Foto: Direktur Eksekutif Federasi Pengemasan Indonesia, Hengki Wibawa.

Nusa Dua (Metrobali.com)-

WPO (World Packaging Organization) atau Organisasi Pengemasan Dunia menggelar Global Packaging Konference di Hotel Inaya Putri Bali, Nusa Dua, Badung, 6-8 November 2019. Konferensi ini membahas pertumbuhan bisnis packaging secara nasional dan internasional.

Hal menarik dan hangat lainnya yakni masih adanya anggapan bahwa industri pengsmasan seperti menjadi “kambing hitam” sebagai industri yang menyebabkan adanya timbulan sampah plastik.

Karenanya isu sampah plastik yang dianggap mencemari lingkungan merupakan tantangan bagi industri pengemasan dimana persoalan ini semakin komplek tentunya.

Karenanya lewat Global Packaging Konference, para pelaku industri kemasan dan anggota WPO ingin ikut mencari solusi atas isu sampah plastik dan pencemaran lingkungan ini.

Upaya ini dilakukan dengan mendorong terwujudnya industri pengemasan yang ramah lingkungan dalam ekosistem sirkular eknomi atau ekonomi ramah lingkungan.

“Teknologi industri kemasan terus tumbuh dan melalui kegiatan ini kalangan industri mencari teknologi yang terbaik dan belajar bagaimana produk kemasan harus bisa terlindungi di aamping juga ramah lingkungan,” ungkap Direktur Eksekutif Federasi Pengemasan Indonesia, Hengki Wibawa ditemui di sela-sela konferensi ini.

Ditambahkannya, di era digital orang tidak punya banyak waktu. Karenanya harus dicarikan formula untuk melindungi keberlanjutan produk kemasan.

Pihak industri pengemasan juga dituntut aadar akan kesehatan dengan melakukan inovasi mencari bahan yang ramah lingkungan juga aman bagi kesehatan.

“Mulai berlakunya E-Commerce tak bisa dipungkiri, industri harus bisa menjadi rantai pasok yang memiliki informasi dengan menggunakan QR code dan sebagainya,” ujar Hengki Wibawa.

Ke depan ia meminta kepada kalangan industri packaging ini harus murah, jangan sampai membebani industri makanan dalam kemasan. Artinya, packagingnya murah, baik dan ramah lingkungan.

“Ini kan tuntutan jaman sekarang, inovasi harus dilakukan demi keberlangsungan industri packaging itu sendiri,” tegasnya.

Yang terpenting dari semua itu ialah bagaimana packaging itu ramah lingkungan. Pasalnya ramah lingkungan kerap dijadikan isu keberlangsungan industri packaging, dimanapun juga.

Diakui isu ini kadang-kadang salah kaprah. Contoh, sekarang perlu pakai kemasan yang mudah terurai, ramah lingkungan tapi nyatanya tidak demikian.

Lantas dicontohkan, jika memiliki tempat pembuangan sampah yang tercampur semua atau yang dikenal sebagai Tempat Penampungan Akhir (TPA) yang tercampur semua, bagaimana mungkin sampah akan terurai, sampah hanya akan mengendap menjadi tumpukan sampah.

“Yang terbaik hari ini menurut saya adalah yang bisa di daur ulang, recycleable,” ucapnya.

Indonesia sebenarnya telah memiliki teknologi daur ulang tapi bukan yang terbaik. Industri daur ulang juga ada yang dikelola secara berkelompok. Namun waste management atau pengolahan sampah tidak demikian mudahnya, bahkan cenderung kompleks.

“Kalau di negara maju sampah sudah dipilah-pilah dan edukasi soal itu jauh sebelum mereka memilah sampah seperti sekarang. Bukannya tiba-tiba mengeluarkan peraturan pembatasan penggunaan kemasan dengan alasan untuk mengurangi timbulan sampah, tapi proses tidak dilakukan,” imbuhnya.

Menurutnya, inilah yang dinamakan kepanikan, pemerintah mesti berperan bukan hanya membatasi tapi bagaimana memberikan subsidi bukan kepada industrinya tapi subsidi proses daur ulangnya.

“Kalau di negara maju, hal itu sudah dilakukan, pemilahan dan proses daur ulang yang disubsidi pemerintah,” kata pria yang pernah sekolah dan lama tinggal di Jerman ini.

Disebutkan pula kata kunci untuk mengatasi persoalan ini yaitu sinergitas pihak terkait, dari mulai kebijakan, edukasi hingga teknologi. Semua mesti dilakukan secara simultan, jangan hanya menyalahkan apalagi tinggal diam.

UU No 18/2008 tentang penanganan sampah, sebelas tahun yang lalu berbunyi, lima tahun setelah tahun 2008 yang namanya TPA mestinya sudah ditutup semua, digantikan dengan 500 kabupaten untuk Tempat Penampungan Sementara Terpilah (TPST).

“Ingat, ini yang mestinya dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan amanat UU. Dan akhirnya menjadi panik dimana semua pencemaran terjadi, pihak industri yang dijadikan momok,” kata Hengki Wibawa.

Menurutnya, pelarangan single use bag bukan solusi, sifatnya hanya sementara. Kalaupun dikatakan untuk pengendalian, itupun karena kepanikan saja.

Solusi yang tepat untuk semua itu dengan dibangunnya TPST. Pemilahan mulai dilakukan dari rumah, industri. Selain itu terpenting bagaimana menumbuhkan kesadaran masyarakat melalui edukasi, sosialisasi dan ini tidak serta merta nampak hasilnya, butuh waktu lama.

“Kalau peraturan sifatnya hanya bersifat punisment dan pembenaran saja, dimana proses edukasinya,” sentilnya.

“Yang terjadi saat ini sampah dipilah dari rumah tangga atau industri, begitu naik ke mobil dicampur lagi, lantas apa gunanya pemilahan tersebut,” tutupnya. (dan)