang Partai Golkar,” ujar Wakil Sekjen DPP Golkar, Lalu Mara, Kamis kemarin.