SUASANA kompetisi pemilihan kepala daerah  terus terasa di pulau dewata. Usai pemilihan gubernur yang sempat menyita perhatian publik, kini kompetisi untuk menduduki pimpinan eksekutif kembali dilaksanakan di kabupaten dengan penduduk terkecil di Bali yaitu Klungkung. Ada beberapa hal menarik dari Pemilukada kali ini. Pemilukada Klungkung 2013 tidak diikuti oleh calon petahana. PDIP sebagai partai mayoritas di DPRD dan pengusung pasangan Candra-Cok Agung yang berhasil memenangkan pertarungan pada tahun 2008, kini mencalonkan Anak Agung Anom-Regeg.

Fenomena ini agak jarang terjadi. Biasanya partai terbesar yang telah mengusung pemenang bertahan memiliki kecenderungan untuk mencalonkan orang yang dulunya menduduki posisi wakil. Hal lain yang membuatnya menarik adalah kemunculan dua tokoh puri sebagai kandidat bupati dari partai yang berbeda. Terakhir, menarik untuk mengamati kemunculan kembali koalisi partai menengah dan kecil yang mengusung pasangan calon di Pemilukada Klungkung 2013.

Dalam dua Pemilukada terakhir di Bali (pemilukada Gianyar dan pemilukada Bali) pertarungan ”head to head” seolah menjadi trend. Agaknya partai-partai yang merasa memiliki pemilih loyal di Bali seperti PDIP dan Golkar saja yang memotori koalisi untuk mengusung pasangan calon dalam dua Pemilukada lalu itu. Trend tersebut sepertinya tak berlanjut dalam perhelatan Pemilukada di kabupaten Klungkung.

Memang jika kita bicara tentang pemilihan langsung di Bali, Klungkung selalu dirujuk sebagai kabupaten dengan kontestan yang paling semarak. Lima tahun silam di Klungkung juga terdapat banyak calon. Tak hanya partai kecil, calon independen juga memeriahkan pesta demokrasi lokal di Klungkung kala itu. Jika melihat karakteristik Klungkung tersebut, maka tak mengherankan jika kini di Klungkung partai menengah dan kecil juga mengusung jagonya tanpa berkoalisi dengan parpol besar.

Selain alasan kekhasan karakter Klungkung yang dipaparkan di atas, tentu partai-partai menengah seperti Gerindra dan Hanura memperhitungkan banyak faktor dalam memutuskan untuk mengusung kandidat sendiri dan berhadapan dengan partai-partai yang memiliki basis di akar rumput. Faktor Figur sepertinya menjadi alasan utama dalam hal ini. Hanura dan PDP misalnya, memilih untuk mencalonkan Tjokorda Raka – Putu Tika Winawan. Tjok Raka sendiri merupakan kandidat yang sudah pernah bertarung pada pilkada Klungkung 2008 dan berhasil memperoleh suara terbanyak kedua saat itu. Beliau juga merupakan salah satu tokoh puri, sehingga figurnya memiliki potensi untuk menang.

Hal yang tak jauh berbeda terjadi di Gerindra yang berkoalisi dengan PKPB dan PNBKI. Koalisi ini mengusung Suwirta-Kasta sebagai kandidat bupati dan wakil bupati Klungkung untuk periode 2013-2018. Kefiguran Suwirta cukup diakui dengan ”track record”nya yang baik dalam mengembangkan dan membesarkan koperasi yang mendapat apresiasi dari masyarakat lokal dan nasional. Selain itu, ada hal yang dapat dimanfaatkan Suwirta, Ia sat-satunya kandidat yang berasal dari satu kecamatan yang terpisah dari Klungkung daratan, tapi jumlah penduduk di kecamatan tersebut hampir sepertiga jumlah penduduk kabupaten ini. Jika pasangan ini berhasil memanfaatkan modal-modal yang dimilikinya, maka potensinya untuk meraih kemenangan juga tak dapat dipandang sebelah mata.

Mempertimbangkan figur dalam menentukan pasangan calon dalam sebuah pemilukada memang sangat beralasan. Dalam berbagai kajian yang dilakukan mengenai prilaku memilih dalam banyak pemilihan langsung di Indonesia sangat terlihat bahwa faktor figur menjadi faktor penentu pilihan masyarakat. Apa lagi kinerja dan soliditas partai-partai besar di Klungkung kini cukup diragukan dan alasan masyarakat Klungkung dalam beberapa survei yang dilakukan menunjukkan memang faktor partai tak lagi dominan dalam penentuan pilihan di Klungkung.

Berdasarkan data yang diperoleh melalui survei di Klungkung, alasan terbanyak pemilih dalam menentukan pilihan politiknya dalam pemilukada adalah harapan akan perubahan yang dijanjikan oleh kandidat (21,2%), disusul dengan figur yang sederhana dan merakyat (20,8%). Sementara responden yang menyatakan memilih karena partai politik yang mengusung hanya 0,8%. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan responden yang mengaku memilih karena kandidat merupakan tokoh puri (5%) dan kandidat berasal dari Nusa Penida (3,4%).

Data di atas memperlihatkan bahwa faktor figur dalam mempengaruhi perilaku memilih di Klungkung masih sangat dominan jika dibandingkan dengan perngaruh identifikasi partai politik. Isu-isu mengenai perubahan yang ditawarkan oleh kandidat akan cepat mendapat respon publik. Isu infrastruktur menjadi salah satu isu utama di Klungkung. Di luar itu, tak kalah pentingnya untuk menghitung kekuatan sosiologis calon, yaitu asal kecamatan dan latar belakang puri. Meski tak berpengaruh besar, namun tetap cukup signifikan dalam mempengaruhi pilihan para calon pemilih.

Oleh: Kadek Dwita Apriani

*Penulis adalah Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Udayana