eksekusi mati

Jakarta (Metrobali.com)-

Di Indonesia, hukuman mati bagi warga asing bukan lagi persoalan yang berhenti di meja pengadilan, melainkan terus berkembang menjadi diskursus ekonomi-politik yang dibincangkan publik dalam kalkulasi untung-rugi.

Dalam diskursus publik, persetujuan atau penolakan terhadap vonis mati tidak hanya didasarkan atas pertimbangan hukum ataupun hak asasi manusia. Alih-alih, dasar pertimbangan yang utama adalah dampak hubungan dagang dengan negara asal terpidana, kedaulatan, dan juga kalkulasi pertukaran nyawa.

Simak saja pernyataan anggota Dewan Perwakilan Rakat (DPR) RI Nurhayati Ali Assegaf berikut ini. Ketika menanggapi sikap keras Brasil saat mengetahui salah satu warganya akan ditembak mati, Nurhayati mengatakan, “Bila mereka putuskan hubungan dengan Indonesia, mereka akan rugi sendiri.” Jika ditarik konsekuensi radikal atas pernyataan Nurhayati itu, pemerintah boleh merenggut hak hidup warga asing selama hubungan bilateral dengan negara asal terpidana tidak begitu penting. Menarik untuk menunggu pendapat anggota dewan itu jika Rodrigo Gularte tidak berpaspor Brasil, tetapi negara kuat, seperti Tiongkok dan Amerika Serikat.

Selain untung-rugi, ada juga upaya tukar nyawa antarpenjahat. Hal ini yang dilakukan oleh Perdana Menteri Australia Tony Abbott. Dia ingin menyerahkan tiga tahanan asal Indonesia dengan imbalan pembebasan dua warganya yang akan berhadapan dengan regu tembak di Nusakambangan.

Dalam isi kepala Abbott, kejahatan bisa ditukar asal warganya selamat. Semua demi kepentingan Australia. Masa bodoh dengan hak asasi manusia para pencari suaka asing yang terdampar di tengah Samudra Hindia.

Di sisi lain, hukuman mati di Indonesia juga erat kaitannya dengan politik balas budi. Selip lidah Freudian dari Abbott soal bantuan tsunami kemudian ditanggapi sejumlah warga dengan aksi pengumpulan koin. Seakan-akan hukuman mati bisa dilaksanakan jika utang sudah terbayar.

Besarnya aspek ekonomi-politik dalam hukuman mati bagi warga asing juga tampak benderang dalam minimnya pemberitaan di media massa soal reaksi dari pemerintah Nigeria dan Ghana. Hiruk pikuk diskusi publik hanya ramai terkait dengan pernyataan keras pejabat Australia, Brasil, dan Belanda.

Kontras dalam pemberitaan itu bisa dipahami dengan merujuk pada kekuatan masing-masing pihak.

Brasil adalah negara dengan perekonomian terbesar di Amerika Latin dan anggota kelompok BRICS yang berpotensi menjadi penentu politik-ekonomi internasional pada masa mendatang. Sementara itu, Australia adalah sekutu terkuat Amerika Serikat di wilayah Timur dan berbatasan laut dengan Indonesia.

Di sisi lain, meski merupakan produsen minyak terbesar di Afrika, Nigeria adalah negara dengan pemerintahan lemah yang tidak mampu menangani gerakan teroris Boko Haram.

Absennya Indonesia Selain nasib warga Nigeria dan Ghana, yang juga absen dalam perbincangan publik adalah nasib pribumi yang harus dieksekusi mati. Sebanyak 27 dari 66 terpidana mati akibat kejahatan narkoba adalah warga Indonesia.

Mungkin saja di benak masyarakat negara ini, hak hidup pribumi kalah penting dibanding kematian orang asing dan segala dampak ekonomi-politik internasionalnya.

Orientasi ekonomi-politik internasional itu kemudian berdampak pada kegagalan publik dalam menjawab pertanyaan kenapa tingkat kriminalitas secara umum (bukan hanya terkait dengan narkoba) tetap tinggi meski pengadilan sering menjatuhkan hukuman mati.

Tingginya tingkat kriminalitas itu tercermin dalam fakta bahwa lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan mengalami kelebihan kapasitas sekitar 150 persen dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

Merujuk pada fakta itu, sebagian kelompok pembela hak asasi manusia berpendapat bahwa hukuman mati tidak berkorelasi langsung dengan efek jera sehingga perlu dihapuskan.

Meski dapat dibenarkan, pendapat mereka masih belum menjawab pertanyaan pertama mengenai tingginya kriminalitas di tengah banyaknya putusan hukuman mati. Sering kali kelompok pembela HAM menunjuk pada rendahnya kejahatan di negara-negara Eropa meski mereka sudah menghapus vonis terberat.

Argumen mereka mudah patah. Meksiko juga tidak mengenal tiang gantungan dan negara itu terkenal akan sindikat narkoba bersenjata yang membunuh ratusan orang.

Salah satu variabel struktural yang sering dilupakan dalam rendahnya kriminalitas di Eropa adalah relatif meratanya tingkat kesejahteraan. Denmark misalnya. Negara ini mempunyai indeks gini terbaik kedua di dunia (0,248) sekaligus menjadi salah satu tempat teraman dengan tingkat pembunuhan di bawah 0,1 per 100.000 jiwa.

Sementara itu, di Indonesia sendiri, data terakhir Bank Dunia menunjukkan bahwa indeks gini berada pada level 0,381 dengan tingkat pembunahan 20 kali lebih banyak dibanding Denmark.

Merujuk pada data survei nasional Badan Pusat Statistik terakhir soal kriminalitas pada tahun 2013, kejahatan terkait dengan pelanggaran hak milik (pencurian, pemerasan, dan penyelundupan) menjadi jenis kriminalitas yang paling sering dilakukan dengan persentase 33,85 persen.

Angka tersebut jauh lebih tinggi daripada kejahatan dengan motivasi selain perebutan harta milik orang lain. Dengan demikian, sebagian besar kriminalitas di Indonesia terkait langsung dengan pemerataan kesejahteraan.

Bahkan, kejahatan narkoba yang sering berujung pada hukuman mati juga dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal bermotif harta kekayaan jika ditilik dari pengakuan sebagian terpidana mati.

“Dahulu saya berharap dapat membeli mobil dan memulai usaha sendiri. Akan tetapi, saya tahu saya tidak dapat mewujudkannya dengan bekerja di bagian surat-menyurat selama 50 tahun,” tutur Myuran Sukumaran, sang pesakitan asal Australia, saat menceritakan bagaimana dia terjerat dalam bisnis narkotika.

Tentu saja kejahatan atas niat apa pun tidak dapat dibenarkan dan harus dihukum sesuai dengan peraturan.

Namun, selama masalah struktural kesenjangan kesejahteraan masih belum usai, hukuman seberat tiang gantungan tidak akan mampu menekan kejahatan ataupun menimbulkan efek jera. AN-MB