IBARAT  menarik sehelai rambut dari hamparan tepung, terbongkarnya keterlibatan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam kasus dugaan suap Rp1 miliar perkara sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, berbuntut panjang dan tak pelak menyeret orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Berawal dari ditangkapnya Tubagus Chairy Wardana (Wawan), suami Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany, karena terlibat dalam kasus suap tersebut dan kasus korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) di Tangsel, kemudian disusul oleh ditetapkannya Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka dalam dua perkara sekaligus, yakni kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan kedokteran umum di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kota Tangerang Selatan, Banten, tahun anggaran 2012, dan kasus suap sengketa Pilkada Lebak.

Segera setelah Wawan ditangkap, memang KPK mencegah Gubernur Banten Ratu Atut Choisiyah bepergian ke luar negeri. Menurut KPK, pelarangan tersebut bertujuan untuk antisipasi bila akan dilakukan pemeriksaan terhadap Atut terkait kasus adiknya itu.

Atut dipastikan akan diperiksa terkait kasus adiknya, tetapi juru bicara KPK Johan Budi waktu itu belum bisa memastikan kapan jadwalnya. Alasan pencegahan adalah pemeriksaan.

Dari hasil salah satu penggeledahan yang dilakukan KPK di perusahaan Wawan di Mega Kuningan Jakarta dan di Serang, Banten, tercium adanya aroma korupsi di bidang lain. Adik Ratu Atut ini diduga selama ini memainkan sejumlah proyek di daerah-daerah yang dipimpin dinasti keluarganya.

Sesuai dengan tekad Ketua KPK Abraham Samad, jika ada bukti praktik korupsi, dia tidak akan ragu menetapkan siapapun menjadi tersangka, termasuk Atut yang memiliki dinasti kepemipinan di Banten. “Begitu kami tangani kasus Aki Mochtar, berbagai info masuk ke KPK,” ujarnya.

Abraham mengakui, dari berbagai pengaduan masyarakat dan temuan KPK, memang wilayah Banten rawan praktik korupsi. Dia mengaku tidak takut untuk mengungkap sekaligus membongkar berbagai dugaan penyalahgunaan uang negara tersebut. “Yang jelas, kita ingin membongkar kasus korupsi yang begitu luas di Banten,” kata Abraham.

KPK tengah menyelidiki dugaan korupsi dalam proyek pengadaan alat kesehatan di Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Pemkot Tangsel). Belakangan, kasus ini melebar ke Pemprov Banten. KPK sudah menggeledah kantor dinas kesehatan di Tangsel dan Banten. Pengusutan dimulai setelah KPK menangkap Wawan dalam kasus suap Akil Mochtar.

Setidaknya, ada tiga modus korupsi alkes di Banten yang kini diusut KPK. Modus pertama adalah dengan penggelembungan harga perkiraan. Di dalam kasus pengadaan alkes, penyidik KPK menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses pengadaan. Salah satunya adalah mark-up harga alkes yang menyebabkan kerugian negara.

Kedua, proses pengadaan juga tidak dilakukan sesuai prosedur. Di provinsi Banten, untuk pengadaan alkes, pengguna anggaran seharusnya kepala dinas kesehatan. Namun, Atut justru mendelegasikannya ke jajaran di bawah kepala dinas. Ketiga, praktik korupsi dalam kasus alkes di Banten adalah terkait pengguna anggaran.

Keinginan Samad untuk membuka tabir korupsi di Banten senada dengan fakta yang ditemukan Indonesia Corruption Watch (ICW). Sebelumnya, Koordinator Divisi Monitoring Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas menuding ada permainan kotor dalam menentukan pemenang lelang berbagai proyek di Banten.

Akibatnya, sekitar 175 proyek pengadaan jatuh ke tangan kroni keluarga Atut. “Total nilai kontraknya mencapai Rp1,148 triliun,” ungkap Firdaus dan menambahkan bahwa jumlah itu masih bisa membengkak karena angka ini hanya dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Pemprov Banten.

Koordinator ICW ini yakin Atut telah melakukan tindak pidana korupsi karena ada data serupa pada 2012. Tahun lalu, ICW menemukan 24 perusahaan yang diduga masih menjadi kroni Atut. Keuntungan lebih langsung masuk karena ada 110 proyek Pemprov Banten dengan nilai kontrak Rp346,287 miliar yang dimenangi.

Wakil Ketua KPK, Zulkarnain membenarkan adanya commitment fee dan aliran dana yang diterima Atut. Menurut dia, aliran dana itu adalah timbal balik yang diterima Atut dari proses.

Atut sebaiknya mundur Lalu setelah menjadi tersangka, apa yang sebaiknya dilakukan Atut? Mengundurkan diri secara sukarela atau dipaksa dimundurkan. Namn, status Ratu Atut Chosiyah sebagai Gubernur Banten tampaknya masih akan bertahan. Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi oleh KPK, tidak mudah untuk serta merta mencopot jabatan tersebut.

Pencopotan status Ratu Atut sebagai gubernur berada dalam kewenangan Menteri Dalam Negeri, itu pun tak bisa dilakukan serta merta. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, Ratu Atut akan dinonaktifkan sebagai Gubernur Banten jika sudah ada nomor registrasi perkara di pengadilan Tipikor.

Proses pemberhentian sementara gubernur yang terjerat kasus hukum dapat dilakukan oleh Presiden melalui usulan Mendagri. Itu pun ada syaratnya, yakni jika berkas perkara dakwaan tindak pidana tersebut sudah terdaftar di pengadilan sesuai dengan PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Dalam hal itu, Mendagri belum dapat mengeluarkan usulan pemberhentian tersebut, karena belum mendapatkan surat resmi dari KPK maupun berkas perkara dari Pengadilan Tipikor. “Saya belum mengetahui (penetapan Atut), tapi saya sudah baca di media. Saya akan dalami terlebih dahulu,” ujar Gamawan.

Namun desakan agar Atut mengundurkan diri datang dari berbagai kalangan. Pengamat politik Gun Gun Heryanto meminta Kemendagri untuk segera menyurati Gubernur Banten Ratu Atut, untuk mundur dari jabatannya pasca-ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Hal itu menurut dia, untuk memastikan agar roda pemerintahan di Provinsi Banten tetap berjalan, sehingga tidak ada lagi kejadian seperti penundaan pelantikan Wali Kota Tangerang untuk keenam kalinya. “Kemendagri punya urusan maintanance birokrasi. Birokrasi bisa vakum kalau pejabat tidak dilantik-lantik,” kata Gun Gun Heryanto.

Selain itu sebelum ditegur Kemendagri, katanya, sebaiknya Atut sadar diri, mundur dari jabatannya. Namun Gun Gun meragukan hal tersebut akan terjadi. “Itu idealnya, tapi mana ada pejabat di Indonesia yang mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai tersangka,” ujar dia.

Konsekwensi penetapan Atut menjadi tersangka adalah, Wagub Banten Rano Karno mau tidak mau harus siap menjadi gubernur. Wakil Ketua DPR, Pramono Anung menyebutkan, sudah menjadi tugas dalam UU yang berlaku: apabila seorang pimpinan berhalangan maka akan digantikan oleh wakilnya.

PDI Perjuangan, katanya, tidak pernah berkeinginan mendapatkan kewenangan kekuasaan dengan cara menurunkan orang lain. “Hanya saja, jika orang tersebut terkena kasus pidana, maka yang akan menggantikan harus siap,” katanya.

Menurut dosen Unair Surabaya, Airlangga Pribadi MA, korupsi dinasti Banten merupakan jenis state capture (penyekapan dan perampokan uang negara) di tingkat lokal, yang melibatkan keluarga besar Ratu Atut.

Implikasi politiknya adalah ambruknya kepercayaan rakyat pada seluruh lini keluarga besar Atut, Ini semestinya mendorong munculnya kepemimpinan baru yang bersih, amanah, transparan, dan akuntabel di Banten. Mampukah Wagub Rano Karno membawa harapan ke sana? Sejarahlah yang bakal menjawabnya. Illa Kartila/MB/ANT