Ida Pedanda Gde Bang Buruan Manuaba.

Ida Pedande Gde Bang Buruan Manuaba/MB

Denpasar (Metrobali.com)-

Pasamuhan Sabha Pandita 9 April 2016 di Parisada Denpasar, dihadiri 25 dari 33 Anggota Sabha Pandita, akhirnya memutuskan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci. Walaupun persidangan diwarnai suasana yang cukup ‘’panas.’’ Sebab, salah seorang Anggota Tim 9 Sulinggih Parisada, Ida Acharya Agni Yogananda yang nama walakanya Putu Alit Bagiasna mengancam melaporkan ke polisi orang-orang yang disebutnya memfitnah dan melecehkan Sulinggih di media sosial. Dia juga mengaku sudah berkoordinasi dengan unit Cybercrime Polda Bali untuk menjajagi pelaporan, dan akan dilakukan kalau para pelaku masih menghujat dann melecehkan Sulinggih.

Sidang dipimpin Ida Pedande Gde Bang Buruan Manuaba sebagai Ketua, bersama 8 Wakil Dharma Adhyaksa lainnya. Dharma Adhyaksa, Ida Pedande Sebali Tianyar Arimbawa berhalangan hadir dan masih dalam perawatan di ruang jantung RS Sanglah, sempat memberikan mandat untuk memimpin sidang kepada Ida Mpu Siwa Budha Daksa Dharmita sebagai Ketua merangkap anggota,  Ida Rsi Bujangga Hari Anom Palguna dan Ida Acharya Agni Yogananda sebagai Anggotta. Namun, mandat itu dirombak, dengan mengembalikan kepemimpinan sidang kepada 8 Wakil Dharma Adhyaksa yang hadir, yakni Pedanda Gde Bang Buruan Manuaba, Pedande Gde Kerta Arsa, Pedanda Gde Panji Sogata, Mpu Siwa Buda Dhaksa Darmitta, Mpu Jaya Sattwikananda, Mpu Jaya Achyaryananda, Rsi Bujangga Hari Anom Palguna dan Mpu Siwa Putra Manuaba.

Sidang diisi paparan tunggal Ketua ‘’Tim 9 Parisada’’ tentang kajian Teluk Benoa. Sementara paparan Sabha Walaka yang sudah  diagendakan, didrop atas usulan Ida Acharya Agni Yogananda. Alasannya, Sabha Walaka sudah memaparkan Rekomendasinya dalam Pasamuhan Sabha Pandita 23 Oktober 2015 di Jakarta, dan karena Pasamuhan Sabha Pandita 9 April 2016 ini merupakan kelanjutan yang di Jakarta, paparan Sabha Walaka dianggap tidak perlu.

Ketua Sabha Walaka, Putu Wirata Dwikora sempat membackan  bahwa menurut Anggaran Dasar, Sabha Walaka bertugas menyiapkan bahan dan mendampingi Sabha Pandita dalam Pasamuhan, utamanya pasal 14 ayat 1 Anggaran Dasar. Namun Acharya Yogananda tetap berkeras dan menolak. Akhirnya, Pasamuhan Sabha Pandita diisi paparan tunggal Ketua Tim 9, tentang  Teluk Benoa dan KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) yang ditugaskan Pasamuhan Sabha Pandita. Namun, dialog sepenuhnya berlangsung untuk memberikan masukan tentang Kawasan Teluk Benoa yang sedang menjadi polemik hangat di masyarakat Bali.

Naskah tertulis Tim 9 secara umum menyebutkan bahwa ada tempat suci di Teluk Benoa, dan menyebut beberapa Pura di wilayah pesisir Teluk Benoa. Tempat suci tersebut harus dijaga kesuciannya dan tidak boleh dirusak. Namun, peluang untuk ‘’reklamasi’’ muncul dalam butir b dan c halaman 8 Rekomendasi Tim 9. Khususnya butir c dalam kalimat ‘’wajib dikelola agar memberikan asas manfaat secara sosial budaya, ekonomi dan kesejahteraan sebesar-besarnya  serta memberikan peluang partisipasi sebesar-besarnya bagi masyarakat setempat khususnya terutama umat Hindu umumnya dalam rangka ketahanan politik sosial budaya ekonomi masyarakat.’’Melalui perdebatan alot, butir b dan c halaman 8 Rekomendasi Tim 9 ini akhirnya didrop.

Diantara Sabha Pandita yang secara tegas merekomendasikan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci dan angkat bicara adalah, Ida Mpu Siwa Budha Daksa Darmita (Griya Sukawati), Ida Mpu Siwa Putra Parama Daksa Manuaba (Geriya Bongkasa), Ida Mpu Daksa Yaksa Manuaba (Griya Jl. Bedahulu Denpasar), Ida Rsi Bujangga Lokanata (Griya Jl. Badaksari Denpasar), Ida Pedande Gde Kerta Arsa (Griya di Lombok), Ida Mpu Murti Biru Dhaksa (Griya di Jembrana), Ida Dang Guru Suweca Dharma (GriyaLampung), Ida Mpu Jaya Premananda (Griya dan Pashraman Manik Gni Pupuan, Tabanan),Ida Rsi Bujangga Hari Anom Palguna (Griya di Jembrana), dan lain-lain.

Ida Pedande Gede Kerta Arsa dari Mataram, memang terang-terangan mengusulkan, Sabha Pandita tidak hanya menyatakan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci, tapi bisa lebih tegas dengan menyatakan menolak reklamasi. Sebab, logikanya memang jadi begitu, karena reklamasi akan mengganggu titik-titik suci yang sekurangnya 60 titik tersebut.

Sementara Ida Mpu Daksa Yaksa Manuaba yang nama walakanya Prof. Dr. Sucipta, menegaskan bahwa dengan rekomendasi Tim 9 yang didrop butir b dan c halaman 8, sebetulnya sudah tertutup peluang untuk reklamasi. ‘’Kalau Parisada mau, bisa juga seperti usulan Ida Pedande Kerta Arsa, nyatakan dengan tegas, Kawasan Suci Teluk Benoa tidak boleh direklamasi,’’ katanya.

Ida Mpu Siwa Budha, sempat menyitir Rekomendasi “Paruman dan Temu Wirasa Sabha Walaka dengan Pemangku, Pengempon Pura dan Bendesa Adat’’ tentang Kawasan Suci Teluk Benoa, serta kajian dan penelitian Sugi Lanus yang menginventarisasi 60 titik suci di Kawasan Teluk Benoa, sebagai pijakan untuk menetapkan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci.

Diantara dua arus usulan tersebut, akhirnya Majelis Sabha Pandita memutuskan, cukup menetapkan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci, tanpa embel-embel ‘’tolak reklamasi’’. Ida Mpu Siwa Budha menambahkan, dengan Keputusan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci, walaka dan masyarakat Bali bisa menggunakannya untuk berjuang menolak reklamasi.

 

Dipantau Tokoh dan Aktivis

Beberapa tokoh dan aktivis LBF (Love Bali Forum) yang aktif memberikan masukan kepada Sabha Walaka maupun Tim 9 Parisada, nampak hadir meninjau persidangan. Diantaranya, Made Mandra, Made Suryawan dari Forum Studi Majapahit, Agung Suryawan Wiranatha dari Paraspasos, Ketut Darmika dari Gema Perdamaian Bali, Prof. Dr. Ketut Rahyuda akademisi UNUD, Mangku Suteja dari Bali Villa Association, Gusti Kade Sutawa dari Aliansi Masyarakat Pariwisata Bali, dan lain-lain. Prof. Dr. Made Bakta yang duduk di World Hindu Parisad, juga nampak hadir.

‘’Kami menyampaikan ucapan terimakasih, Pasamuhan Sabha Pandita telah menetapkan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci. Harapan kami, lampiran keputusan mesti disusun dengan cermat dengan mengakomodasi dan mengintegrasikan semua masukan dan dasar yang kuat untuk mendukung Kawasan Suci Teluk Benoa. Tidak cukup hanya naskah dari Tim 9, tapi  bahan yang disiapkan Sabha Walaka dan diantaranya dipaparkan dalam Pasamuhan Sabha Pandita di Jakarta pun, mesti diakomodasi. Sebagai umat yang mengharapkan Parisada jadi pengayom, Keputusan ini jangan memberi celah untuk memanipulasi,’’ kata Made Suryawan dan Gusti Kade Sutawa.

‘’Sebagai umat, kami heran mengapa ada Sulinggih menolak Sabha Walaka mempresentasikan bahan, padahal bahan itu merupakan tugas Sabha Walaka dan sudah disiapkan cukup lama. Apa yang dirugikan kalau Sabha Walaka memaparkan bahannya, lagi pula saya amati, ada data-data baru selain yang dipaparkan di Pasamuhan di Jakarta?’’ kata Agung Suryawan Wiranatha dan Prof. Dr. Ketut Rahyuda, sambil menyatakan tidak bermaksud ikut campur. Tapi, karena Parisada itu milik umat, mereka merasa berkewajiban mengkawal selain membantu kerja majelis umat tersebut.

Jro Mangku Suteja, Agung Suryawan Wiranatha dan Ketut Darmika menegaskan, agak prihatin dengan jalannya persidangan. Sebagai forum pandita yang membahas masalah yang menjadi perhatian umat, semestinya tidak sampai ada upaya yang dengan mata telanjang terlihat menjegal Sabha Walaka untuk mempresentasikan bahan. Walaupun sudah presentasi di Pasamuhan Sabha Pandita di Jakarta, dan yang di Bali merupakan kelanjutan, Sabha Walaka mestinya tetap memaparkan bahannya, sebab pasti ada perkembangan baru, karena kami pun memberikan masukan kepada Sabha Walaka. Kalau jujur , Pasamuhan Sabha Pandita di Jakarta boleh dikatakan ‘’gagal’’, antara lain karena paparan Sabha Walaka sangat dibatasi, dan Sabha Pandita tidak mendapat waktu yang cukup untuk mendalami Rekomendasi tentang Kawasan Suci Teluk Benoa melalui Sabha Walaka.

Termasuk ketika sidang memutuskan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci, Acharya Yogananda yang paling banyak bicara di forum Pasamuhan itu menegaskan, Sabha Walaka tidak perlu membantu membuat Keputusannya, karena di Sabha Pandita sudah ada berbagai pakar, seperti pakar hukum, pakar theologi, bahkan pakar bahasa. Mpu Siwa Budha Dhaksa Darmita sempat membacakan Rantus yang disiapkan Sabha Walaka, tapi langsung dipotong Acharya Yogananda, dengan mengatakan bahwa hal seperti itu sudah standar dan bisa dikerjakan Sabha Pandita.

‘’Ke depan, kami harapkan Parisada khususnya Sulinggih tertentu agar memberikan contoh yang baik, bagaimana  moral dan mekanisme organisasi, khususnya tentang cara mendiskusikan suatu masalah yang sangat penting. Tidak elok ditonton, kok kesannya Sabha Walaka dijegal, tidak diberi waktu untuk bicara. Bahkan waktu menjelaskan sesuatu pun tidak diberikan, padahal ini forum Sabha Pandita yang menugaskan Sabha Walaka mendampingi. Padahal, kami amati secara teknis dalam menjalankan persidangan, Ida Pedanda Gde Bang Buruan selaku Ketua sidang, meminta bantuan Ketua Sabha Walaka, agar persidangan berjalan lancar,’’ kata para tokoh yang menyaksikan persidangan tersebut.

Bagaimana soal ancaman Acharya Yogananda untuk melaporkan orang yang memfitnah Sulinggih di media sosial? Sumber yang dekat dengan Dharma Adhyaksa, Ide Pedande Sebali Tianyar Arimbawa menyatakan, ‘’Beliau sangat menyayangkan ancaman seperti itu, kok Sulinggih mengancam mempolisikan ataupun menggugat umatnya? Seyogyanya, dengan status sebagai Diksita, sudah harus mampu mengendalikan diri, mengantisipasi berbagai serangan dan menyadarkan mereka yang dianggap memfitnah, membina dan mendidik mereka. Bukannya berperkara dengan umat,’’ ujar Ide Pedande.

Para aktivis LBF yang menyaksikan persidangan juga sangat menyesalkan ancaman Achyarya Yogananda yang notabena seorang Sulinggih. Sebab, hal itu bisa membawa korps Sulinggih, seakan-akan Sulinggihnya berhadapan dengan umat yang mestinya dibina.