Kampanye Golkar
Denpasar (Metrobali.com)-
Uforia pasca Pleno di kabupaten/kota merilis nasib sang caleg yang mengadu nasib maju sebagai legislator. Bagi yang berhasil dirinya tentu akan bersyukur kepada Tuhan atas kesuksesannya bisa lolos di Pileg kali ini.
Namun lain halnya dengan caleg yang gagal, umumnya menurut Psikolog RS Siloam Caecilia Nirlak Sita, jika mereka tidak bisa menerima kegagalan yang dia dapatkan. Biasanya mereka tidak bisa menerima kegagalan dari kekalahan tarung bebas dengan pesaingnya yaitu sesama teman di internal partainya, imbuh dia. Media terkadang dijadikan alat untuk mengutarakan kegagalannya di Pileg. “Ada dua kemungkinan sebenarnya antara  gagal dan berhasil,” jelasnya belum lama ini.
Menurutnya si caleg harus sadar kalau dia juga bisa sukses atau dia bisa gagal, “kalau sukses biasanya diperlihatkan kepada khalayak umum kalau gagal biasanya tidak, nah kalau gagal dia harus menyadari kegagalan itu,” katanya.
Ketua Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) Bali ini lebih jauh menggambarkan seperti sifat manusia dimana semuanya saling timbal balik. Menurutnya masyarakat khususnya di Indonesia tidak bisa menghargai sebuah kegagalan. Padahal dari kegagalan ini bisa menjadi cambuk untuk kedepannya agar menjadi lebih baik lagi.
“Ada dua tipe baik buruk, bagus jelek, tinggal pilih saja sekarang mau gagal atau mau sukses,” tegasnya.
Sementara itu, dikonfirmasi kepada Kepala Dinas Kesehatan Bali Ketut Suarjaya, perihal caleg yang gagal ini menurut Suarjaya hingga saat ini tidak ada caleg yang gagal lantas mengakibatkan stress sampai gila. “Belum ada caleg yang stress karena kalah di Pileg, kami belum punya data untuk itu,” jelasnya via Ponsel (Senin/4). SIA-MB