Lucius Karus

Jakarta (Metrobali.com)-

Peneliti senior Formappi, Lucius Karus, mengatakan wacana merevisi undang-undang partai politik dan undang-undang pilkada sebaiknya dihentikan karena bukan merupakan kepentingan masyarakat umum melainkan hanya kepentingan segelintir elite.

“Upaya merevisi UU Parpol dan UU Pilkada ini ibarat bunga yang layu sebelum berkembang. Baru diwacanakan, begitu banyak pihak yang menyuarakan ketidaksetujuannya. Jadi rencana ini sebaiknya dihentikan saja,” kata Lucius Karus di Jakarta, Kamis (7/5).

Sebelumnya, komisi II DPRRI mewacanakan akan merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terkait PKPU soal pendaftaran calon peserta pilkada.

Wacana revisi UU Pilkada tersebut mendapat reaksi penolakan keras dari berbagai pihak karena alasan pengajuan revisi dinilai tidak mendasar, subjektif dan hanya karena ketidakpuasan sebagian anggota DPR atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).

Lucius menyebut pihak-pihak yang menolak revisi kedua UU tersebut adalah pemerintah, PDIP, PKB, Nasdem, PPP dan publik melalui Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pilkada.

“Ini ulah segelintir orang di DPR yang memaksakan revisi kedua UU itu yang sebenarnya mereka sadar bahwa masih banyak masalah bangsa yang harus dikedepankan, bukan sebaliknya mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya,” katanya.

Lucius mengatakan, dalam waktu delapan bulan ini, tidak ada satu pun produk UU yang dihasilkan DPR. Hal itu terjadi karena anggota dewan terhormat justru sibuk mengurus diri sendiri dan koalisinya.

Hal senada dikatakan anggota Komisi III DPR dari FPPP, Arsul Sani yang mengatakan, DPR akan ditertawakan rakyat ketika tetap memaksakan rencana merevisi UU Pilkada dan UU Partai Politik hanya karena ada kepentingan terkait kisruh di tubuh Partai Golkar dan PPP.

“Kalau secara umum, ini akan jadi bahan tertawaan rakyat,” kata Arsul.

Arsul mengatakan, selama ini DPR sudah dikecam habis-habisan karena belum jelasnya kinerja terkait pelaksanaan fungsi legislasi.

Dari 36 RUU yang masuk ke prolegnas, belum satu pun yang masuk ke tahap pembahasan.

Bila tiba-tiba ada RUU baru dipaksakan masuk prolegnas, menurut Arsul, maka publik akan tahu, apalagi pembahasannya didahulukan dibanding RUU lain.

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pilkada mendukung keteguhan sikap KPU yang tidak mau diintervensi Komisi II DPR.

Koalisi ini terdiri dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Para Syndicate, Indonesian Parliamentary Center (IPC), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Indonesia Corruption Watch (IWC), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Direktur Indonesia Parliament Centre (IPC) Sulastio menyatakan, wacana revisi UU Pilkada dan UU Parpol, tidak lepas dari usaha DPR untuk meloloskan kepentingan politik ke dalam dua UU itu.

“Itu adalah preseden buruk yang dapat ditiru komisi dan alat kelengkapan dewan di DPR untuk melakukan hal serupa dalam mengakomodasi kepentingannya dalam aturan sah,” katanya.AN-MB