Denpasar (Metrobali.com) – 

Semestinya pemberian dana hibah ini kepada sejumlah pelaku pariwisata dilakukan secara transparan. Publik haruslah mengetahui apa saja yang menjadi kriteria pemberiannya dan target sasaran yang ingin dicapai.

Hal itu dikatakan Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, Selasa (24/11) di Denpasar.

Dikatakan, pemberian hibah kriterianya seyogyanya mesti obyektif (bebas dari campur tangan/nuansa politik praktis) untuk tidak dijadikan instrumen politik praktis, yang bisa menjadi bias terhadap pencapaian target/sasaran yang hendak dicapai.

Selain itu hibah harus mempertimbangkan  unsur pemerataan dan nilai keadilan dalam kriterianya, sehingga menghindari hal yang tidak boleh terjadi. Misalnya ada suatu UMKM pariwisata yang secara riil ada, tetapi tidak lengkap persyaratan administrasinya, juga memperolehnya.

“Semestinya target sasaran dirumuskan secara jelas dan rinci: yaitu demi penyelamatan pelaku usaha di industri pariwisata, dengan prioritas pelaku UMKM, untuk menghindari tutup usaha atau kebangkrutan serta bisa bertahan di masa transisi dan bangkit kembali usahanya pasca pandemi,” katanya.

Lebih lanjut dikatakan, penentuan sasaran, kriteria pemberian hibah dan mekanisme pengawasannya menjadi sangat penting untuk efektivitas alokasi dananya, apalagi di tengah-tengah kebijakan fiskal negara yang sangat tertekan. Defisit APBN tahun ini pada pusaran Rp.1,000 trilliun, sekitar 6,3 per sen dari PDRB. Menghindari terjadinya moral hazard (kerusakan moral) dalam implementasinya.

“Kebijakan dana hibah ini yang bersumber dari APBN (rumpun kebijakan fiskal), semestinya dipaketkan dengan kebijakan  dana talangan dari OJK dan BI, kebijakan penundaan pembayaran kredit sampai dengan Maret 2022 (rumpun kebijakan moneter) untuk lebih menjamin efektivitas dana hibah dan dana talangan, dalam rangka penyelamatan ekonomi dan landasan bagi pemulihan ekonomi ke depan,” tandasnya.

Dikatakan, kemungkinan terjadi moral hazard (kerusakan moral) dari penyaluran hibah dan juga dana talangan kredit semestinya diminimalkan. “Jangan sampai pemberian dana hibah dan dana talangan kredit ini tidak berhasil, karena kalau gagal dapat mengingatkan kita akan pribahasa Bali: “Bangkung Mati Kladi Onya”, artinya Babi yang dipelihara mati, tetapi pasokan makanannya berupa talas juga habis,” kata Sudibya.

Jangan sampai dana negara terkuras habis, perusahaan yang akan diselamatkan ternyata mengalami kebangkrutan. Belajar dari krisis keuangan tahun 1998, 36 bank ditutup, BI harus memberikan dana talangan sekitar Rp.650 trilliun, Pemerintah harus menerbitlan obligasi rekap Rp.110 trilliun yang bunganya sampai hari ini menjadi beban APBN.

“Sudah semestinya para pengambil kebijakan mengambil hikmah dari krisis keuangan tahun 1998, negara menanggung bebannya, tetapi pihak yang memperoleh keuntungan besar dari krisis ini, sampai hari ini  sebagian besar tetap bebas dari tuntutan hukum,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik.  (RED-MB)