ILUSTRASI PELECEHAN

Denpasar, (Metrobali.com) –

Seorang bocah TK mengalami pelecehan seksual atau dicabuli hingga menderita Penyakit Menular Seksual (PMS) di Bali, tepatnya di sebuah sekolah yayasan bertaraf internasional berinisial HS, di Denpasar.

Sebut saja Bunga (5), dia mengalami pelecehan seksual oleh dua orang guru di sekolahnya. Diduga dua orang guru tersebut, berinisial T (54) dan H (60) mencabuli Bunga hingga menyebabkan keperawanannya hilang. Dan yang menyedihkan Bunga kini harus mederita Penyakit Menular Seksual (PMS).

Menurut pengakuan sumber yang tidak mau disebutkan namanya, kepada Metrobali.com mengatakan, jika pelaku berinisial T seorang Guru musik (54) sudah bekerja selama 4 tahun dengan status guru honorer, sementara H (60) guru mandarin sudah menjadi guru tetap selama 7 tahun di sekolah milik komunitas Hainan ini.

Sumber juga menyebutkan, jika kedua pelaku kini sudah mengundurkan diri dari sekolah, terhitung tanggal 25 Juli 2015 lalu. Dan sekolah menyetujui keduanya keluar dengan alasan pengakuan kedua guru tersebut kepada sekolah mereka tidak pernah melakukan pelecehan seksual kepada Bunga, ucap sumber itu.

Sementara itu, pendamping hukum korban Ni Luh Sukawati dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) provinsi Bali mempertanyakan keberadaan dua guru (red, pelaku pelecehan seksual) yang disebut-sebut sekolah bertaraf internasional itu tidak pernah menerima guru seorang pria.

“Informasi yang kita dapat dari orang tua korban selama ini tidak pernah ada guru laki-laki nah ini kok bisa. Kita mempertanyakan bagaimana sistem perekrutannya. Apalagi pelaku umurnya 60, apakah ada spesifikasi yang cukup langka kok bisa dia jadi guru disitu, sampai  korbannya bisa dapat penyakit menular seksual,” cetus Sukawati yang juga seorang advokat di P2TP2A provinsi Bali ini di Denpasar, Selasa (4/8).

Pihaknya kini menduga jika ada korban selain Bunga. Lantaran dari laporan korban yang dilayangkannya ke Polresta Denpasar pada tanggal 29 Juli 2015 diduga pelaku telah melakukan pelecehan seksual kepada Bunga sejak bulan Mei 2015 lalu.

“Disayangkan kondisi korban saat ini menurut Sukawati, korban lebih pendiam dan susah digali informasinya. Tapi kalau kita lihat rentang waktunya bulan Mei dan kita duga ada korban lain selain Bunga,” tandasnya yang didampingi Puspasari Dewi konselor di P2TP2A provinsi Bali ini.

Selain itu, P2TP2A provinsi Bali juga mempertanyakan label sekolah internasional yang melekat di Hainan School ini dimana pengawasan kepada murid-muridnya sangat kurang dan bahkan sekolah itu menurutnya, tidak memberikan rasa aman sama sekali.

“Kok begini sih lembaga sekolah berlabel internasional tidak bisa memberikan rasa aman ada guru bejat kelakuannya. Minimal standar sebuah sekolah keamanan kenyamanan dipenuhi, manajemen sekolahnya seperti apa,” tanyanya.

Diceritakannya, awal mula kasus ini menguak dipermukaan pada tanggal 17 Juni 2015, ortu korban datang kepada lembaganya dan awalnya hanya mau share sebatas konsultasi, tambahnya.

“Terus terang dengan kejadian ini anaknya bingung apakah mau dibawa ke ranah hukum setelah kesiapan kami yang mendampingi ke Polresta,” jelasnya.

Menurut Sukawati, peristiwa terjadinya pelecehan seksual tersebut tidak pasti kapan waktunya. Hanya dari keterangan ortu korban rentang waktunya diduga pada bulan Mei 2015 lalu.

“Bahkan sehari setelah ortu korban datang konsultasi, tanggal 18 Juni ada pertemuan dengan pihak sekolah terkait hal ini namun saat itu belum kami dampingi,” katanya.

Hasil bahwa keperawanan korban sudah hilang pun, diperoleh dari inisiatif ibu korban yang curiga atas sikap anak perempuannya. Karena itu ortu korban memberanikan untuk mengecek ke Dokter Spesialias Obstetri dan Ginekologi (SPoG) dan benar anaknya telah hilang keperawanannya.

“Kemudian setelah orangtuanya dan korban siap kita bawa ke Polresta Denpasar pada tanggal 29 Juli 2015 dan tanggal 30 Juli visum di RS. Sanglah ternyata korban mendapatkan PMS. Tanggal 29 sudah dibuat laporan kasar dan tanggal 31 sudah di buat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) awal,” tukasnya.

Sementara itu, dikonfirmasi kepada salah satu donatur sekolah Yayasan HS Pak Sin mengatakan, jika pihaknya terbuka dan sangat welcome jika memang kedua guru tersebut terbukti bersalah.

“Kita welcome jika memang mereka terbukti bersalah dan untuk diproses hukum silahkan saja,” katanya. SIA-MB