Jakarta (Metrobali.com)-

Kalangan DPR RI meminta lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing, seperti Greenpeace dan WWF, yang beroperasi di Indonesia bekerja sesuai dengan�aturan hukum yang berlaku di Indonesia.

“Dalam advokasinya, LSM itu harus melakukan kajian ilmiah dan bukan progranda dan isu belaka. Ini untuk menghindari benturan hukum dengan pengusaha,” kata Ketua Komisi IV DPR RI Mochammad Romahurmuziy di Jakarta, Kamis (19/9).

Menurut dia, LSM asing harus menyadari bahwa Indonesia kini berada dalam radar investasi dunia.

Peluang sektor agrobisnis, seperti industri pulp, untuk menjadi pemain wahid di dunia sangat terbuka.

“Nasionalisme LSM harus menjadi prioritas agar bisa melihat segala sesuatu lebih jernih. Jadi, tidak asal bekerja berdasarkan pesanan negara yang memberikan pendanaan bagi NGO bersangkutan,” katanya.

Romahurmuzy juga mengakui bahwa ada perusahaan yang nakal dan tidak mematuhi aturan, tetapi LSM tidak bisa langsung menggeneralisasi bahwa semua perusahaan di Indonesia demikian.

“Banyak perusahaan pulp yang mempunyai kontribusi sangat besar terhadap perekonomian Indonesia, terutama dalam membuka lapangan pekerjaan,” katanya.

Sementara itu, Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Bambang Hendroyono mengatakan bahwa pihaknya akan mengundang para LSM yang berdiri di belakang lembaga Forest Stewardship Council (FSC) untuk berdialog.

Menurut dia, pada prinsipnya Pemerintah akan menjelaskan bahwa produk berbasis kayu Indonesia tidak memerlukan sertifikat FSC untuk bisa diperdagangkan dan mengakses pasar internasional.

Saat ini, produk kayu Indonesia telah memiliki sertifikat berbasis Sistem Verfikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang berstandar lebih tinggi.

“Pengembang HTI diminta juga tidak khawatir pada kampanye negatif yang dilancarkan NGO. Pemerintah akan berdiri di depan membantu dunia usaha karena pembangunan HTI telah mengikuti peraturan perundang-undangan,” kata Bambang.

Ketua Bidang Hutan Tanaman Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nana Suparna mengatakan bahwa skema yang dikembangkan FSC sebenarnya tidak adil bagi Indonesia, khususnya untuk produk kayu dari hutan tanaman.

Pasalnya, lanjut dia, FSC mensyaratkan kawasan hutan tanaman tidak boleh dibangun setelah 1994.

Di Indonesia, kata Nana, hal itu tentu tidak bisa diterapkan karena banyak hutan tanaman justru baru dibangun setelah 1994. AN-MB