Dramatari arja garapan baru berjudul Romantara – Yulianti

Denpasar (Metrobali.com)-

Dramatari arja garapan baru berjudul Romantara – Yulianti tampil memikat di kalangan Ayodya (arts centre) Bali, Denpasar, Senin (4/8) malam. Persembahan Geria Kreativitas Seni (Geoks) pimpinan Prof. I Wayan Dibia ini disajikan serangkaian peragaan dan pagelaran seni Bali Mandara Mahalango 2014, yang dimaknai sebagai dinamika seni budaya menuju kesejahteraan, kemajuan, dan keagungan peradaban Bali.

Dengan iringan gamelan geguntang dari sanggar Seni Cundamani, Pengosekan Ubud, Gianyar alur cerita dari dramatari arja ini mengalir dengan sangat apik nan dramatis. Mengungkap kisah tragedi cinta yang tak sampai dan berakhir dengan kematian. Sungguh tragis dan sangat memilukan. Di mana, dua sejoli dari keluarga yang saling bermusuhan, I Romantara dari keluarga Montigan, dan Ni Yulianti dari keluarga Capilan, saling jatuh cinta. Karena, api cinta keduanya sepakat menikah secara diam-diam di kediaman Dukuh Loranoja di Mantua.

Tapi, kedua orangtuanya telah sepakat menikahkan Ni Yulianti dengan Gusti Parisrama, seorang bangsawan Baruna Kuta. Akibatnya, Ni Yulianti meminta saran Dukuh Loranoja. Setelah itu, Ni Yulianti dibuat “mati” sementara dengan ramuan buatan Dukuh Loranoja. Ironisnya, konspirasi ini tidak berjalan dengan baik, karena Dukuh Loranoja terlambat memberitahukan I Romantara. Akibatnya, keduanya mati sebenarnya, setelah meminum ramuan racun yang dibawa I Romantara saat menemui Ni Yuliati di ruang makam keluarga Capilan.

Tak pelak, tragedi ini membuat Dukuh Loranoja bersedih dan mengakui kesalahannya di depan kedua keluarga yang berseteru tersebut. Akhirnya, kedua keluarga itu sepakat berdamai dalam ikatan kekeluargaan. Dalam upaya memuliakan kisah cinta Romantara dan Yulianti serta mengakhiri permusuhan kedua keluarga itu pun, Cakilan dan Montigan sepakat mengabadikan kedua sejoli tersebut dengan patung emas.

Hampir selama empat jam lebih, imajinasi penonton dihipnotis dalam sentuhan romantisme sekaligus tragedi yang mengharu biru. Tapi sarat pesan moralitas dan filsafat kehidupan.

Dramatari arja yang terbagi dalam enam babak ini melibatkan tiga belas penari dan sembilan penabuh. Sebagai pemeran utama, Galuh (Ni Yulianti) adalah Ni Putu Eka Lakmi Dewi, dan Mantri Manis (Romantara), yakni Jero ‘Ratna’ Darmanti. Didukung pemeran lainnya, seperti I Ketut Kodi sebagai Dukuh Loranoja, Ida Ayu MadeDwita Sugiantini (Mantri Buduh), I Made Sugiantara (Patih Keras/Jero Gaduh), Ida Ayu Made Dwita Sugiantini (Mantri Buduh/Pariasmara).

Selain itu, juga dimeriahkan, Ketut Suanda alias Cedil, dan I Made Bagia alias Bagio sebagai rakyat, I Gusti Ayu Purnama Dewi (Inya, Bibi Entog), Ni Wayan Tutik Suantari (Limbur), I Gede Tilem Pastika (Penasar Kelihan/Bengkala), Dewa Putu Selamat Raharja (Penasar Cenikan/Bengkalis), I Made Kiwi (Penasar Kelihan/Sada), Cokorda Alit Artawan (Penasar Cenikan/Sadi).

Sementara itu, penabuh terdiri atas I Dewa Putu Rai (kendang lanang), I Dewa Putu Beratha (kendang wadon), Sang Kompyang (tawa-tawa), Made Mardika (cengceng), Gusti Putu Regin (klenang), Dewa Made Ogen (gong), Gusti Ngurah Suryana dan Sang Eri Widya (gangsa), dan Joker Winangun, Putu Swaryandana, Agus Diana, Anak Agung Krisna, dan Wayan Karta (suling).

Prof, I Wayan Dibia, mengakui dramatari arja garapan baru ini merupakan salah satu upaya kreatif untuk membuat arja tetap menarik di mata penonton. Sesuai kebutuhan lakon, upaya inovasi dilakukan pada perubahan struktur pertunjukan, penggambaran tokoh, serta tata rias dan busana. Sedangkan, elemen esensial arja, yakni tembang macepat tetap diutamakan, termasuk prinsip estetis arja, yakni ngigel nembang tetap dipertahankan. “Kebaruan yang tetap sesuai pakem seni pertunjukan arja tentunya,” katanya.

Menurutnya, dramatari arja ini sarat pesan moral dan filsafat hidup yang patut untuk dimaknai dalam kehidupan kekinian. Sebagai upaya membentuk karakter bangsa berbudaya, berbudi pekerti luhur dengan berlandaskan kearifan lokal dan nilai adiluhung kebudayaan bangsa. “Sebagai media edukatif yang mencerahkan dan mencerdaskan, sesuai tuntutan dan konteks peradaban globalisasi zaman tentunya,” tandasnya.

Dramatari arja, yang mengungkap tragedi cinta ini mengadaptasi kisah Romeo dan Juliet karya Shakespeare. Sebagai penata tabuh dua bersaudara, yakni I Dewa Putu Beratha dan I Dewa Putu Rai, dan penata tari Dewa Nyoman Sura “Gung Kak”, serta didukung tata rias dan busana oleh Made Suardana dan Sampil Collection. Sedangkan, sebagai sutradara dan penulis naskah adalah Prof.  I Wayan Dibia.

Sekedar mengingatkan, Prof. I Wayan Dibia, sejak tahun 1993 telah menuangkan lima cerita baru ke dalam dramatari arja. Di antaranya mengubah kisah Yunani Kuno, berjudul Phedra menjadi Pedrawati, tahun 2004 mengangkat cerita Ketemu Ring Tampaksiring, karya I Made Sangra, tahun 2006 mengubah kisah Yunani Kuno Oedipus Sang Raja menjadi Prabu Adhipusenggara, serta 2008 menggarap Sukreni Gadis Bali karya Anak Agung Panji Tisna.WB-MB