pecalang pkb vs asongan

Denpasar, (Metrobali.com) –

AJANG Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 tahun ini, mengusung tema Karang Awak, yang dimaknai Mencintai Tanah Kelahiran sejak awal pawai arak-arakan kesenian unggulan khas kabupaten/kota, serta partipasi duta kesenian baik nasional maupun luar negeri, di depan panggung kehormatan, Monumen Perjuangan Rakyat Bali (MPRB) Renon, Denpasar, Sabtu (11/6) sore hari, telah kehilangan taksunya sebagai kerja kebudayaan yang cerdas dan kritis dalam upaya menggali, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali.

Lha kok bisa? Ini karena adanya kesan yang termuat di media dari pernyataan Presiden Joko Widodo yang menganggap PKB hanya digelar sehari saja, dan bahkan bukan dijadikan sebagai agenda utama dalam pemerintahannya, sehingga acara PKB seakan dinomorduakan dari agenda lainnya. Padahal, jadwalnya telah menjadi rutinitas pada saat liburan sekolah, minggu pertama bulan Juni – Juli, setiap tahunnya.

Terlebih lagi, PKB sesungguhnya telah menjadi ikon unggulan utama di Bali dalam upaya pelestarian dan pengembangan, serta penggalian warisan kekayaan bangsa berbasis kearifan lokal baik benda maupun tak benda di bidang kebudayaan (seni budaya).

Dalam konteks ini berarti taksu politik budaya dalam PKB tahun ini kian luntur dan kepanitiaan PKB tahun ini pun dicap publik tak punya komitmen kuat dalam meneguhkan kerja kebudayaan dalam konstruksi PKB sebagai kekuatan utama dalam era reformasi berbasis revolusi mental untuk mencetak karakter generasi emas bangsa yang berbudaya dan berkeadaban secara berkelanjutan.

Secara publik kesan dan citra PKB dalam komunikasi politik budaya di tingkat nasional dianggap merosot dan mengalami kemunduran, karena posisi pejabat tinggi negara, yakni presiden sebagai gong utama penguatan kebudayaan bangsa secara global kurang mendapatkan perhatian serius kepanitiaan PKB tahun ini.

Bahkan, lunturnya taksu politik budaya dalam PKB tahun ini semakin dirasakan publik dengan tidak dibacakannya pidato presiden dalam pembukaan PKB di panggung terbuka Ardha Candra (arts centre) Bali, Denpasar, Sabtu (11/6) malam hari.

Semestinya, pemangku kebijakan harus tegas bahwa kalau presiden tidak hadir setidaknya pidatonya dibacakan oleh perwakilannya dan setidaknya adalah wakil presiden, bukan justru yang utama pidato dari perwakilannya itu. Artinya, rekam jejak dari pidato presiden tentunya sudah berdasarkan saran dan masukan dari para bawahan atau menteri terkait di bidangnya, termasuk yang menjadi perwakilannya.

Mengingat, bahwa upaya pengembangan, penggalian dan pelestarian kebudayaan bangsa dalam konstruksi PKB merupakan rangkaian kegiatan yang panjang dengan berbagai permasalahan yang kompleks dan melibatkan banyak pihak. Makanya, untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan tentunya harus dilakukan dengan langkah-langkah terpadu, komprehensif, mulai dari hulu sampai ke hilir dengan melibatkan semua stakeholders (pemerintah, peneliti, pelaku usaha, kalangan profesi dan masyarakat) dengan tetap berlandaskan pada kewenangan dan tugas, keahlian dan kemampuan masing-masing tentunya.

Implikasinya, beragam program kesenian dalam PKB ini tentunya tidak akan dapat berjalan dengan baik, dan lancar serta mampu menunjukkan kemanfaatan yang berlipat ganda bagi pembentukan karakter generasi emas bangsa dan kebudayaan bangsa tanpa adanya upaya bersama menggugah kesadaran publik sebagai agen kebudayaan untuk melakukan kerja kebudayaan yang cerdas dan kritis dalam upaya menciptakan perubahan pola pikir, mentalitas, cita rasa dan selera masyarakat guna mendukung peradaban budaya bangsa di masa depan.

Hal ini tentunya juga sangat sejalan dengan upaya mewujudkan sembilan agenda prioritas dari program Nawa Cita dari Presiden Joko Widodo, yakni untuk “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Agenda yang digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Sementara itu, menjelang detik-detik akhir pelaksanaan PKB ke-38 tahun ini sempat diwarnai insiden kebakaran yang berasal dari pasar malam Banjar Kedaton, Denpasar, Jumat (1/7) pukul 03.15 wita, yang mengakibatkan sebanyak 26 stand kerajinan dengan biaya sewa Rp 5 juta setiap stand mengalami kerusakan, bahkan hanya 6 stand yang masih bisa terselamatkan dan dapat meneruskan pameran di bawah gedung Ksirarnawa (arts centre) Bali, Denpasar.

Insiden kebakaran ini, sempat membuat kepanitian PKB harus kerja ekstra untuk mengantisipasi agar kegiatan pemanggungan beragam kesenian unggulan khas kabupaten/kota, termasuk partisipasi luar daerah dan luar negeri yang masih tersisa dalam jadwal sepekan ke depan tidak mengalami gangguan.

Becermin dari peristiwa tersebut, sejumlah pihak menilai perlu adanya kesiapan fasilitas publik prima yang siaga selalu, seperti Fire Hydrant di dalam kawasan Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar, serta Petugas dan Mobil Pemadam Kebakaran harus standby 24 jam selama pelaksanaan PKB berlangsung.

Budaya Malu vs Ekonomi Sesaat yang Sesat

Selama pelaksanaan PKB tahun ini, sorotan paling dominan masih menyangkut kinerja kepanitian di bidang keamanan terkait kenyamanan dan keamanan terhadap aksesbilitas publik. Di mana, pelayanan publik prima terhadap pengunjung maupun masyarakat luas yang melintas di sekitar kawasan Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar selama pelaksanaan PKB berlangsung acapkali mendapatkan perlakuan yang tidak mencerminkan tata nilai dan norma berbudaya dan berkeadaban, serta perilaku yang memanusiakan manusia.

Ini artinya, aksi premanisme berbasis desa pakraman masih sangat kuat mengegemoni pelaksanaan PKB setiap tahunnya, dan bahkan negara pun dianggap absen, karena aparat penegak hukum yang menjadi alat negara dicap publik keok melawan premanisme. Buktinya, pelanggaran hukum mengokupansi badan jalan dan trotoar sebagai parkir komersial terkesan ada pembiaran, sehingga aksi korup dan rakusnya para oknum pecalang berbasis desa pakraman ini menjadi semakin kebablasan, karena memang tak ada aparat negara yang berani menindak sesuai aturan hukum negara yang berlaku.

Adapun mental korup itu, di antaranya aksi premanisme (pemaksaan kehendak) dan praktik pungutan liar (pungli) berbasis ego sektoral berlabel otonomi kebablasan yang mengokupasi infrastruktur publik untuk memenuhi hasrat keinginan pribadi maupun kelompok maupun golongan dengan tujuan tertentu, seperti ruas jalan raya, trotoar, dan kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, dan fasilitas publik lainnya untuk parkir komersial berbasis desa Adat/Pakraman.

Budaya premanisme berbasis desa pakraman ini akan semakin masif, terstruktur dan sistemik jika tak ada keberanian dari pihak-pihak terkait terutama kepolisian dan DLLAJ (dinas lalulintas dan angkutan jalan), Satpol PP serta pihak terkait lainnya untuk dapat bersinergi mengatasi persoalan tersebut, agar tidak terus menerus terulang dalam pelaksanaan PKB setiap tahunnya. Sehingga, tidak dicap publik seakan ada sebuah negara adikuasa dalam negara merdeka dan berdaulat yang lebih berkuasa dalam hal ini adalah birokrasi desa pakraman.

Bahkan, lebih ironisnya, disinyalir terjadi “perselingkungan” atau kongkalikong antara aparat keamanan dengan oknum preman ataupun oknum pecalang dan petugas terkait lainnya saat menjalankan tugas dan tangggungjawabnya selama pelaksanaan PKB berlangsung. Faktanya, fenomena ini terekam dan diabadikan oleh para fotografer dan wartawan, termasuk juga pengawas independen, yang diberi tugas dan kewenangan penuh mengawasi kinerja kepanitian PKB selama ini.

Selain itu, rendahnya kualitas kinerja dari kerja kebudayaan di bidang keamanan terlihat dari masih terjadinya kehilangan perlengkapan panitia saat acara resmi berlangsung di panggung terbuka Ardha Candra (arts centre) Bali, Denpasar, pelakunya sangat nyata dan semestinya bisa diamankan bilamana pihak terkait di bidangnya mampu menunjukan dedikasi dan loyalitasnya saat bertugas dalam menjaga pencitraan taksu PKB secara konsisten dan sungguh-sungguh. Supaya, tidak dicap publik hanya ribut untuk dapat berebut jatah PKB semata.

Mental korup dengan perilaku rakus tersebut memang dapat terjadi karena sistem atau aturan pemerintah dan dapat juga terjadi karena tatanan sosial masyarakat yang berubah. Perilaku rakus berdampak negatif pada tatanan kehidupan masyarakat perlu adanya penataan menyeluruh secara komprehensif, sehingga pemahaman bertetangga, berbangsa, dan beragama, serta berbudaya menjadi lebih reformis.

Sejalan dengan perubahan demokrasi dalam era reformasi berbasis revolusi mental menuju pemerintahan yang tansparan dan akuntabel para pemangku kebijakan dituntut kesadarannya agar dapat menunjukan kualitas terbaik dari kinerjanya dalam melaksanakan tugas dan tanggunjawabnya atas kerja kebudayaan mengunstruksi program PKB setiap tahunnya.

Mengingat, beragam dampak negatif dari fenomena sosial selama PKB berlangsung semakin memprihatinkan dan belum adanya komitmen dan keberanian untuk melakukan terobosan sebuah perubahan lebih baik secara ekstrem dan berkelanjutan. Padahal, secara publik diketahui bahwa sejatinya hakikat kehidupan ini bukanlah sekadar ritus perjalanan menguasai segalanya dengan berbagai cara dan bahkan mengabaikan aturan dan ketentuan hukum berasaskan demokrasi Pancasila dalam berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat hanya demi kepentingan desakan ekonomi sesaat yang sesat, tanpa kesadaran hati nurani yang berbudaya dan bermartabat, serta berkeadaban.

Apalagi, sebagian dari kita dalam konstruksi kebudayaan dan program unggulan PKB di tengah peradaban global acapkali larut dalam konsumsi produk modernitas, tanpa pernah tahu dan mungkin tidak peduli apa yang akan menjadi dampaknya bagi kehidupan keluarga dan masyarakat ke depannya.

Oleh sebab itulah, kondisi kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan, dan pengawasan, dituntut mampu mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas dan mendorong munculnya praktek-praktek pelayanan yang lebih menghargai para pengguna jasa dalam konstruksi kebudayaan di ajang PKB. Dalam konteks ini, berarti perubahan paradigma aparatur yang terarah dalam upaya revitalisasi manajemen pembangunan yang good governance, menjadi entrepreneurial competitive government (pemerintahan yang kompetitif), customer driven dan accountable government (pemerintahan tanggap/ responsive), serta global-cosmopolit orientation government (pemerintahan yang berorientasi global) dengan membangun birokrat berjiwa entrepreneur, pengembangan budaya kerja yang tinggi (terbentuk pola pikir, sikap, tindak dan perilaku, serta budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat kepercayaan masyarakat).

Pada akhirnya, sebagai kata kunci kinerja cerdas dan kritis dari kerja kebudayaan dan program unggulan PKB ke depan sangat tergantung dari pribadi kita masing-masing sebagai agen kebudayaan. Marilah bertanya dalam hati sudahkah kita bekerja dengan sentuhan hati nurani secara jujur dan menjunjung tinggi kebenaran serta nilai etika dan memuliakan kemanusiaan demi kemaslahatan publik, kesejahteraan berkeadilan dan bermartabat dalam mengonstruksi program unggulan PKB secara berkelanjutan demi upaya mencetak karakter generasi emas bangsa di tengah peradaban budaya dunia? WB-MB