kud

Jakarta (Metrobali.com)-

Dunia di ambang krisis pangan tak terkecuali Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah yang sadar segera bergerak menyusun road map ketahanan pangan untuk rakyatnya hingga beberapa dekade ke depan.

Indonesia tak terkecuali, sebagai negara yang pernah mewarisi kejayaan sebuah lembaga penjaga ketahanan pangan di era Orde Baru bernama KUD kini mulai mengorek kenangan masa lalu itu.

Koperasi unit desa (KUD) pun dilirik kembali dan dipertanyakan eksistensinya kini. Mampukah dia kembali menjadi tulang punggung pangan dan penjaga lumbung petani tetap terisi? Koperasi unit desa memang memiliki sejarah panjang sebagai gerakan ekonomi rakyat di bidang pangan yang sangat mengesankan setidaknya pada era 1990-an.

Namun, sejak 2003 hingga kini, perannya perlahan tapi pasti surut seakan menemukan tempatnya untuk tidur panjang.

Gudang, lantai jemur, dan kios berikut aset-asetnya yang tersebar di pelosok nusantara kini banyak yang terbengkelai.

Fakta itu sangat disayangkan mengingat isu ketahanan pangan kini mengemuka seiring dengan ancaman krisis pangan yang kian hebat. Di satu sisi KUD memiliki potensi yang luar biasa untuk menjadi tulang punggung suksesnya program ketahanan pangan di Tanah Air.

Sayangnya, KUD yang pernah menjadi raksasa pelindung di bidang pangan di Tanah Air kini tidak lagi punya peran signifikan. Berbagai sebab melatarbelakangi keadaan itu.

Suyanto, Ketua KUD Tani Jaya di Kemlagi, Mojokerto, Jawa Timur, mengatakan bahwa KUD di berbagai daerah hampir tak lagi memiliki kesempatan untuk bisa berkembang lebih besar.

“Salah satunya karena Bulog tidak lagi sepenuhnya mengambil beras dari KUD. Padahal, dahulu hampir 100 persen kita memasok Bulog,” katanya.

Selain itu, kini umumnya Bulog juga membeli beras petani dari KUD dengan harga di bawah pasaran, padahal KUD sendiri kerap kali membeli beras dari petani dengan harga yang sudah lumayan tinggi.

Menurut dia, redupnya kiprah KUD mutlak lantaran kebijakan yang kurang memihak selain juga banyak SDM KUD yang perlu ditingkatkan kompetensinya.

Hal senada dikatakan Ketua KUD Aris di Desa Kejawar, Banyumas, Jawa Tengah H. Soenaryo A.S. Dia mengatakan bahwa KUD sayangnya, sebagaimana koperasi-koperasi lain di Indonesia, masih terkendala pada sulitnya mengedukasi anggota agar mampu menjadi anggota koperasi yang paham terhadap prinsip dan jati diri koperasi untuk kemudian membangun koperasinya menjadi semakin maju.

“Kami ingin menekankan kepada anggota untuk tidak sekadar menjadi pengamat dan penikmat. Akan tetapi, itu masih sulit,” katanya.

Koperasi unit desa itu juga masih terkendala dengan minimnya modal meskipun berkeras ingin menjadi koperasi yang mandiri.

Citra Buruk Di sisi lain KUD bahkan diragukan untuk mampu kembali menghimpun dan menyalurkan beras petani. Mengingat citranya hingga saat ini sudah terlanjur buruk, kata pengamat ekonomi koperasi Suroto.

“Ibarat image, KUD itu sudah buruk dan masyarakat juga tidak banyak yang percaya lagi. Kondisinya saat ini juga sudah banyak yang mati suri,” kata Suroto.

Oleh karena itu, dia meragukan kemampuan KUD untuk bisa mengambil alih kembali pendistribusian beras petani dan menjadi mitra Bulog terlebih terlibat aktif dalam program ketahanan pangan nasional.

Menurut dia, pendistribusian beras melalui KUD, seperti pada era Orde Baru nyatanya tidak semulus yang dibayangkan. Faktanya justru menghadapi kendala akibat kelembagaan KUD tidak dibangun dengan baik.

“Buktinya banyak pengurusnya yang hanya bermain mata dengan para pengusaha dan menjual delivery order (DO). Ini tidak boleh terjadi lagi dan sebaiknya dibentuk saja koperasi pertanian,” katanya.

Suroto berpendapat bahwa fungsi koperasi pertanian itu penting untuk menjadi gudang beras dan pendistribusian beras sekaligus meningkatkan konsolidasi lembaga petani.

“Polanya bisa mencontoh Jepang, koperasi pertanian Zen Noh di sana bahkan menjadi koperasi terbesar di dunia,” katanya.

Ia menambahkan bahwa kalau pemerintah masih ingin mengalokasikan subsidi untuk petani, sebaiknya dananya dikelola oleh organisasi petani sendiri. Kelompok tani (poktan) yang ada idealnya diintegrasikan dalam koperasi pertanian milik petani, katanya.

“Kementerian Pertanian bersama Kementerian Koperasi dan UKM sebaiknya bersinergi. Kementerian Pertanian menangani soal peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Sementara itu, Kementerian Koperasi dan UKM berusaha untuk mengurusi kelembagaan petaninya melalui pembentukan koperasi pertanian,” katanya.

Masih Potensial Sejatinya KUD masihlah menjadi konsep yang paling potensial untuk mendukung suksesnya program ketahanan pangan.

Bahkan Kementerian Koperasi dan UKM membantah KUD tidak lagi berperan dalam distribusi pangan, tetapi karena tidak lagi dilibatkan secara khusus.

“Masih banyak KUD yang memiliki potensi besar untuk menjalankan distribusi pangan. Akan tetapi, sayangnya banyak yang tidak diberikan kesempatan untuk itu,” kata Deputi Bidang Produksi Kementerian Koperasi dan UKM I Wayan Dipta.

Ia mengatakan bahwa sampai saat ini KUD yang memiliki Gudang Lantai Jemur dan Kios (GLK) dari yang berkapasitas mulai 130 ton hingga 1.000 ton sebanyak 6.576 KUD di seluruh Indonesia.

Dari angka itu sebanyak 1.919 KUD di berbagai provinsi masih menjalankan fungsi dalam distribusi dan penyimpanan beras.

Beberapa provinsi yang KUD-nya masih menjalankan fungsi optimal dalam distribusi beras di antaranya Aceh tujuh KUD, Sumatera Utara 37 KUD, Sumatera Barat dua KUD, Lampung tiga KUD, dan Jawa Timur 556 KUD.

Selain itu, Jawa Barat 307 KUD, Jawa Tengah 555 KUD, DIY 34 KUD, Sulawesi Barat 4 KUD, Bali 53 KUD, Sulawesi Selatan 233 KUD, Kalimantan Selatan 4 KUD, Kalimantan Barat 13 KUD, dan NTB 101 KUD.

“Tidak benar kalau KUD tidak berperan. Kalau perannya menurun, itu mungkin saja. Namun, itu lebih karena sistem distribusi pangan, terutama beras, yang dibuka untuk semua pelaku usaha sejak 2003,” katanya.

Kebijakan yang membuka kesempatan, termasuk swasta, untuk berkecimpung dalam distribusi pangan membuat peran koperasi makin menurun.

“Sejak saat ini siapa saja yang modalnya besar akan bisa menguasai distribusi pangan. Sementara itu, koperasi makin terpinggirkan,” katanya.

Padahal, pangan merupakan isu yang strategis karena menguasai hajat hidup orang banyak sehingga semestinya ditangani oleh koperasi karena koperasi dimiliki oleh banyak anggotanya.

Ke depan, menurut Wayan, jika Indonesia ingin konsisten membangun sistem pengadaan pangan yang lebih baik, koperasi harus dilibatkan dengan peran yang lebih besar.

Ia mengajak semua pihak untuk mendukung makin besarnya peran koperasi dalam mendukung kedaulatan pangan di Indonesia.

“Koperasi harus dilibatkan supaya stok pangan bisa dikendalikan dengan baik karena kalau di tangan swasta tujuan akhirnya mengejar profit. Jadi, mari kita support koperasi karena mereka secara fasilitas punya semuanya kok,” katanya.

Wayan juga berharap koperasi bisa didorong menjadi lembaga perdesaan yang menaungi petani karena berhubungan langsung dengan petani di perdesaan.

Maka eksistensi KUD dan peluangnya untuk menjadi penjaga lumbung petani agar tetap terisi mestinya tidak perlu diragukan lagi. AN-MB