Evaluasi Pesta Kesenian Bali

Dalam mengatasi secara tuntas berbagai persoalan klasik baik internal maupun eksternal selama pelaksanaan PKB setiap tahunnya memang sudah semestinya butuh komitmen bersama para elite politik penguasa pemangku kebijakan birokrasi pemerintahan. Para pemangku kebijakan ini mestinya bercermin dari tindakan heroisme Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini ketika memutuskan untuk menutup bisnis prostitusi di Kota Surabaya termasuk ketenaran lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara, sejarah Gang Dolly di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawan, Surabaya, Jawa Timur, 19 Juni 2014. Pernyataan tegasnya yang sangat patut diteladani adalah “Memang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa”. Lantas, seperti apa nasib PKB tahun ini?

 ==============================================

REALITAS atas fenomena budaya cacat moral yang menghalalkan beragam cara tidak bermartabat serta merendahkan jati diri sebagai kaum terpelajar atau cerdik pandai yang sengaja terkesan menentang kebijakan instansi terkait dengan melanggar ketentuan konstitusi hukum negara rupanya senantiasa masih menodai konstruksi keagungan dari perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-36 tahun ini. Sehingga, terkesan kental sekali adanya praktik pembiaran yang bersifat sangat masif dan sistemik. Padahal, sesungguhnya perilaku dari tindakan budaya cacat moral tersebut sudah berulangkali menjadi sorotan publik. Bahkan hampir setiap tahun dikritisi oleh para pakar dan tokoh masyarakat, termasuk para pemerhati sosial budaya dari kalangan intelektual akademis, budayawan maupun kaum profesional dalam profesi sosial media atau jurnalisme, terutama saat Serasehan PKB berlangsung.

Namun, rupanya para oknum premanisme sebagai pelaku tindakan tidak waras dari perilaku melanggar hukum tersebut seakan tidak pernah dapat disentuh oleh alat negara atau aparat penegak hukum, sehingga senantiasa dengan leluasanya melecehkan keteladanan dari kewibawaan para elite penguasa pemimpin birokrasi pemerintahan tanpa rasa takut dan rasa bersalah akan dampak dari kekuatan konstitusi hukum negara dan hukum karmapala dalam kehidupan globalisasi kekinian. Akibatnya, para oknum premanisme tersebut seakan memiliki kekuatan tanpa tanding, merasa kebal hukum dan tebal muka, serta merasa paling berkuasa daripada kebijakan konstitusi hukum negara.

Dalam konteks ini, berarti kepemimpinan negara telah dikalahkan oleh kekuatan personal maupun kelompok atau golongan tertentu, yang kecenderungan melakukan tindakan intimidasi atau praktik perilaku kebijakan ototiter/ditaktor hanya demi memuaskan harapan atas hasrat dari nafsu duniawi untuk kepentingan memperkaya diri sendiri ataupun para kroninya. Di antaranya praktik menguasai wilayah atau ruang publik seperti kampus ISI Denpasar, dan mengokupasi atau mengapling ruas jalan raya dan trotoar untuk kegiatan komersial terkait perpakiran berdalih penggalian dana, serta membuka akses publik untuk kegiatan pameran dagang yang berlindung dibalik birokrasi banjar adat dalam desa pekraman.

Ironisnya, tindakan dari perilaku pemaksaan kehendak atau intimidasi kebijakan secara otoriter/ditaktor ini rupanya disertai ancaman serius terhadap keamanan dan kenyaman pribadi termasuk institusi seperti halnya dengan tindakan perilaku premanisme dari praktik komersial perpakiran di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, yang disertai ancaman penutupan jalan pintu masuk menuju kampus tersebut oleh oknum pejabat yang berlindung dibalik birokrasi desa pekraman setempat. Sungguh tragis bukan? Kemana dan dimana keberadaan aparat keamanan negara dalam situasi dan kondisi tersebut?. Semestinya negara hadir dalam kondisi seperti itu. Padahal, negeri ini telah resmi dan disahkan berdasarkan demokrasi pancasila dan konstitusi UUD’45, tapi faktanya malahan terjadi pembiaran atas tindakan perilaku terorisme budaya primodial berdalih otonomi daerah yang kebablasan.

Bahkan, lebih tragisnya lagi bahwa praktik komersial perpakiran di ruas jalan raya dan trotoar sepanjang jalan menuju UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar justru secara vulgar menebarkan kebencian terhadap kepanitian penyelenggara PKB, dengan mengabaikan kepentingan khalayak publik, sehingga konstruksi kebijakan terkait program bebas parkir atau nol parkir di ruas jalan raya dan trotoar selama pelaksanaan PKB berlangsung demi kelancaran aksesbilitas program shuttle bus gratis bagi pengunjung PKB mengalami kegagalan struktural atau dengan kata lain, tidak terealisasi sesuai harapan publik. Padahal, sebelumnya saat dicanangkan sejak tahun 2011 lalu program pelayanan spesial bagi pengunjung PKB ini sempat meraih sukses dan bahkan dianggap mampu mengurangi tingkat kemacetan selama pelaksanaan PKB berlangsung.

Internal versus Eksternal

Akibatnya, beragam program pagelaran kesenian yang telah dikonstruksi secara sangat ekstra hati-hati dan lebih selektif oleh para tim kurator independen sesuai ketentuan konstitusi (aturan hukum) negara yang berlaku dan beragam persyaratan atau kriteria tersendiri (tambahan) yang telah ditetapkan dalam PKB tahun ini menjadi semakin kehilangan gregetnya, yakni kekuatan ruh dan taksu kebudayaan bangsa dengan nilai adiluhung yang berbasis kearifan budaya lokal khas Bali. Bahkan, sebaliknya upaya melegalkan konstruksi karakter otoriter atau ditaktor justru terkesan semakin kebablasan. Sehingga, kesenjangan sosial dalam jebakan pendapatan atau penghasilan aji mumpung berbasis materialisasi senantiasa menggerogoti konstruksi keagungan nilai adiluhung kebudayaan bangsa dalam PKB setiap tahun.

Implikasinya, segala wujud kesadaran akan keselarasan norma, akal waras, aturan hukum, keyakinan publik, logika berpikir, bernalar, ajaran dharma dan agama, kemampuan komunikasi, termasuk beragam perilaku kebenaran dan kebaikan umum sebagai modal etika sosial para elite politik penguasa pemangku kebijakan dalam menjalankan tugas dan fungsi pengabdian serta pengayoman terhadap kepentingan khalayak publik seakan telah kehilangan rasa keadilan yang bermartabat. Tak ayal, publik pun secara menyakinkan menduga bahwa telah terjadi ketegangan politik kepentingan secara internal maupun eksternal di antara pemangku kebijakan dalam birokrasi pemerintahan baik pusat (Provinsi) dan daerah (Kabupaten/Kota).

Dalam konteks ini, potret ideal etika sosial akan hasrat berkuasa para elite politik penguasa pemangku kebijakan dari aktivitas kekuasaan dan kenegaraan, birokrasi pemerintah dari tingkat pusat (Provinsi) dan daerah (Kabupaten/Kota) selama ini cenderung cacat moral, membabi buta dan kebablasan. Kenapa? Karena secara nyata dengan sengaja telah melegalkan terjadinya praktik kerja sama kongkalikong untuk memperkaya diri secara bersama-sama melalui berbagai agenda program anggaran dari proyek kebudayaan dalam pelaksanaan PKB dengan dalih demi kepentingan kemaslahatan publik untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan bangsa.

Padahal, sesungguhnya dengan telanjang mata khalayak publik mengetahui secara langsung telah terjadi praktik pembiaran terhadap adanya tindakan melanggar hukum secara masif dan sistemik selama pelaksanaan PKB berlangsung. Bahkan, keterlibatan oknum pejabat dari para elite politik penguasa pemangku kebijakan dalam praktik pembiaran ini pun sejatinya telah diketahui khalayak publik secara terang benderang. Tapi, tidak satupun dari mereka sepertinya mendapatkan teguran ataupun sanksi tegas sebagai efek jera atas tindakan perilaku cacat moralnya selama ini. Sehingga, mereka pun senantiasa merasa aman dan nyaman untuk mengulangi tindakan tidak warasnya tersebut setiap tahun.

Apabila realitas dari fenomena cacat moral ini dibiarkan terjadi terus-menerus berarti pelaksanaan PKB pada akhirnya dianggap telah gagal menciptakan dan membagikan kesejahteraan secara berkeadilan dan bermartabat bagi masyarakat, terutama kalangan seniman sebagai pelaku utama pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali. Bahkan, tujuan mulia PKB dalam menghaluskan budi pekerti, dan memuliakan nilai kemanusiaan secara lebih manusiawi sesuai ketentuan konstitusi berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat dianggap telah kandas di tengah jalan atau tidak dapat terealisasi sesuai harapan publik.

Karena itu, perlu adanya revolusi budaya sekaligus revolusi mental secara menyeluruh dalam kepemimpinan para elite politik penguasa pemangku kebijakan. Supaya tercipta perubahan yang lebih konkrit atau nyata dalam berbagai kebijakan pemerintahan bagi kepentingan khalayak publik. Sehingga, beragam tindakan perilaku melanggar hukum yang acapkali terjadi dalam pelaksanaan PKB setiap tahunnya tidak terlanjur berubah menjadi tradisi yang keliru dan salah kaprah sebagai budaya cacat moral di tengah kehidupan keseharian masyarakat Bali di masa mendatang.

Arogansi Desa Pekraman

Menyikapi realitas dari fenomena klasik (lama) ini sejatinya para elite politik penguasa pemangku kebijakan baik di tingkat pusat (Provinsi) dan daerah (Kabupaten/Kota) dalam hal ini gubernur Bali, Made Mangku Pastika bahkan telah menegaskan kepada Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) Bali, Ketut Suastika selaku penyelenggara PKB agar menuntaskan segala persoalan yang dapat menodai keagungan nilai adiluhung kebudayaan bangsa selama pelaksanaan PKB berlangsung  baik yang bersifat internal seperti kisruh stand pameran dagang maupun eksternal terutama menyangkut kendala aksesbilitas dari pengoperasian shuttle bus gratis, sehingga tidak terjadi kesan adanya praktik pembiaran setiap tahunnya.

“Saya minta supaya kendala shuttle bus gratis untuk pengunjung PKB diatasi dengan baik. Masyarakat harus dipaksa untuk tidak parkir di ruas jalan raya dan trotoar. Jangan sampai ada kesan pembiaran. Agar PKB setiap tahun tidak selalu dicap monoton,” tegasnya, sembari menantang media massa dalam hal ini para jurnalis (wartawan) yang kritis untuk mengungkap beragam kendala dan keburukan dari pelaksanaan PKB tahun ini secara terang benderang.

Apalagi, pelaksanaan PKB telah menjadi agenda rutinitas tahunan yang menasional hingga mendunia, dengan kehadiran sejumlah duta seni budaya partisipasi dari luar daerah seperti Jakarta, Kalimantan, Jogjakarta, Nusa Tenggara Timur, dan lainnya, serta partisipan luar negeri (asing) terutama dari India, Amerika Serikat, dan lainnya. Makanya, pelaksanaan PKB harus dapat menciptakan keamanan dan kenyamanan berstandar internasional, sehingga mampu menjadi wahana informasi publik sekaligus wisata budaya yang representatif dalam menunjang industri global terkait kepariwisataan bangsa secara berkesinambungan di masa datang.

Atas dasar itu pula, semua pihak terkait yang terlibat dalam pelaksanaan PKB diharapkan dapat berbenah diri dan berupaya maksimal untuk menuntaskan segala persoalan yang terjadi secara tuntas, cepat dan tepat. Supaya pelaksanaan PKB tidak terus-menerus dicap monoton karena adanya praktik pembiaran. Jika sampai persoalan klasik ini terus terjadi berarti harus dilakukan tindakan tegas terhadap kepanitian yang dianggap telah gagal dalam menjalankan tugas dan fungsi kontrolnya selama pelaksanaan PKB berlangsung. Sebagai efek jera agar fenomena ini tidak sampai menjelma menjadi kebiasaan atau budaya salah kaprah yang cacat moral di masa datang.

Sejalan dengan hal tersebut, Wali Kota Denpasar, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra sebagai elite politik penguasa pemangku kebijakan di tingkat daerah bahkan sejatinya sempat berjanji untuk mengatasi persoalan klasik (lama) selama pelaksanaan PKB berlangsung dengan mengundang berbagai pihak terkait dalam birokrasi desa pekraman yang berada di sekitar kawasan UPT Taman Budaya (arts centre) Bali Denpasar. Di antaranya kelian banjar baik adat maupun dinas, ketua sekaa teruna teruni, bendesa, pecalang, serta pihak terkait lainnya. Hal ini tentunya bertujuan sebagai upaya mengatasi sekaligus mencarikan solusi alternatif terhadap berbagai persoalan terutama dari aspek eksternal yang selama ini menodai pelaksanaan PKB setiap tahunnya.

Mengingat, persoalan eksternal tersebut memang pada dasarnya merupakan kewenangan mutlak Wali Kota Denpasar, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra selaku penguasa tertinggi di Kota Denpasar, untuk mengatasi dan menuntaskan sesuai ketentuan dari kebijakan otonomi daerah dalam menciptakan Kota Denpasar sebagai Kota Kreatif berwawasan Budaya demi terwujudnya motto Kotaku Rumahku yang menyejahterakan secara dinamis dan harmonis serta berkelanjutan. Sehingga, tidak dicap publik ada kesan telah terjadi perseteruan di antara para elite politik penguasa pemangku kebijakan di tingkat pusat (Provinsi) dengan di tingkat daerah (Kabupaten/Kota), karena adanya tindakan perilaku premanisme dari arogansi birokrasi desa pekraman yang acapkali kebablasan selama pelaksanaan PKB berlangsung. “Saya akan berupaya untuk mengatasi persoalan klasik ini. Supaya pelaksanaan PKB tahun ini dapat berlangsung dengan baik dan lancar sesuai harapan bersama tentunya,” janjinya.

Tapi, ironis sekali dan sangat disayangkan harapan ini sepertinya hanya pepesan kosong atau hanya sekadar janji tanpa bukti nyata di lapangan. Karena, tindakan perilaku premanisme yang mengomersialisasikan ruang publik seperti ruas jalan raya, dan trotoar termasuk tindakan intimidasi atau ancaman terhadap instansi pendidikan yakni kampus ISI Denpasar untuk kegiatan perpakiran berdalih penggalian dana demi kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu dengan berlindung dibalik birokrasi desa pekraman masih tetap marak terjadi dalam pelaksanaan PKB ke-36 tahun ini. Bahkan, semakin kebablasan atau lebih buruk dari tahun sebelumnya. Sehingga, segala upaya perubahan secara internal yang telah dikonstruksi dalam PKB tahun ini dengan susah payah oleh para pakar di bidangnya seakan menjadi kehilangan daya gugatnya dalam menepis kesan monoton dan menciptakan PKB yang bermartabat dan beradab.

Prof. Dr. I Wayan Dibia, MA, selaku tim kurator pagelaran PKB 2014, bahkan mengakui sempat terjebak kemacetan panjang sampai sejam lebih ketika akan bertugas melakukan pengamatan langsung di lapangan terhadap aksi panggung para seniman yang tampil di PKB ke-36 tahun ini. Guna mengetahui sekaligus mengevaluasi secara menyeluruh terhadap aksi panggung dari para seniman yang sebelumnya telah dikurasi bersama anggota tim kurator lainnya. Sebagai modal dalam menentukan arah kebijakan dari proses kuratorial saat pelaksanaan PKB selanjutnya. “Saya sangat sedih dan prihatin dengan kinerja kepanitian yang membidangi aksesbilitas selama pelaksanaan PKB berlangsung. Sepertinya mereka tidak pernah mau belajar dan berbenah diri dari pengalaman selama ini,” sentilnya.

Menurutnya, upaya pembenahan untuk mengatasi berbagai kendala secara internal terkait pagelaran kesenian yang disajikan dalam pelaksanaan PKB berlangsung sejatinya telah dilakukan dengan sangat ekstra ketat dan sangat selektif untuk mencapai peningkatan mutu dan kualitas yang lebih baik tentunya. Tapi, rupanya berbagai kendala secara eksternal terkait aksesbilitas sebagai penunjang kelancaran pelaksanaan PKB sepertinya tidak pernah diatasi secara serius dan tuntas. “Saya merasa memang perlu adanya evaluasi tersendiri terkait kinerja tim kepanitian yang terkait langsung dengan penanganan aksesbilitas dari pelaksanaan PKB tahun ini, agar tidak terulang kembali di masa mendatang,” sarannya.

Korupsi Kisruh Pungli  

Lebih jauh, dia pun sempat menyetujui adanya keinginan khalayak publik untuk memindahkan stand pameran dagang dalam kegiatan pameran pembangunan. Baginya, memang sudah selayaknya stand pameran dagang dipindahkan, sehingga denyut nadi dari aktivitas budaya di UPT Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar dapat bergairah secara terus-menerus dan tidak terpusat hanya pada saat pelaksanaan PKB semata. Stand pameran dagang semestinya bersifat terbatas dan mengacu pada tema PKB tentunya. Seperti tema Kertamasa pada PKB saat ini, misalnya, semestinya stand pameran lebih menonjolkan beragam produk pertanian terintegrasi secara menyeluruh dari masa tradisi hingga kekinian dengan teknologi serba canggihnya.

Sehingga dengan begitu, kisruh terkait adanya pungutan liar (pungli) ataupun stand pameran dagang siluman atau ilegal tidak terus terjadi dan citra monoton dari pelaksanaan PKB setiap tahun pun dapat dibenahi. Makanya, pemimpin harus memberikan keteladanan akan ketegasan dan sikap konsisten dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif agar mampu menggerakkan anggota timnya untuk membuat keputusan berani demi kepentingan khalayak publik. Supaya tidak dicap publik hanya mementingkan diri sendiri dan kroni semata dengan jalan melegalkan praktik korupsi terkait kisruh pungli pengadaan stand pameran dagang selama pelaksanaan PKB berlangsung.

Atas dasar itulah, para elite politik penguasa pemangku kebijakan dituntut harus mampu menjadi agen kebudayaan yang mampu bekerja sama dengan tokoh masyarakat dan kaum intelektual serta sekaligus bertanggungjawab untuk menginternalisasi prinsip hidup humanis demi terciptanya suatu keteraturan dalam berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat. Jalan keluarnya, membiasakan diri untuk menerima sebuah objektivitas dan kesediaan menerima keputusan yang memihak kepada kepentingan publik.

Tantangan terberatnya adalah ketika pengetahuan publik tentang kebudayaan bangsa yang dikonstruksi dalam PKB tidak dibarengi dengan pemahaman diri dan pencerahan budi (iluminasi) secara mendalam, sehingga acapkali merasa aman dan nyaman melakukan tindakan perilaku premanisme, sebagai budaya cacat moral yang berlindung dibalik birokrasi desa pekraman. Hal itu tentunya sangat jauh dari demokrasi yang bermartabat, yakni mengutamakan nilai kebenaran, akal budi, kesantunan, keadilan, dan keindahan etika sosial. Karena, kebudayaan bangsa telah terkooptasi atau diperalat keinginan materialisasi demi meneguhkan kekuasaan semata. Akibatnya, secara perlahan telah terjadi degradasi budaya di tengah kehidupan masyarakat.

Pada akhirnya, kini di tengah masa kampanye calon pemimpin bangsa yang bertarung memperebutkan kursi kedaulatan rakyat melalui pesta demokrasi kebangsaan, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden pada detik-detik coblosan 9 Juli 2014 mendatang, kita bersama tentunya sangat menantikan kehadiran kepemimpinan yang kuat dan tangguh serta bersih dan jujur untuk dapat menciptakan harapan dari sebuah perubahan global dan menyeluruh yang lebih baik dan bermartabat dalam menyelamatkan pencitraan ruh dan taksu dari kekuatan nilai adiluhung kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali selama pelaksanaan PKB berlangsung dari ancaman tindakan tidak waras atas perilaku praktik terorisme budaya cacat moral di masa datang. WB-MB