ilustrasi dana

Jakarta (Metrobali.com)-

Wacana Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi disebut-sebut telah menimbulkan dilema bagi pemerintahan Jokowi.

Dengan disetujuinya dana itu dalam sidang paripurna DPR, “bola panas” lagi-lagi terlontar kepada pemerintah.

“Dana aspirasi ini pada akhirnya memang menjadi dilema bagi pemerintah yang bertindak memutuskan menolak atau menyetujui. Namun pemerintah jangan takut untuk menyatakan penolakan,” kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus.

Lucius mengingatkan jika pemerintah menyetujui alokasi dana yang ditaksir senilai Rp11,2 triliun per tahun itu, maka citra pemerintah akan rusak.

Melalui alokasi dana aspirasi ini, setiap anggota DPR RI akan menerima dana senilai Rp20 miliar per tahun, untuk perencanaan pembangunan daerah pemilihan.

Dana itu tetap dipegang pemerintah selaku kuasa pengguna anggaran. Anggota dewan disebut-sebut hanya akan merencanakan alokasinya.

Menurut Lucius, pembangunan daerah melalui mekanisme dana aspirasi ini, secara tidak langsung memosisikan DPR RI sebagai pelaksana pembangunan bersama-sama dengan pemerintah.

Padahal, kata Lucius, DPR RI semestinya menjadi pengawas atas pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.

Dengan demikian, peluang “main mata” antara pemerintah dan DPR jika sama-sama menjadi pelaksana pembangunan dinilainya akan sangat terbuka.

“Pemerintah sebagai pihak yang berada di bawah kontrol DPR akan sangat rentan untuk diatur oleh DPR, dan hal itu akan merusak prinsip ‘check and balances’. Dengan begitu korupsi, suap, gratifikasi akan menjadi santapan sehari-hari,” ujar Lucius.

Selain itu Lucius menyatakan apabila pemerintah tidak menolak usulan dana aspirasi, pemerintah juga seolah-olah mengakui tak mampu menjadi pelaksana pembangunan.

Dan di sisi lain dana aspirasi ini disebut akan menjadi dilema pemerintah, sebab bukan tidak mungkin tercipta tawar-menawar politik anggota dewan dengan pemerintah untuk bisa menyetujui dana aspirasi.

“Bisa jadi ada semacam kongkalikong antara DPR dan pemerintah untuk kepentingan mulusnya agenda dari kedua belah pihak. Kini semuanya bergantung pemerintah, saya kira kalau pemerintah menolak tidak bisa jalan lagi, karena uang ada di pemerintah,” kata dia.

Aspek Keadilan Dilema dana aspirasi tidak hanya soal pemerintah menyetujui atau menolak. Dilema lain dalam persoalan dana ini yaitu ikhwal aspek keadilan pembangunan daerah pemilihan.

Ketua Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Jayabaya Lely Arrianie menilai, apabila perencanaan pembangunan daerah pemilihan dilakukan oleh anggota dewan, maka dampaknya daerah tertentu akan menerima alokasi pembangunan lebih banyak ketimbang daerah lain.

“Anggota dewan lebih banyak dari Pulau Jawa, otomatis dana yang akan diturunkan itu akan lebih banyak mengalir ke Pulau Jawa juga. Padahal urgensi pemerataan pembangunan yang digagas harus melibatkan semua wilayah,” kata dia.

Lely meminta sebaiknya anggota dewan lebih memperkuat fungsinya dalam hal pengawasan, anggaran dan legislasi, dengan terus menggali aspirasi daerah pemilihan masing-masing.

Sedangkan untuk perencanaan penganggaran aspirasi daerah seharusnya digulirkan melalui rencana APBN/APBD.

“Jika perencanaan anggaran dilakukan anggota dewan, maka tidak menutup kemungkinan dijadikan ajang bagi oknum legislator dalam praktik korupsi, kolusi dan nepotisme baru,” kata dia.

Hal senada diutarakan mantan Ketua DPR RI Agung Laksono, yang menyebut dana aspirasi tidak memenuhi aspek keseimbangan daerah.

Bagi Agung, kewenangan DPR RI terfokus pada tiga hal, yakni ‘budgeting’, pengawasan dan legislasi.

Namun hak ‘budgeting’ itu, menurut dia, diwujudkan dengan mendorong pemerintah merancang secara menyeluruh pembangunan daerah, bukan pada daerah-daerah tertentu, karena mempertimbangkan aspek keseimbangan daerah.

Ketua Umum Golkar hasil Munas Jakarta itu menilai Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi justru seperti penyusunan APBN pada Orde Baru.

Kala itu banyak dana sosial sisipan dari APBN, berbentuk inpres yang digunakan untuk pembangunan.

“Dana aspirasi itu sepertinya mau mengembalikan pola penyusunan APBN seperti Orde Baru, di mana banyak inpres (kuota dana sosial sisipan). Dana aspirasi ini rawan KKN,” ujar Agung Laksono.

Agung mendukung penolakan sejumlah pejabat pemerintah atas dana aspirasi itu. Menurut dia penolakan itu tidak berarti pemerintah mengabaikan aspirasi rakyat.

Sebab, kata dia, sudah tersedia forum pengusulan perencanaan pembangunan melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) daerah yang mampu mengelola aspirasi rakyat secara komprehensif.

Lebih jauh Agung juga meminta legislator tidak menekan-nekan Presiden untuk menyetujui dana aspirasi itu. Agung menilai, sebaiknya DPR mendorong saja perbaikan postur anggaran agar bisa memberikan pengaruh positif bagi masyarakat.

Pada Selasa (23/6), sidang paripurna DPR RI menyetujui UP2DP atau dana aspirasi senilai Rp11,2 triliun per tahun bagi anggota dewan, meskipun tiga fraksi yakni Hanura, PDIP dan Nasdem menolak.

Dengan disetujuinya program tersebut, masing-masing anggota dewan akan dibekali dana Rp20 miliar per tahun untuk kepentingan pembangunan di daerah pemilihannya. Program dana aspirasi ini kemudian menuai sejumlah perdebatan. AN-MB