Oleh : I Made Pria Dharsana

Pasca Pilpres dan Pileg 2019 dan di tengah kemenangan PDIP dalam  satu dekade terakhir ini semoga para elite partai politik dan Parpol Koalisi yang memenangkan Pilpres selalu dapat menghasilkan kaderisasi dan soliditas anggota menuju partai modern dalam membangun, mempertahankan peradaban baru masyarakat bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila, UUD 1945 , NKRI yang majemuk Berbhinekka Tunggal Ika yang mensejahterakan.

Semua itu tak ada artinya jika elite nya yang didukung masyarakat tidak dapat mengimplementasikan itu semua dalam kebijakan pemerintahan yang memberikan ruang bagi tumbuh kembangnya sosial politik, perekonomian, kebudayaan, transparansi, akuntabel dalam pembangunan berkelanjutan. Negara, Kesejahteraan dalam Demokrasi mesti diartikulasikan penuh makna dan dijalankan sungguh-sungguh dan kontrol yang berimbang. Oleh karena itu, perlu ada yang mengawasi, mengkritisi, dan memberikan masukan kepada kelompok yang berkuasa.

Pemerintahan tanpa oposisi pun sangat diperlukan sebagai bagian cek dan balance, sebagai menyeimbang. Kemenangan dalam Pilpres dan Pileg 2019, begitu pula Pilkada 2020 yang sebentar lagi akan diselenggarakan dijadikan kemenangan rakyat, kemenangan rasionalitas pemilih cerdas, bukan hanya soal demografi, catatan kemenangan jumlah rakyat yang memilih.

Sperti yang disampaikan Daniel Dhakidai 2017, hanya soal demokrasi, demografi dan statistika belaka, yang selalu dianggap sebagai teknikalitas dalam menentukan legitim tidaknya demokrasi itu. Dalam angka keikutsertaan rakyat menggunakan hak pilihnya dalam angka yang cukup tinggi hampir 80% dari jumlah pemilih 194 juta sungguh suatu hal yang patut dibanggakan bagi meningkatnya partisipasi rakyat dalam pemilu di Indonesia.

Namun apa yang dapat dari itu? Bukan lah hanya sekedar angka dan statistik dan one man one vote belaka. Demokrasi perwakilan yang memperoleh kursi-kursi menjadi wakil rakyat, sebagaimana yang disampaikan Martin Heidegger dalam Daniel Dhakidaie, menurutnya upaya menghitung manusia sebagai unsur demografis dalam demokrasi tidak lain dari cara kita melihat dimana manusia seolah-olah menjadi kumpulan karung-karung kering.

Konsep seperti massa pemilih tidak lain adalah konsep perusak yang membuat manusia menjadi rusak dan kehilangan autentisitasnya sebagai manusia. Ini seperti tuduhan yang cukup keras, fundamental dan ada benarnya disatu sisi jika demokrasi perwakilan tidak memberikan keuntungan nilai pembangunan yang holistik bagi seluruh warga bangsa. Demokrasi bukan hanya perhitungan statistik dan besaran demografi ditengah apatisme masyarakat sehabis pemilu. ini tidak boleh terus terulang. Pemerintahan tanpa kontrol.

Demokrasi yang sehat seharusnya menghasilkan hubungan, korelasi yang terus tumbuh dan berelasi antara pemilih dengan wakilnya yang duduk di kursi legislatif dan eksekutif yang terpilih langsung; dengan membangun legitimite relasi autentik yang terus berempati dan diimbangi dengan kemampuan yang profesional untuk menggali dan mengenal tuntutan dan kebutuhan rakyat; rakyat mesti membekali diri dan terus menjadikan penentu arah pembangunan jika tidak sesuai dengan harapan, sebagai bagian kontrol yang tak boleh abai agar pemerintahan dan arah pembangunan tidak menyimpang dari semangat awalnya.

Pembangunan bukan hanya sebagai pemenuhan janji politik semata, bukan hanya pencitraan tanpa makna. Apalagi kemudian terbengkalai, berikutnya, kekuasaan dan kemenangan yang diperoleh hanya semata-mata alat untuk memperjuangakan kepentingan bersama. Kepentingan rakyat bukan kepentingan elite. Kepentingan membangun peradaban baru, modernisitas tanpa koma. Membangun bukan sebatas lima tahunan dan hanya parsial tanpa koneksitas antar daerah, pusat. Semestinya, pembangunan menyeluruh bagi semua.

Dengan demikianlah demokrasi akan bermakna bagi kepentingan rakyat, bukan hanya pepesan kosong tanpa makna. Semoga pemerintahan yang dihasilakan 2019 benar-benar dapat membuktikan dan merealisasikan janji-janji politi nya membangun Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miagas sampai Pulau Rote. (***)

Penulis : Pengamat Sosial dan Politik Tingggal di Denpasar