Ilustrasi-Denpasar Documentary Film Festival

Pada edisi ke-10 ini, festival yang dulu dikenal dengan nama Denpasar Film Festival mencoba untuk mengatur ulang formulasi festival. Bukan sekedar perubahan nama menjadi Denpasar Documentary Film Festival (Dedoff) karena pilihan genre dokumenternya, namun juga cara pandang atas film dokumenter, baik di Indonesia maupun dunia.

Hari ini semua orang berkesempatan untuk merekam dan menceritakan ulang berbagai macam fenomena di keseharian kita. Dari urusan politik yang bikin kening berkerut, hingga galaksi mana yang teleskop Hubble temukan. Dari persoalan kemanusiaan, hingga perkara unboxing handphone terbaru oleh Youtuber ternama. Atau soal anak muda sopir truk yang membuat vlog viral dan kemudian menjadi selebriti yang ditunggu-tunggu banyak orang untuk foto bersama. Semua boleh bicara. Dedoff ingin menangkap narasi-narasi kecil keseharian manusia. Peradaban dunia dilihat dari persoalan mikrobiotik.

“Tahun ke-10 ini seolah menjadi anak tangga baru bagi Dedoff. Terlebih menyangkut masalah pengelolaan festival. Dedoff mulai tahun ini mulai membangun kerangka pasar film dokumenter di Indonesia; dari produk fim hingga sumber daya manusianya,” demikian Maria Ekaristi, Direktur Dedoff, dalam laporannya pada acara pembukaan festival tersebut di Rumah Sanur Creative hub, Jumat (27/9/2019). Acara dibuka resmi oleh Ketua Harian Bkraf Denpasar, I Putu Yuliartha.

Festival film dokumenter yang penyelenggaraannya mendapat sokongan dari Pemerintah Kota Denpasar melalui Dinas Kebudayaan Kota Denpasar tersebut kini memang telah menginjak satu dasawarsa.

PROGRAM
Tahun ini Dedoff mengawali langkahnya dengan membuat acara “road to” berupa kemah pelatihan film documenter dan pemutaran regular film documenter di Tukad Badung yang mereka namai Bioskop Tukad.

Program itu kemudian disusul dengan kompetisi film dokumenter yang melibatkan pegiat dokumenter di seluruh Indonesia. Kompetis dibagi menjadi dua kategori yakni Umum dan Pelajar. Ada 59 film dokumenter yang turut serta dalam kompetisi ini. Jumlah tersebut kurang setengah kurang dari peserta yang mendaftarkan diri akan mengikuti kompetisi.

“Sebelumnya ada 189 pendaftar yang mengisi formulir kesertaan, namun hingga batas akhir pengumpulan karya hanya 59 peserta yang mengirimkan karyanya,” papar Ekaristi.

Seperti sebelumnya, film-film tersebut berasal dari berbagai provinsi di Indonesia seperti Aceh, Riau, Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, NTT, dan tentu saja dari Bali sendiri.

Dari karya-karya tersebut Kurator memilih masing-masing lima karya unggulan di kedua kategori untuk dinilai oleh Dewan Juri. Lima karya unggulan pada Kategori Umum adalah As Long As (Lutfiyyah Sesarini, Tangerang), Ibu untuk Bumi (Diyah Verikandhi, Yogyakarta), Lewat Lagu Kami Bercerita (Dony Putro Herwanto, Bogor), Linggih Aksara (Ni Luh Putu Indra Dewi Anjani), Padi Gaga (Gede Seen, Buleleng). Sedangkan untuk Kategori Pelajar adalah Orang-orang Tionghoa (Icha Feby Nur Futhika, SMK Negeri 1 Purbalingga), Tukad Pakerisan (Anak Agung Ngurah Nata Prabhawangsa, SMA Negeri 1 Gianyar), Pasur (Sarah Salsabila Syafiyah, SMA Kadhijah Surabaya), Tirto Sari (Yunika Eka Putri, SMA Negeri Dlanggu), dan TPA Lontar ( I Nengah Arta Dana, SMK PGRI Amlapura).

Untuk kategori umum Juri terdiri dari Rio Helmi (Fatografer Senior, Bali), Putu Fajar Arcana (Redaktur Kompas, Jakarta), dan Agung Sentausa (Badan Perfilman Indonesia, Jakarta). Untuk kategori pelajar juri terdiri dari Warih Wsatasana (Budayawan, Denpasar), Ayu Diah Cempaka (Pegiat Kajian Cinema, Denpasar), dan Puja Astawa (Vlogger, Jimbaran).

Karya-karya tersebut diputar bersama film-film tamu selama dua hari berturut-turut. 27 dan 28 September. Pemutaran dilakukan di dua venue yakni Rumah Sanur Creative Hub dan Taman Kumbasari Tukad Badung.

PELATIHAN
Program lainnya adalah Pelatihan Skoring Musik untuk Film Dokumenter dengan instruktur Robi Navicula (Ubud) dan Sosialisasi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dengan pemateri Gunawan Paggaru dari Badan Perfilman Indonesia (Jakarta).

“Khusus untuk Sosialisasi SKKNI, kami sengaja gelar mengingat banyak pekerja film kita khususnya yang bergiat di bidang dokumenter belum memiliki sertifikat profesi. Padahal dalam persaingan global ke depan hal itu sangat diperlukan,” terang Ekaristi.

Adapun acara penutupan di Taman Kumbasari Tukad Badung yang ditsndai penyerahan hadiah bagi para juara. Untuk memeriahkan, acara ini menghadirkan Jun Bintang, Jasmine Okubo, Keroncong Jancuk, Komunitas Mahima, dan Suarshima. (AB-MB)