Memilih pemimpin, bukanlah sekedar penjaringan melalui kemampuan, ketokohan atau hanya bagi mereka yang memiliki harta. Tetapi penting dimaknai indikator-indikator di luar prasyarat verbal, apakah sang tokoh mampu memberi cermin kepemimpinan bagi dirinya sendiri?. Sebab, memimpin diri ialah kekuatan interosfeksi tentang keputusan pribadi yang kemudian akan menjadi karakteristik dan ciri kepemimpinan di mata publik.

Sejauh ini, masyarakat tak  banyak memiliki ruang dan waktu untuk memahami sikap pribadi seorang pemimpin atas dirinya, kebanyakan dari mereka baru mulai membaca manakala sang pemimpin sudah bergerak mengendalikan segala hal berkaitan dengan ketatanegaraan. Sehingga, pembacaan masyarakat yang diformulasikan sebagai penilaian publik, terkesan tak utuh bahkan tak berimbang. Sisi yang sering menjadi fokus pengamatan, lebih kepada kekurangan, atau kekeliruan tindak sang pemimpin, yang kemudian berembus menjadi kritik.  Jarang sekali terungkap sikap bijak yang mengapresiasi pencapaian positif, atau upaya mengedepankan pemikiran tentang perbaikan kinerja para pemimpin.

Di manapun ketika seseorang berada di tampuk pimpinan, ia senantiasa akan diukur seputar kepribadian, integritas, keberanian dan kearifannya. Secara sederhana, keseimbangan dari semua itulah akan menjadi ciri kepemimpinan yang tak terbandingkan, artinya kemampuan pemimpin harus terukur dari kepribadian, integritas, keberanian dan kearifan yang berimbang. Bila salah satunya muncul mendominasi yang lainnya, bisa jadi pemimpin itu akan terjebak dalam arogansi individu. Maka, sikap yang renda hati selalu akan menumbuhkan kesadaran untuk saling melengkapi.

Pemimpin Bali saat ini, yakni Gubernur dan wakilnya, dalam sebuah kesatuan tandem sebagai leaders, sesunggunya memiliki potensi yang mapan yang berawal dari kecerdasan masing-masing. Gaya individu boleh saja berbeda, tetapi harus diyakini semua itu merupakan aset kecerdasan yang tak sederhana dalam membangun kepemimpinan yang berwibawa, kuat, disegani dan dicintai masyarakat. Tentu saja citra seperti itu bisa terjadi bila keduanya mampu saling memberi kepercayaan, saling mengisi dan saling melengkapi.  Gubernur, Mangku Pastika, dan wakilnya AA Puspayoga ialah simbol kepercayaan masyarakat Bali dalam menentukan arah pembangunan Bali yang besumber dari kekuatan budaya. Di pundak keduanya, masa depan Bali akan ditentukan, setidaknya dalam masa jabatan keduanya.

Gerak modernitas sebagai pengaruh perubahan global, ternyata dengan cepat menumbuhkan iklim kompetisi di segala sektor. Katalisator perubahan yang paling besar  dipicu karena pesatnya perkembangan pariwisata. Sebagai mantan petinggi polisi, kemampuan inteligen seorang Mangku Pastika tidak bisa dinafikan. Melalui visi Bali Mandara ia telah membuat potret harapan pembangunan Bali yang ideal yang didukung dengan kemajuan teknologi.  Sayangnya tak semua programnya bisa berjalan sesuai harapan.  Bahkan ada sejumlah proses yang justru ditanggapi sinis, misalnya terjadi dalam pembahasan RTRW yang berlangsung sangat alot karena banyaknya kepentingan masing-masing wilayah kabupaten/Kota. Yang paling hangat, pernyataan sang Gubernur soal pembubaran eksistensi Desa Pakraman telah menyulut kritik pedas. Meski sudah diklarifikasi bahwa ia tak pernah sama sekali ada keinginan untuk membungkam struktur pemerintahan tradisi itu, toh dalam sebuah media tetap saja menjadi topik menarik dan tak kunjung henti untuk diangkat ke publik.

Dalam sejumlah pesan di media, gaya kepemimpinan Made Mangku Pastika tampaknya  lebih mengedepankan kemampuan logika dalam mengambil keputusan. Cara ini tentu tak keliru, dalam keadaan tertentu memang harus dilakukan, namun tak boleh lepas dari tatanan budaya Bali yang melekat dalam peradaban masyarakat.

AA Puspayoga, sebagai pembantu Gubernur di ring satu, sesungguhnya amat menyadari keadaan yang terjadi. Terlepas dari sebuah kepentingan, pemimpin yang dibesarkan dengan kekuatan tadisi yang kental dengan budaya ini, tampil di tengah masyarakat dengan sejumlah kegiatan sosial dan ritual. Ia sadar bahwa “pemimpin besar selalu akan berada di tengah orang kecil”.  Prototype kepemimpinan seperti ini, memang sudah menjadi kultur dalam partai yang membesarkannya, PDIP senantiasa memaknai wong cilik sebagai ikon politik dalam menjalankan misi partainya. Betapapun bisa dipandang cerdas, sosok Puspayoga dalam hal ini justru mengesankan sebuah ketokohan atas dirinya yang hidup di lingkungan Puri dengan segenap rakyatnya. Testimoni masyarakat pedesaan yang dilansir di sebuah televisi telah mentahtakan dirinya secara pribadi atas upayanya memberikan bantuan kesehatan kepada masyarakat di pedesaan. Begitu juga perannya dalam aktivitas ritual, seperti metatah dan memukur massal. Wakil Gubernur sebenarnya berhasil memeluk rakyat melalui aktifitas bubaya. Walaupun akhirnya, helatan mulia ini oleh sejumlah orang dimaknai sebagai sebuah pencitraan belaka.

Sejak menjadi walikota Denpasar, kepemimpinan tokoh Puri Satriya ini memang amat dekat dengan masyarakat. Meski telah mapan dari sisi ekonomi, ia tetap saja guyub bergaul dengan rohaniawan dan para seniman muda. Berbeda dengan Mangku Pastika yang dikenal masyarakat secara tiba-tiba setelah prestasinya mengungkap pelaku bom Bali 2011. Sebelumnya kiprah mantan Kapolda Bali ini tak banyak diketahuai masyarakat Bali. Karena jabatan dan berbagai prestasinya di jajaran Kepolisian,  Mangku kemudian banyak bergaul dan menjalin keterikatan kerja di kalangan elit, sehingga sedikit berjarak dengan masyarakat. Sistem komando sebagai perwira polisi yang disiplin, berani, cepat dan tegas, sungguh sangat mempengaruhi gaya kepemimpinannya.

 Merubah mindset

Perilaku masyarakat Bali yang betumpu pada nilai budaya, secara alami telah ditanamkan secara  turun temurun. Meskipun harus diakui telah terjadi transformasi budaya global yang hadir berantai dengan industri pariwisata, sebagian besar masyarakat Bali tak mudah untuk menggeser nilai-nilai luhur yang diyakini telah menjadi titian kehidupan mereka. Bila pun masyarakat harus diperkenalkan dengan gagasan-gagasan modern dalam pembangunan Bali, hal yang perlu dilakukan di awal adalah merubah mindset mereka, untuk mampu memahami kepentingan modernitas yang memiliki nilai buat masyarakat tanpa meninggalkan sumber budayanya. Transformasi mindset, tidak bisa dilakukan secara instan, namun membutuhkan waktu penyadaran yang berulang. Pada dasarnya, masyarakat Bali tergolong tidak resistan untuk menerima perubahan, asal saja mereka diberikan pemahaman hingga benar-benar menyentuh keyakinan mereka. Kebijakan global yang dipaksakan, akan berpotensi memunculkan konflik di tengah masyarakat sebagaimana akhir-akhir ini terjadi di Bali. Intinya, pemerintah sebagai konduktor perubahan harus selalu berjalan bersama rakyat, sehingga rakyat tidak merasa apatis, dimana mereka menjadi penting saat menjelang suksesi untuk meraup dukungan semata. Cara ini harus segera ditinggalkan, karena tidak akan menguntungkan dalam menjalankan program saat di mana jabatan pemimpin berhasil diraih. Pendekatan budaya yang dilakukan sudah seharusnya merupakan kontruksi komunikasi yang memiliki koneksitas yang berkelanjutan, sehingga antara rakyat dan pemimpinnya tidak ada yang merasa ditinggalkan. Merubah perilaku, secara mendasar adalah komunikasi verbal yang saling menyentuh rasa. Meski memerlukan waktu sebagai bagian dari proses perubahan, dalam bahasa budaya tak ada jalan pintas, ini harus dilakukan.

Walaupun Gubernur Bali, sebenarnya sudah memberikan media komunikasi publik melalui tradisi mesimakrama saban bulan. Besarnya permasalahan yang muncul di kalangan mesyarakat, sejatinya tak cukup bila semua persoalan tuntas dibahas dalam waktu setengah hari. Intruksi Gubernur yang dilakukan saat bertemu masyarakat, seringkali tak mendapat respon cepat dan jujur dari aparat bawahannya. Artinya, perubahan mindset, juga harus terjadi di tingkat aparatur pemerintahan dengan akselerasi yang lebih cepat, karena memiliki tongkat kendali yang lebih jelas dan terstruktur.

Potensi unggul yang dimiliki pemimpin Bali, Mangku Pastika bersama AA Puspayoga, sungguh sebagai tandem yang amat memadai. Satu sisi memiliki gaya dengan pemberdayaan intelktual dan logika sebagai patron kepemimpinan dalam menjabarkan visinya, di lain sisi sang wakil memberi penekanan pada kekuatan komunal dengan basis budaya yang amat melekat. Perpaduan serupa inilah yang sesungguhnya dibutuhkan di bali. Pemimpin yang visioner, mampu membaca perkembangan yang  jauh ke depan,  mampu melihat lebih jauh dari yang dilihat orang lain, mampu melihat sebelum orang lain melihat, tanpa meninggalkan potensi lokal yang sudah mengakar. Bila keduanya bisa bergerak terpadu, masing-masing secara ikhlas untuk melepaskan kepentingan insektoral, maka segala upaya yang mengarah untuk menekan permasalahan  yang muncul di Bali ialah sebuah keniscayaan.

Sebuah harapan untuk menjawab tafsir masyarakat, hanyalah keteladanan dan akurasi yang sepatutnya ditunjukkan kedua pemimpin. Butir pikiran yang cerdas di antara keduanya sebaiknya diformulasikan bersama atas nama pemerintah. Karena dengan cara seperti ini masyarakat tidak akan terjebak oleh dramatika yang mengdepankan kepentingan komunitas dan faksi-faksi tertentu.

Sikap media juga harus kembali kepada jati dirinya, untuk menjadi wahana kontrol yang berimbang dan mengedepankan informasi yang konstruktif dan mengedukasi masyarkat. Tantangan Bali ke depan dengan segala kompleksitas yang sudah terjadi adalah tugas bersama untuk menjaga keutuhan Bali yang bertumpu pada budayanya.

 

 

Wayan Redika

 

Perupa, tinggal di Denpasar