Jakarta (Metrobali.com)-

Ketua Forum Rektor Prof. Dr. Laode N. Kamaluddin, M.Sc. mengatakan survei-survei politik yang marak dilakukan berbagai pihak di Indonesia akhir-akhir ini tidak bebas nilai karena bagaimanapun akan tetap membawa kepentingan pihak-pihak tertentu.

“Meski badan atau lembaga yang melakukan survei itu dikenal kredibel, tatap saja hasil survei mereka tak bebas nilai dan membawa kepentingan,” kata Laode Kamaluddin di Semarang, Jawa Tengah, yang dihubungi dari Jakarta, Rabu (28/8).

Laode Kamaluddin mengatakan sebuah lembaga atau organisasi bisa saja dikenal masyarakat sebagai lembaga atau badan yang kredibel. “Namun, kondisi kredibel itukan persepsi juga, jadi belum tentu hasil kerjanya bisa disebut kredibel,” kata Laode yang juga Rektor Universitas Sultan Agung, Semarang itu.

Menurut Laode Kamaluddin, suatu survei dilaksanakan atas dasar pertanyaan-pertanyaan, penetapan lokasi dan waktu yang sudah dirancang si pembuat survei sebelumnya, termasuk pula dalam hal pemilihan responden (target disain). Subyektivitas akan hasil sebuah survei sudah dimulai si pembuat akan bisa berawal dari ini.

Kerap kali terjadi, hasil sebuah survei politik mengemukakan kejutan-kejutan bagi masyarakat dari waktu ke waktu namun inipun tidak mengherankan karena segmen masyarakat yang jadi sasaran survei secara acak (random sampling) dibuat berubah-ubah. “Masyarakatnya sendiri tetap, namun segmen respondennya yang dibuah-ubah,” katanya.

Meski demikian, Laode menyatakan bisa memahami kondisi yang seperti ini untuk Indonesia, negara yang baru 15 tahun terakhir menerapkan demokrasi secara penuh sehingga tingkat kedewasaan politiknya masih dalam proses pematangan. Ia percaya pada saatnya di masa mendatang survei politik akan bisa dilaksanakan dengan kesungguhan.

Dari sisi lain, M. Aminuddin, Direktur Eksekutif Institut For Strategic and Development Studies, yang juga kerap melaksanakan survei-survei berbagai bidang, mengatakan sepanjang mengikuti metodologi yang sesuai aturan, mekanisme, dan prosedur akademis jelas dapat dipertanggungjawabkan.

Meski demikian, kata Aminuddin, dalam setiap survei pasti tetap akan ada margin error, bahkan bias, karena adanya kepentingan politik tertentu dari pihak yang melakukan survei tersebut.

Dalam survei yang bersifat tertutup, bisa juga nama-nama tertentu tidak dimasukkan dalam kuesioner atau tidak ditanyakan kepada responden, karena ada kepentingan tertentu yang demikian itu, jelas Aminuddin yang juga mendalami aktivitas survei politik dari pendekatan akademis.

Pandangan senada dilontarkan pula oleh Ketua Umum Ormas Patriot Nusantara (Patron), Abdul Salam, yang menyebutkan survei-survei politik di Indonesia hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Ia menengarai survei-survei yang dilaksanakannyapun bisa saja berdasarkan pihak klien yang berkepentingan.

“Kita tahu survei baru akan bisa dilaksanakan jika ada dananya. Dari mana dananya, ini juga yang harus dipertanyakan, kata Abdul Salam, tokoh dikenal juga sebagai pemerhati hasil-hasil survei politik. Menurut dia, dari aspek pendanaan, lembaga survei sulit independen dalam situasi sosial, politik dan ekonomi bangsa seperti sekarang.

Abdul Salam mengharapkan ke depan di Indonesia akan lahir lembaga-lembaga survei yang murni bekerja atas dasar idealisme untuk pembangunan politik bangsa. Contohnya sudah banyak di negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat, di mana lembaga surveinya berpengaruh dan bekerja profesional.

Dalam catatan, pemunculan lembaga-lembaga survei politik marak sejak reformasi 15 tahun lalu dan semakin membanyak setelah penerapan sistem pemilihan langsung untuk kepala-kepala daerah dan Presiden/Wakil Presiden. Di Indonesia setiap lima tahun dilaksanakan berkisar 550 pemilihan dari Pilkada sampai Pilpres sehingga ini menjadi lahan bisnis survei. AN-MB