Foto: Dosen Universitas Dhyana Pura (Undhira) Dr. I Wayan Ruspendi Junaedi, S.E., M.A.

Denpasar (Metrobali.com)-

Sebagai daerah pariwisata, di Desa Adat Kedonganan terdapat banyak kafe dan tempat makan yang menjual hidangan seafood. Keberadaan kafe dan rumah makan ini dimiliki oleh warga Desa Adat Kedonganan dan difasilitasi oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD) setempat.

Keberadaan usaha masyarakat Desa Adat Kedonganan yang didukung oleh LPD mendapatkan apresiasi dari Kepala Lembaga Pembelajaran Karakter dan Konseling Universitas Dhyana Pura, Dr. I Wayan Ruspendi Junaedi, S.E., M.A.

Baginya, dukungan yang diberikan oleh LPD kepada masyatakat Desa Adat Kedonganan sebagai salah satu contoh yang sangat baik dalam penerapan wirausaha sosial. “Jadi ini mempunyai nilai yang luar biasa yang mempunyai kearifan lokal dan kewirausahaan sosial didukung oleh lembaga adat,” tuturnya.

Apresiasi ini Ruspendi berikan saat menjadi salah satu pembicara dalam webinar nasional ” bertajuk “Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Adat Sebagai Strategi Dalam Percepatan Pembangunan Ekonomi Nasional” yang digelar secara daring/virtual, Selasa (29/9/2020).

Webinar ini terselenggara atas kerja sama antara Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN), Universitas Malikussaleh, Universitas Dhyana Pura dan Universitas Syah Kuala.

Ruspendi menjelaskan, kajian kewirausahaan sosial atau social entrepreneurship banyak ditekankan pada perusahaan yang profit menciptakan social value dan impact bagi masyarakat.

Meski begitu ada juga lembaga nonprofit yang melakukan pemberdayaan agar masyarakat bisa berbisnis. Namun lembaga nonprofit berupa lembaga adat belum banyak yang membahas model pemberdayaan terhadap warganya agar bisa menciptakan nilai bagi diri dan keluarganya.

Wirausaha sosial, kata dia, adalah berwirausaha sambil memecahkan masalah sosial, seperti pengangguran, kemiskinan, ketimpangan dan kualitas lingkungan yang buruk; serta memfasilitasi kegiatan budaya  dan menjaga kelestarian lingkungan.

Wirausaha sosial juga dapat diartikan yakni menggunakan kecakapan wirausaha untuk memecahkan masalah-masalah sosial, mendukung kegiatan budaya dan melestarikan lingkungan.

“Semua orang bisa menjadi social entrepreneur, baik pengusaha, pegiat masyarakat sipil, profesional, tokoh agama, mahasiswa dan sebagainya,” kata dia.

Ada dua jalan untuk menjadi social entrepreneur, yakni kaya dulu lalu menjadi social entrepreneur. Bisa juga dengan cara kedua yakni langsung menggerakan masyarakat, atau suatu kelompok sosial untuk bersama-sama membuka usaha guna meningkatkan produktifitas.

Penerima manfaat kewirausahan ini yakni pelaku usaha sendiri untuk keuntungan yang berkualitas, pencari kerja  untuk punya penghasilan, orang yang penghasilannya tidak mencukupi, komunitas, generasi masa depan serta negara dan bangsa. “Karena dengan ini semua mempercepat pembangunan ekonomi nasional Indonesia,” tegasnya.

Namun ada masalah umum dalam memunculkan kewirausahaan sosial, yakni punya kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan tetapi mental wirausaha lemah, atau punya bisnis yang sudah maju tetapi empati sosial kurang. Maka perlu membangun mental wirausaha dan kesadaran sosial dan menggali modal finansial sekaligus modal sosial.

Menurut Ruspendi, kewirausahaan sosial ini pertumbuhannya bisa terus berkelanjutan. Hal ini karena kewirausahaan sosial bekerjanya pada sumber-sumber pertumbuhan nonalamiah atau di luar pertumbuhan.

Selain itu, kewirausahaan sosial juga membuat terbentuknya dan bekerjanya modal sosial (social capital); terciptanya harmoni sosial dan rendahnya indeks ketimpangan; tegaknya hukum yang adil, pasti dan tegas; dan bekerjanya kelembagaan politik yang stabil serta sehat.

Gerakan memunculkan kewirausahaan sosial dilakukan dengan terapi mindset, jiwa, mental, etos wirausaha pada komunitas-komunitas, organisasi sosial, kelompok-kelompok kecil; dan menanamkan wawasan sosial pada investor (pemilik modal), pengusaha tradisional, perusahaan, dan profesional di dunia usaha.

Bagi Ruspendi, kewirausahaan sosial ini layak untuk dijalankan sebab sumber daya alam, sumber air dan sumber energi banyak yang belum termanfaatkan. “Contohnya pembangkit hidromikro yang cuma butuh tinggi kejatuhan air 2 meter,” kata dia.

Selain itu, tenaga sarjana dari berbagai bidang yang lulus secara masif setiap tahun, tetapi banyak yang malas dan tidak kreatif. Waktu luang petani dan nelayan (tenaga kerja), tetapi tidak punya ide, malas dan tidak kreatif.

Di sisi lain, banyak pelaku usaha rumah tangga yang bisa membuat produk bagus atau enak, tetapi berbisnis dengan cara “primitif”. Banyak pekerjaan-pekerjaan industri dan jasa yang bisa di-outsourcing-kan ke kelompok-kelompok masyarakat.

“Tetapi banyak dari mereka yang tidak siap menerima tawaran kontrak outsourcing itu. Banyak angkatan kerja yang belum bekerja atau setengah menganggur, karena tidak punya etos kerja, hanya punya budaya nyinyir berkata-kata,” jelasnya. (dan)