DUNIA pendidikan sudah ditasbihkan sebagai lembaga terpenting untuk mencetak karakter bangsa sekaligus menguatkan program pemerintah dalam mengonstruksi kebudayaan bangsa dan menciptakan generasi emas bangsa yang cerdas, kreatif dan kompetitif serta berdaya saing secara global dari tingkat lokal, nasional hingga dunia internasional. Tak pelak, beragam upaya strategis pun acapkali diterapkan dalam meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan mulai dari jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) maupun menengah (SMA dan SMK) secara sistemik dan berkelanjutan.

Ironisnya, langkah strategis yang bijak tersebut dominan berdampak negatif terhadap upaya menciptakan perubahan paradigma baru dari tata nilai dan perilaku masyarakat dalam menumbuhkan kesadaran dalam mencetak kepribadian generasi emas bangsa yang berkarakter, bermoral, dan bermartabat, serta berbudaya dan berkeadaban. Di antaranya maraknya pungutan liar (pungli), pengavelingan ruas jalan untuk pameran buku (book fair), panggung konser musik (hiburan), lahan pasar dan parkir, serta lain sebagainya.

Celakanya, fenomena ini justru dikonstruksi oleh para elite politik penguasa pemangku kebijakan termasuk kalangan intelektual dan bahkan dibiarkan tumbuh menjadi budaya salah kaprah dan cacat moral di tengah kehidupan birokrasi pemerintahan, dari tingkat paling bawah hingga paling atas secara menyeluruh, karena terkooptasi kepentingan persekusi masyarakat dari kelompok atau golongan tertentu di tengah kehidupan ekologi desa pekraman. Hingga sengaja mengorbankan kepentingan hak dari khalayak publik, masyarakat secara lebih luas.

Jika fenomena ini tidak secepatnya diatasi tentunya dapat berdampak negatif terhadap upaya peningkatan mutu dan kualitas generasi emas bangsa dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal budaya daerah terutama tradisional Bali yang telah mendunia di masa mendatang. Di samping itu, juga dapat memengaruhi budaya citra serta politik negara dan diplomasi budaya bangsa terhadap daya saing global dalam industri pariwisata dunia.

Maka itulah, para elite politik penguasa selaku pemangku kebijakan termasuk kalangan intelektual dituntut mampu menciptakan paradigma baru berpikir kritis berbasis kajian budaya dalam melakukan perubahan secara sinergi terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat kekinian yang sangat hedonis dan konsumtif karena dipicu gejolak kapitalisme global berorientasi kepentingan profit semata. Sebagai upaya mendukung terciptanya akuntabilitas dan integritas berbangsa dan bernegara terhadap perubahan kultur dalam meningkatkan kesadaran khalayak publik demi kehidupan yang adil, layak dan menyejahterakan.

 

Identitas Tanpa Logika

Sejatinya era reformasi demokrasi dengan otonomi daerah merupakan proses tumbuhnya kesadaran masyarakat atas hak dan tanggungjawab sosialnya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara mandiri. Selain itu, juga sebagai momentum untuk menciptakan kemaslahatan bersama demi kehidupan yang menyejahterakan, berbudaya dan berkeadaban. Dengan kata lain, sebagai upaya meningkatkan kesetaraan sosial, keadilan ekonomi, dan solidaritas kemanusiaan yang menjunjung tinggi tata nilai adiluhung dari kekuatan ruh dan taksu kebudayaan bangsa berlandaskan UUD’45 dan Pancasila yang Berbhinneka Tunggal Ika di tengah kehidupan masyarakat multikultur dan pluralistik.

Ironisnya, fenomena ideal tersebut cenderung menciptakan identitas tanpa logika hingga perilaku etnosentrisme dalam kehidupan sosial budaya masyarakat selama ini. Pasalnya, setiap etnisitas dari persekusi kelompok masyarakat tertentu dalam ekologi desa pekraman menganggap dirinya paling benar meskipun sejatinya secara publik cenderung melanggar tatanan hukum negara. Akibatnya, keamanan dan kenyamanan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat menjadi semakin terancam. Dengan terjadinya beragam peristiwa konflik bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) serta konflik vertikal dan horisontal baik antara pemerintah dengan masyarakat maupun antarmasyarakat ataupun antarpemerintah.

Ini berarti para elite politik penguasa pemangku kebijakan semakin kehilangan ruh dan taksunya sebagai pemimpin bangsa yang tangguh dan tegas dalam membela serta mengayomi kepentingan hak dari khalayak publik, masyarakat secara lebih luas. Di samping itu, proses akulturasi bangsa pun menjadi semakin terhambat. Terlebih lagi, peranan utama dunia pendidikan dalam mencetak karakter bangsa kini lebih menonjolkan kepentingan profit semata sebagai produk dagangan bernilai ekonomis (komersialiasi) yang dipicu pengaruh budaya kapitalisme global.

Maka itulah, para elite politik penguasa pemangku kebijakan serta kalangan intelektual mulai dari praktisi, akademisi, budayawan, dan tokoh masyarakat dituntut mulat sarira atau introspeksi diri. Terutama melakukan aksi bersama dalam mencegah tumbuhnya pemikiran mengonstruksi budaya salah kaprah yang cacat moral serta sekaligus mencari solusi alternatif dalam mengatasi beragam persoalan yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat selama ini secara holistik dan komprehensif. Demi persatuan dan kesatuan bangsa dalam menciptakan perdamaian dunia. Sebagai upaya menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih menyejahterakan dan berkeadilan serta berkeadaban.

 

Demi Kualitas atau Citra Politik ?

Menariknya, setiap memasuki masa pemilihan kandidat pemimpin daerah atau pemilukada beragam program kebijakan pembangunan acapkali dikonstruksi dan direalisasikan secara cepat dan bahkan terkesan tergesa-gesa. Hingga muncul stigma sebagai proyek tambal sulam atau bongkar pasang. Fenomena ini bahkan sudah menjadi rahasia publik yang sangat lumrah di tengah kehidupan masyarakat. Lantas, untuk apa kebijakan tersebut, demi kualitas ataukah citra politik ?

Celakanya, berbagai etnisitas masyarakat dari persekusi kelompok atau golongan tertentu dalam ekologi desa pekraman acapkali memanfaatkan situasi dan kondisi ini untuk kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongannya. Tak pelak, dampaknya cenderung tidak memberi perubahan terhadap kesadaran khalayak publik dalam upaya meningkatkan pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa yang berbasis kearifan budaya lokal daerah khususnya tradisional Bali sebagai pilar utama pembangunan kehidupan masyarakat yang lebih menyejahterakan, berkeadilan, dan berkeadaban.

Pada sisi lain, media massa (pers) sebagai corong informasi publik yang relatif dianggap independen malahan kini telah terhegemoni hingga terseret arus budaya citra atau citra politik dari para elite penguasa pemangku kebijakan tersebut, karena terdesak kepentingan keuntungan (profit) semata yang terpicu pengaruh kapitalisme global. Akibatnya, kepentingan hak dari khalayak publik, masyarakat yang lebih luas cenderung semakin termarjinalisasi serta kultur birokrasi pemerintah pun semakin terkooptasi kepentingan politik yang sangat pragmatis.

Tak hanya itu, dunia pendidikan sebagai pencetak karakter bangsa bahkan acapkali dihegemoni melalui berbagai kebijakan program edukasi yang tidak sinergi dan tidak mendidik, serta cenderung dikooptasi sebagai media mobilisasi massa yang berorientasi kepentingan citra politik atau budaya citra semata. Faktanya, dunia pendidikan justru semakin mahal akibat gejolak politik komersialisasi yang berbasis kepentingan profit semata sebagai dampak dari tekanan pengaruh budaya kapitalisme global, demi melanggengkan posisi atau kedudukan politis secara publik.

Menyikapi hal tersebut, sudah semestinya penguatan kontrol khalayak publik, masyarakat secara luas perlu lebih ditingkatkan melalui upaya strategis dan langkah konkret dengan pembentukan sistem pengaduan masyarakat, pengukuran indeks kepuasan masyarakat dan keterbukaan informasi publik yang lebih bertanggungjawab serta sesuai kode etik, etika dan integritas yang terdapat pada ketentuan peraturan UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta UU No. 37 tahun 2007 tentang Ombudsman Indonesia.

Kini, persoalannya akankah kepentingan hak dari khalayak publik nantinya dapat terlindungi dengan baik ?. Jawabnya, sudah tentu sangat tergantung pada kekuatan budaya kontrol sosial dari khalayak publik, masyarakat lebih luas secara sistemik dan berkelanjutan.(*)

* I Nyoman Wija, SE, Ak, M.Si *

*) Penulis adalah Jurnalis dan Fotografer Sebuah Media Harian di Bali, yang juga Aktivis Kordem Bali Pemerhati Sosial Budaya, serta Karyasiswa Kajian Budaya Pascasarjana Unud Denpasar.