Sosialisasi Gerakan Aisyiyah Sehat di Desa Sampiran , Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Sabtu (07/09/2019).
Cirebon, (Metrobali.com)-
Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon mengaku prihatin dengan kasus gizi buruk yang meningkat di wilayahnya dari tahun ke tahun. Untuk itu, sejumlah upaya telah dilakukan untuk menekan kenaikan angka gizi buruk tersebut. Salah satunya, dengan mendorong masyarakat mengonsumsi makanan sehat dan tidak mengonsumsi Susu Kental Manis (SKM) sebagai makanan utama pengganti susu.
Data yang dirilis Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon selama tiga tahun terakhir, menunjukkan peningkatan tajam kasus gizi buruk dari tahun ke tahun. Jika pada 2016 ditemukan 225 kasus gizi buruk, di tahun 2017 jumlahnya meningkat menjadi 233 kasus. Dan pada tahun 2018,  terdapat peningkatan gizi buruk menjadi 306 kasus.
Kabid Kesehatan Masyarakat Dinkes Kabupaten Cirebon, dr Edi Susanto,  menegaskan ada korelasi antara SKM dengan gizi buruk yang terjadi di wilayah Cirebon.
 “Tentu ada korelasinya. SKM itu makanan pendamping. Kandungan susu pada SKM sangat sedikit, sementara kandungan gula mencapai hingga 70 persen.  Jadi tidak bisa kalau SKM dikasih untuk minum susu anak. Akan beresiko terhadap kesehatan anak dari sisi gizi, karena gizi anak tidak tercukupi,” tegasnya dalam acara Sosialisasi Gerakan Aisyiyah Sehat di Desa Sampiran , Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Sabtu (07/09/2019).
Edi juga  menegaskan,jika anak balita mengonsumsi SKM dalam jumlah banyak akan memicu potensi penyakit diabetes melitus dan kurangnya  protein.”Kandungan gula yang sangat tinggi pada SKM  menjadikan bahwa yang mereka makan itu bukan protein, tetapi adalah gula. Kondisi ini bisa memicu penyakit diabetes melitus tingkat dua. Serta memicu kerusakan pada pankreas,” tambahnya.
Sementara itu, terkait dengan masih banyakya persepsi yang salah di masyarakat bahwa SKM adalah susu, Dinkes Kabupate Cirebon,  kata Edi sudah melakukan langkah sosialisasi, khususnya melalui jaringan puskesmas  di seluruh desa di kabupaten Cirebon.
“Karena itu saya mengapresiasi pihak  Aisyiyah dan Yaici yang telah bersama-sama ikut membantu kami dalam melakukan sosialisasi kesehatan kepada masyarakat untuk mencegah meningkatnya gizi buruk dan stunting di kabupaten Cirebon ini,” kata Edi.
Hanya saja, kata Edi, pihaknya juga tidak mau berlaku ekstrim dengan melarang penggunaan SKM bagi masyarakat. “SKM itu bukan susu. Tetapi SKM tetap boleh dikonsumsi, hanya saja peruntukannya untuk pendamping makanan atau topping,” ujar Edi.
Sebagai pengganti SKM, Edi mengajak masyarakat untuk mengonsumsi makanan alternatif. “Ini terkait dengan kampanye isi piringku. Gizi harus seimbang. Ada karbohidrat, sayuran, lauk pauk, dan buah-buahan. Susu bisa digantikan dengan protein hewani.  Tetapi bila tidak ada protein hewani maka kita bisa ganti dengan kacang-kacangan. Salah satunya adalah kacang hijau,” tambahnya.
Sementara  itu,  Ketua Harian YAICI, Arif Hidayat, yang  ditemui di sela-sela diskusi juga menegaskan  bahwa SKM memiliki kandungan gula yang tinggi yaitu 20 gram persekali saji/1 gelas dengan nilai protein 1 gram.  “Jumlah  ini  lebih  rendah dari susu lainnya. Jadi  peruntukan SKM hanyalah sebagai bahan tambahan makanan dan minuman atau topping,”tegas Arif.
Namun masalahnya, kata Arif, di masyarakat sudah menempel persepsi yang salah bahwa SKM itu adalah susu. Ini disebabkan,  masyarakat  selama bertahun-tahun  terpapar iklan yang salah tentag SKM.
”Sejak jaman kolonial hingga milenial,SKM diiklankan sebagai minuman susu untuk bayi dan pertumbuhan anak,dan  ini telah membentuk persepsi masyarakat bahwa SKM adalah susu bernutrisi, “ tambah Arif.
“Melalui kerjasama dengan PP Aisyiyah,  kami ingin mengedukasi dengan melakukan intervensi langsung kepada masyarakat bahwa SKM itu tidak baik untuk bayi, bisa menyebabkan diabetes, gizi buruk, dan juga stunting,” ujarnya.
Mengacu pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, yang menunjukan adanya perbaikan status gizi pada balita di Indonesia, diantaranya proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2 persen (Riskesdas 2013) menjadi 30,8 persen.
Sumber : Dinkes Cirebon