Gianyar (Metrobali.com) Bentara Budaya Bali kembali menyelenggarakan Putar Film dan Diskusi Bali Tempo Doeloe seri kedua pada Rabu (31/7) pukul 18.30 wita bertempat di Jl. Prof. Ida Bagus Mantra 88A, Ketewel-Gianyar.  Kegiatan ini menghadirkan pembicara Kadek Suartaya, pemerhati seni pertunjukan dan dosen ISI Denpasar.

Pada acara kali ini, Kadek Suartaya akan mencoba mengulas perihal Tari Bali Tempo Dulu dalam Perspektif Masa Kini. Semenjak awal abad ke-20, tari Bali dipandang sebagai warisan budaya yang terpujikan, bahkan juga menjadi ikonik dunia pariwisata. Muncul pada masa itu sederetan nama maestro seperti I Mario, Ni Reneng, Ni Polok, I Geruh,  Oka Blangsinga serta seniman-seniman lain dari kawasan Ubud, Peliatan, maupun daerah lain di Bali yang mewarnai kreativitas seni tari. Akan tetapi kini, di tengah pandangan bahwa seni tradisi merupakan warisan kebudayaan adiluhung dengan muatan nilai dan makna spiritual serta estetik yang tinggi, tari Bali justru berhadapan dengan segala kontradiksinya; sebagian termodifikasi menjadi hiburan yang bersifat artifisial dan bahkan cenderung mengesampingkan nilai-nilai luhur tersebut.

Hal yang menyebabkan munculnya dua kondisi yang bertolak belakang ini, dan sejauh mana upaya para seniman dalam menjembatani kreasi khas Bali, antara pakem-pakem tradisi dengan wujud estetis kemodernan, namun sekaligus tidak mengesampingkan muatan nilai ataupun capaian keindahan tari khas Bali yang telah dikenal selama sekian waktu tersebut, akan dibahas secara lebih mendalam pada Bali Tempo Doeloe seri kedua kali ini.

“Kegiatan ini digelar secara berkala setiap bulannya, dipadukan dengan diskusi bersama para pengamat dan pemerhati budaya, yang akan memaknai perubahan kondisi Bali dari masa ke masa. Diharapkan tidak hanya memberikan reflesksi Bali masa kini, khususnya dalam perkembangan seni tari Bali dari masa ke masa, akan tetapi juga dapat menjadi suatu upaya dalam pelestarian tari khas Bali di masa depan, agar tidak jelang punah dikikis peradaban dunia,” ujar Putu Aryastawa, salah satu penata acraa di Bentara Budaya Bali.

Kadek Suartaya lahir  di  Desa Sukawati, Gianyar, Bali, 3 Desember  1960.  Ia menamatkan pendidikan S1-nya di STSI Denpasar (1988) dan S2-nya di Universitas Udayana bidang Kajian  Budaya  pada 2001. Beberapa artikelnya sempat  mendapat penghargaan  tingkat regional dan nasional.  Selain mengajar,  ia juga  ditunjuk  sebagai redaktur jurnal seni budaya Mudra  yang diterbitkan STSI (sekarang ISI) Denpasar. Sebagai praktisi dan pengamat seni, Kadek Suartaya telah mengunjungi Spanyol (1992), Jerman, Belgia, Luxsemburg (1994), Jepang (1997, 2003, 2004, 2005, dan 2006),  Swiss (2000), Peru (2002),  Malaysia (2007), India (2008), Rusia (2010) dan Australia (2012). Suartaya  dikenal  sebagai peneliti seni budaya dan produktif  menulis esai  dan kritik seni di Kompas, Gatra,  The Jakarta  Post, Koran Tempo, dan Bali Post.