ramayana

Denpasar (Metrobali.com)-

Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar I Nyoman Astita menilai epos Ramayana yang telah bertransformasi menjadi Kakawin Ramayana diadopsi sebagai tradisi yang memengaruhi aspek mental dan fisik kebudayaaan Bali.

“Aspek mental dan fisik berinteraksi menghasilkan makna tekstual yang tidak terlepas dari kondisi politis, ekonomis, dan sosial budaya masyarakat Pulau Dewata,” kata Dr. I Nyoman Astita, M.A. di Denpasar, Minggu (18/5).

Ia mengatakan bahwa tradisi Ramayana di Bali berkembang dengan baik pada zaman Bali Klasik yang ditandai dengan berbagai ekspresi kesenian.

Naratif epos Ramayana, kata dia, merefleksikan tema-tema paradok “Rwa-Bhineda” untuk mewujudkan kehidupan yang damai dan harmonis.

Sumber kisah Ramayana pada mulanya terdiri atas lima kitab, yakni Ayodya Kanda, Arania Kanda, Kiskenda Kanda, Sundara Kanda, dan Yudha Kanda. Dua Kanda lainnya Bala Kanda dan Uttara Kanda merupakan kitab yang ditulis belakangan sebagai ringkasan yang mengawali dan menghakhiri kisah Ramayana.

Astita menjelaskan bahwa masing-masing kanda merupakan kesatuan tekstual dengan tema-tema yang disusun dengan plot dramatis serangkaian dengan peristiwa dan peran tokoh-tokohnya.

Epos Ramayana bertransformasi menjadi tradisi-tradisi Ramayana melalui sebuah proses alih kode dari penanda sastra yang meliputi unsur rupa, drama, tari dan karawitan.

Hal itu berbeda dengan seni sastra, tekstualitas seni pertunjukan merupakan kolaborasi dari unsur-unsur seni yang lebih beragam sekaligus lebih kompleks ketika diolah kembali menjadi teks-teks seni pertunjukan.

Astita menjelaskan bahwa pemaknaan epos Ramayana di Bali secara umum dapat digolongkan ke dalam tiga tradisi yang meliputi tradisi seni sastra, seni rupa, dan kriya, serta tradisi seni pertunjukan.

Keragaman tradisi Ramayana di Bali membuktikan bahwa epos Ramayana telah melalui pembauran budaya secara berkelanjutan. Masyarakat Bali menghayati nilai-nilai epos Ramayana melalui sastra Kakawin dan bacaan-bacaan prosa Ramayana lainnya.

Seniman perupa mentransformasi tema-tema epos Ramayana ke dalam karya-karya lukis, panel, dan patung. Seniman tari, karawitan, dan dalang di Bali juga mempersembahkan kisah-kisah Ramayana dalam pertunjukan wayang kulit, wayang wong, palegongan kuntir, kecak Ramayana, arja Ramayana, dan sendratari Ramayana.

Pertunjukan sendratari Ramayana menjadi sangat fenomenal pada perhelatan Pesta Kesenian Bali di awal 1980-an karena dipentaskan secara modern dan kolosal melibatkan sekitar 300 seniman.

Pementasan yang disaksikan oleh 6.000–8.000 penonton di panggung Ardha Candra yang luas, di samping terkesan spektakuler, juga diapresiasi sebagai media pendidikan karakter bangsa, tutur Nyoman Astika. AN-MB