Denpasar, (Metrobali.com)-
Desa Pakraman pada dasarnya mandiri. Kalau sudah manut pararem, pengurus sah secara adat. Jika diperlukan pendaftaran ke organisasi lainnya, semestinya sebatas pemberitahuan secara administrasi, bukan persetujuan dan atau pengesahan. Kalau Perda No.4 tentang Desa Adat mengatur lain, semestinya perda ini yang dikoreksi.
Hal itu dikatakan pengamat sosial dan budaya I Gde Sudibya, Selasa (18/1/2021) menyikapi perkembangan fenomena adat di Bali.
Dikatakan, filosofi dasarnya kemandirian Desa Pakraman tidak untuk diintervensi.
“Semestinya kemandirian Desa Pakraman jangan digerogoti, apalagi untuk pertimbangan politik praktis jangka pendek. Ini sangat berbahaya untuk masa depan peradaban dan budaya manusia Bali,” kata Sudibya.
Semestinya, kata dia dalam konteks sekarang dan menciptakan masa depan, Desa Pakraman didorong menjadi Lembaga Swadaya  Masyarakat ( LSM ) modern dengan keunikan dan kekhasan yang telah dimiliki oleh masing masing desa adat.
Jika dilakukan kilas balik terhadap sejarah Desa Pakraman, menurut catatan Yayasan Kuturan Dharma Budaya, Mpu Kuturan di awal abad ke 11 dalam melakukan sosialisasi  ajaran Tri Murthi dengan Kahyangan Tiganya , juga menghormati catur dresta yang berlalu di masing-masing desa. Tidak ada pemaksaan atas nama kekuasaan. Buktinya: Desa Pakraman dengan Kahyangan Tiganya, mampu lestari lebih dari 1000 tahun, dan bahkan memberikan identitas kuat dan rujukan keyakinan bagi manusia Bali.
Sudibya mengingatkan, sejarah selalu memberikan catatan: kualitas peradaban dan kebudayaan suatu masyarakat akan sangat ditentukan oleh kualitas organisasinya, terutama menyangkut kepemimpinan dan efektivitas kerja samanya.
“Tugas kita bersama untuk  merawat dan kemudian merevitalisasi Desa Pakraman untuk menjawab tantangan zamannya. Tidak membuatnya terperosok ke dalam potensi konflik, dan atau tidak fokus menjalankan swadharmanya  akibat kepentingan politik praktis jangka pendek,” katanya.
Dikatakan, ada banyak tugas menantang bagi Desa Pakraman, menyebut beberapa diantaranya: pertama: peningkatan kualitas SDM Hindu, di tengah-tengah persaingan ketat kehidupan, dan juga risiko godaan perpindahan agama.
Kedua, menyiapkan manusia Bali lebih cerdas merespons perubahan, tidak anti perubahan, karena dalam kenyataaannya, mereka yang cerdas merespons perubahan, yang akan mampu bertahan/survival.
“Dalam pandangan ahli filsafat: sejarah telah ” mengetuk  pintu ” Desa Pakraman, apakah akan bangkit menyongsong perubahan atau akan tenggelam ditelan zaman,” kata pengamat asal Desa Tajun, Buleleng ini.
Editor : Widana