gas 12 kg

Jakarta (Metrobali.com)-

Kenaikan harga gas elpiji 12 kg menjadi ujian bagi bangsa Indonesia untuk bisa memaknai isu kedaulatan energi dengan lebih mapan.

Faktanya elpiji di Tanah Air justru terjebak dalam carut marut kepentingan yang diduga hanya menguntungkan para mafia migas bukan justru dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, minimal berpihak pada kebutuhan UKM.

Nyatanya memang upaya menaikkan harga hampir selalu menjadi opsi yang diambil ketika Pertamina mulai mengeluhkan kerugian.

Dampaknya jelas bahwa para pelaku UKM yang menjadi kaum paling rentan dan sensitif terhadap kebijakan menjadi korban yang paling pertama.

Pengamat Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto meminta pemerintah untuk tidak selalu menyelesaikan masalah dengan menaikkan harga karena sebetulnya persoalan pokoknya justru menumpas mafia migas.

“Mereka itu yang harus dibersihkan, jangan rakyat kecil yang jadi sasaran untuk menanggung beban,” katanya.

Suroto menekankan pentingnya untuk menghentikan kebiasaan buruk menaikkan harga itu dan menyudahi orientasi ekonomi yang “trickle up”.

Motivasi untuk mengejar target keuntungan bagi Pertamina yang dilandasi “profit oriented” kata dia juga harus dihentikan.

“Keberadaan BUMN itu seharusnya memberikan daya dorong ekonomi kecil, bukan menghabisi mereka,” kata Suroto.

PT Pertamina (Persero) menaikkan harga gas elpiji nonsubsidi tabung 12 kg sebesar Rp1.500 per kg atau  Rp18.000 per tabung 12 kg, mulai 10 September 2014.

Kenaikan harga gas 12 kg di tingkat konsumen akan berkisar Rp21.000-Rp22.000 per tabung karena ditambah ongkos transportasi dan marjin pengecer. Sebelumnya harga gas 12 kg dijual ke konsumen sekitar Rp100.000 per tabung.

Picu Polemik Boleh jadi isu kenaikan elpiji 12 kg bukan primadona saat ini lantaran bangsa Indonesia masih terkonsentrasi pada suksesi pemerintahan baru.

Namun dampak kenaikan harga itu tak pelak tetap memicu polemik di level terbawah yang nyaris tak pernah disuarakan.

Bahkan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) belum lama ini menilai kenaikan harga gas elpiji yang sempat memicu polemik di masyarakat dikendalikan oleh mafia migas, dan telah direncanakan kenaikannya oleh Pertamina.

Kenaikan harga ini menurut FITRA sudah direncanakan oleh Pertamina dan mafia pasalnya, kenaikan harga LPG 12 kg berdasarkan Rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang tertuang dari hasil audit BPK Semester I-2013 terhadap Pertamina untuk sektor gas.

Dalam rekomendasi tersebut, Pertamina sepanjang tahun 2011-2012 mengalami kerugian Rp7,73 triliun. Sejatinya kenaikan ini diduga FITRA sudah diprakondisikan, dimana pemerintah tidak pernah mau mengubah porsi penjualan gas antara kebutuhan luar negeri dengan dalam negeri. Pemerintah tetap mempertahankan porsi penjualan gas luar negeri tetap tinggi sementara dalam negeri dipatok rendah.

Berdasarkan data FITRA yang diperoleh dari Kementerian ESDM, porsi penjualan gas pemerintah pada 2012 untuk dalam negeri 40,7 persen dan untuk ekspor 59,3 persen.

Akibat dari minimnya pasokan gas ini, membuat pasokan LPG untuk pasar dalam negeri sangat sedikit sehingga Pertamina melakukan impor untuk memenuhi pasokan gas dalam negeri.

Menurut Peneliti Pusat Studi Energi Univesitas Gadjah Mada Fahmy Radhi kepada wartawan beberapa waktu lalu selain tidak transparan dalam penetapan proporsi impor, Pertamina juga sangat tidak tranparan dalam penetapan harga produksi LPG. “Pertamina menetapkan harga pembelian LPG yang dibeli dari dalam negeri melalui anak perusahaannya dengan menetapkan harga internasional, sama dengan harga impor. Ini benar-benar tidak fair, harga pokok penjualan LPG dimark-up lebih disesuaikan dengan harga impor, lalu selisih harga jual diklaim sebagai kerugian Pertamina,” kata Fahmy.

Fahmy juga mengendus adanya indikasi pengendalian mafia LPG justru sejak awal dalam memutuskan pilihan LPG untuk kebutuhan dalam dalam negeri.

Padahal, data menunjukkan bahwa ketersediaan LPG di Indonesia semakin berkurang sehingga impor LPG tidak bisa dihindarkan lagi. Seharusnya, kala itu Pertamina lebih memilih LNG dan Gas Bumi, yang hingga kini ketersediannya masih melimpah.

Ironisnya, LNG dan Gas Bumi justru diekspor dengan kontrak jangka panjang, sementara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri malahan harus diimpor dengan harga yang lebih mahal.

Migrasi Elpiji Mafia migas boleh jadi adalah isu politik tingkat dewa yang sulit dipahami masyarakat awam.

Namun hal yang paling kasat mata terkait kenaikan gas elpiji nonsubsudi adalah dampaknya yang berpengaruh langsung terhadap pola konsumsi masyarakat hingga daya belinya yang tergerus turun.

Ada kekhawatiran dengan adanya kenaikan harga Elpiji non subsidi 12 kg tersebut juga memicu migrasi konsumen ke LPG 3 kg.

Hal yang terjadi selanjutnya adalah tindakan ilegal oleh oknum tak bertanggung jawab untuk mengoplos LPG 3 kg ke LPG 12 kg demi mencari keuntungan yang besar atau pemakai gas elpiji non subsidi 12 kg akan beralih ke LPG 3 kg.

Ketua AKSES Suroto kembali menilai prediksi Pertamina soal migrasi elpiji dari 12 kg ke 3 kg yang diperkirakan hanya dua persen cenderung manipulatif.

“Perkiraan Pertamina yang menyebutkan migrasi hanya akan terjadi sekitar 2 persen itu prediksi yang manipulatif,” kata Suroto.

Menurut dia fakta penetapan kenaikan harga elpiji 12 kg oleh Pertamina sangatlah memberatkan UKM hingga membuat mereka terpaksa bermigrasi ke gas 3 kg karena pertimbangan ongkos produksi.

Ia berpendapat hal itu terjadi karena kenaikan itu mengakibatkan ongkos produksi menjadi tidak rasional lagi karena harganya bisa dua kali lipat dari gas subsidi 3 kg.

“Kalau dihitung harga eceran gas 12 kg bisa sampai Rp125 ribu di tangan pembeli. Artinya jika dibandingkan dengan harga gas 3 kg yang bersubsidi yang harga ecerannya Rp17 ribu atau Rp68 ribu per 12 kg berarti selisihnya bisa sampai Rp57 ribu atau hampir dua kali lipat,” katanya.

Suroto memantau hingga kini para pedagang kecil sudah mulai banyak yang migrasi dan keputusan ini juga merepotkan mereka karena di beberapa tempat persediaan gas 3 kg mulai sulit didapat.

Menurut dia kenaikan harga gas 12 kg hanya berdampak pada UKM yang bahkan tidak dapat menaikkan harga jual barang mereka karena pelanggannya juga masyarakat kecil yang daya belinya terbatas.

“Kebijakan ini adalah keliru besar karena mencoba untuk mengambil keuntungan dari selisih harga psikologis para pengusaha kecil yang tak mungkin akan mampu menaikkan harga jual mereka,” katanya.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga sudah mengimbau pemerintah mewaspadai dampak dari kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram, karena sebagian konsumen gas 12 kilogram diperkirakan beralih ke gas 3 kg.

Menurut anggota pengurus harian YLKI Ilyani S Andan dengan adanya peralihan konsumsi tabung 12 kg ke 3 kg, dipastikan permintaan terhadap gas 3 kg akan meningkat.

Selain adanya selisih harga yang siginifikan, kenaikan tarif dasar listrik juga mendorong masyarakat beralih ke gas 3 kg.

“Dengan kondisi pasar seperti itu maka pemerintah harus melakukan berbagai persiapan atau langkah-langkah antisipasi, agar tidak memunculkan gejolak di masyarakat,” katanya.

Elpiji memang sudah semestinya menjadi alat menuju kesejahteraan masyarakat melalui keberpihakannya pada UKM bukan justru menguntungkan para mafia migas. AN-MB