Farouk Muhammad

Jakarta (Metrobali.com)-

Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad menyesalkan tindakan Presiden Brazil Dilma Rousseff yang menunda upacara penyerahan surat mandat Duta Besar RI untuk Brasil Toto Riyanto.

“Saya menyesalkan tindakan Presiden Brazil Dilma Rousseff terhadap Dubes Toto Riyanto, mereka seharusnya menghormati sistem hukum yang diberlakukan di Indonesia,” kata Farouk dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (22/2).

Farouk memahami langkah Pemerintah Indonesia melaksanakan hukuman mati bagi terpidana mati kejahatan narkoba.

Menurut dia, terkait warga negara asing yang telah ditetapkan terhukum mati, secara prosedur dan regulasi tidak ada masalah karena narkoba merupakan kejahatan luar biasa di Indonesia.

“Saya memahami adanya keberatan terkait pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang dilayangkan oleh negara asal para terhukum,” ujarnya.

Namun di sisi lain, ujar dia, seharusnya negara asing juga harus menghormati dan memahami sistem hukum yang ada di Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat terkait kejahatan-kejahatan luar biasa seperti narkoba.

Dia menjelaskan secara reflektif jika kita menilik sejarah, negara yang melakukan penentangan terhadap hukuman mati sejatinya merupakan penganut hukuman mati di masa lalu.

“Sehingga seharusnya mereka cukup memahami ketegasan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia karena narkoba telah banyak merenggut jutaaan nyawa anak-anak muda Indonesia,” tegasnya.

Dia menjelaskan, sebagai bahan pelajaran di masa yang akan datang, sebaiknya setiap negara yang keberatan terhadap hukuman mati, secara serius melakukan inventarisasi warganya yang melakukan pelanggaran saat ini.

Hal itu menurut Farouk untuk mencegah melakukan kejahatan di Indonesia dan melakukan pendampingan secara intensif dalam proses peradilan sesuai dengan ketentuan hukum di Indonesia.

“Indonesia sedang berproses menuju hukum yang berdaulat, proses ini harus dilalui sebagai usaha menegakan hukum,” katanya.

Farouk menilai ketegasan Presiden Joko Widodo tersebut beralasan karena berdasarkan pada kepentingan nasional yang lebih besar.

Menurut dia sikap tegas Presiden Jokowi juga mendapatkan landasan konstitusional yang kuat sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang berpendapat hukuman mati masih diperlukan dan absah berlaku.

“Terlihat dalam putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 dalam rangka menguji Pasal 80 UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika,” katanya.

Menurut dia sejatinya hukuman mati tetap menjadi bagian dari usaha-usaha rasional dalam rangka penanggulangan kejahatan. Hal itu ujar dia dengan semangat yang dibarengi dan didukung dalam upaya yang lebih luas untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial.

Pemerintah Indonesia telah melakukan eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkotika sejumlah enam orang terdiri dari satu orang warga negara Indonesia dan lima orang merupakan warga negara asing pada 17 Januari lalu.

Dari kelima orang WNA itu terdapat warga negara Brazil bernama Marco Archer karena dinyatakan bersalah melakukan perdagangan narkoba. Sementara itu satu warga Brazil dijadwalkan dieksekusi mati di Indonesia atas dasar pelanggaran hukum yang sama.AN-MB