Jakarta (Metrobali.com)-

Keadilan merupakan salah satu kata kunci terpenting yang harus dijadikan pegangan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam dan kekayaan negara.

Dalam peradaban modern ini, energi, salah satunya dalam bentuk bahan bakar minyak (BBM), menjadi komoditas utama dalam kelangsungan hidup manusia. Itu sebabnya, ketersediaan BBM dan penentuan harganya merupakan urusan krusial.

Pemerintah telah memutuskan harga baru untuk BBM bersubsidi. Pemerintah telah menaikkan harganya untuk mengubah paradigma dalam memberikan subsidi, dari sektor konsumtif ke subsidi sektor produktif.

Dana yang tersedia akibat kenaikan harga BBM itu akan dialihkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik yang menyasar kepada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Pada kelompok inilah pendidikan gratis, berobat gratis, dan kredit untuk usaha mikro harus diarahkan.

Pembangunan infrastruktur, khususnya untuk menunjang roda perekonomian daerah-daerah tertinggal, juga menjadi sasaran dari upaya penaikan harga BBM bersubsidi.

Dengan demikian keadilan merata kepada seluruh lapisan rakyat tidak melulu pada pemilik kendaraan.

Kalangan mahasiswa pun tak semuanya memprotes kenaikan harga BBM. Ada yang sepikiran dengan pemerintah seperti yang disampaikan oleh Aliansi Mahasiswa Republik Indonesia.

Mereka mendukung pengalihan subsidi bahan bakar minyak untuk pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal sehingga bisa menggenjot perekonomian masyarakat.

Ketua Aliansi Mahasiswa Republik Indonesia (AMRI) Sofyan Hadi di Jakarta, mengatakan, pengalihan subsidi BBM untuk infrastruktur dapat memperbaiki taraf hidup masyarakat miskin.

Dengan adanya pembangunan infrastruktur, maka masyarakat yang berada di daerah tertinggal bisa menjalankan aktivitas berdagang lebih terjangkau dan tidak memakan biaya terlalu besar, ujarnya.

AMRI merupakan gabungan dari berbagai perguruan tinggi di antaranya UIN Jakarta, PTIQ Jakarta Nusantara Tangerang Selatan, STIE SEBI Tangerang Selatan, STI Filsafat, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Pamulang, dan STAI NU.

Namun, tentu masih ada kelompok mahasiswa dan segmen masyarakat lain yang menolak kenaikan harga BBM bersubsi dan mereka menolak seluruh argumen yang dibangun oleh mereka yang pro pada penaikan harga BBM.

Bagi yang menolak, kenaikan harga BBM bersubsi meniscayakan naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok yang pada akhirnya menggerus kemampuan alias daya beli masyarakat. Mereka tak lagi sanggup membeli kebutuhan pokok seperti sedia kala tatkala harga-harga kebutuhan pokok belum naik.

Memang pemerintah memberikan bantuan dana bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah namun tak semua mereka yang berpenghasilan rendah terliput oleh pemberian dana yang disalurkan pemerintah itu.

Paradoks pemberian bantuan yang berbasis birokratis selalu terjadi. Ketika era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, masyarakat memperoleh bantuan kompor dan tabung gs tiga kilogram setiap kepala keluarga. Ironisnya, bantuan itu diberikan atas dasar bukti kepemilikan kartu keluarga di tempat pemberian kompor dan tabung berlangsung.

Syahdan, para penerima bantuan kompor dan tabung itu adalah mereka yang mempunyai rumah dan alamat jelas sehingga mereka mempunyai kartu keluarga dan KTP yang jelas pula. Sementara itu ribuan keluarga miskin yang tak punya rumah dan mengontrak di rumah-rumah petak sempit, yang berasal dari daerah-daerah lain, tidak punya bukti kartu keluarga di tempat mereka tinggal. Jadi justru mereka yang mestinya memperoleh bantuan kompor dan tabung gas itulah yang jadi korban kebijakan filantropis pemerintah.

Pengalaman lalu sebaiknya menjadi pelajaran pemerintah masa kini. Niat Presiden Jokowi boleh agung dan mulia, tapi pelaksanaan di lapangan sering melenceng dari niat mulia itu.

Pengalihan subsidi BBM ke pembiyaan pembangunan infrastruktur juga diharapkan sesuai dengan harapan. Jangan sampai, pengalihan itumalah menjadi ajang kenduri para pengelola pembangunan infrastruktur yang sedang kebanjiran dana tersebut.

Tampaknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu mengarahkan perhatiannya pada mengalirnya dana besar sebagai akibat pengalihan subsidi BBM tersebut. Jika dana besar itu terkorupsi oleh birokrat dan pelaksana pembangunan infrastruktur, semakin terpuruklah kalangan rakyat yang tak menerima bantuan sekaligus terkena dampak kenaikan harga-harga di semua sektor barang dan jasa.

Harus diakui perilaku korup demikian mengguritanya di negeri ini. Di tataran sektor pelayanan publik, korupsi itu sulit diberantas. Sebutlah soal pengutan liar di tempat-tempat paling rawan seperti di pelabuhan tempat bongkar muat barang dapal-kapal barang yang berlabuh.

Konon, untuk memperoleh layanan tercepat dalam memarkir kapal pun, permainan pungutan liar bisa terjadi. Bahkan dalam mengurus surat tanda kendaraan bermotor (STNK) dan surat izin mengemudi (SIM) pun permainan pengutan liar masih berlangsung. Janganlah kaget jika anda sedang menyerahkan berkas lalu diabaikan dan dikalahkan oleh orang yang masuk lewat pintu belakang meletakkan tumpukan berkas serupa.

Untuk menghapus semua perilaku korup itu, perlu secara terus-menerus ditemukan sistem yang impersonal, penerapan teknologi termasuk mengikhtiarkan agar seminimal mungkin peran manusia dalam melayani urusan publik.

Kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk mengubah pembayaran tunai dalam berbagai urusan birokrasi lewat pembayaran dalam jaringan merupakan satu solusi yang bisa diterapkan di sektor-sektor yang masih dilakukan secara manual dan tunai selama ini. AN-MB