Kiri-kanan- Agung Bawantara – Direktur Pelaksana Yayasan  Bali Gumanti,  IGK Trisna Pramana – Manager Festival, dan Direktur Dedoff 2019, Maria Ekaristi saat Jumpa pers diselenggarakan di Kebun Kalpataru, Kesiman, Denpasar, Selasa (6/8/2019)

Denpasar, (Metrobali.com)-

Pada edisi ke-10 ini, festival yang dulu dikenal dengan nama Denpasar Film Festival mencoba untuk mengatur ulang formulasi festival. Bukan sekedar perubahan nama menjadi Denpasar Documentary Film Festival (Dedoff) yang pilihan genre-nya dokumenter, melainkan juga cara pandang atas film dokumenter, baik di Indonesia maupun dunia.

Hal  itu disampaikan oleh Direktur Dedoff 2019, Maria Ekaristi, dalam jumpa pers jelang penyelenggaraan salah satu festival film andalan Kota Denpasar tersebut. Menurut Eka, semua orang berkesempatan untuk merekam dan menceritakan ulang berbagai macam fenomena di kesehariannya. Dari urusan politik yang bikin kening berkerut, hingga galaksi mana yang teleskop Hubble temukan. Dari persoalan kemanusiaan, hingga perkara unboxinghandphone terbaru oleh Youtuber ternama. Semua boleh bicara.

“Nah, Dedoff ingin menangkap narasi-narasi kecil keseharian manusia. Bahkan hingga ke hal yang dianggap remeh temeh,” ujarnya.

Menurut perempuan energik yang kerap disapa Eka itu, pada penyelenggaraan yang ke10, Dedoff memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para pegiat bicara film dokumenter untuk membicarakan apa saja melalui filmnya. Semisal soal anak muda di pelosok yang ingin menceritakan bahwa kambingnya tidak mau makan rumput. Atau membicarakan tentang  apa jadinya bila hal yang tidak penting dianggap penting.

“Intinya, semua boleh bercerita,” tegas Eka.

Maria menambahkan bahwa di tahun ke-10 festival film yang dibidaninya itu seolah kembali ke titik nol untuk melangkah lebih lebar dan maju khususnya berkait pengelolaan festival. Dedoff mulai tahun ini mulai membangun kerangka pasar film dokumenter di Indonesia; dari produk fim hingga sumber daya manusianya.

“Kami memulai kembali proses dari awal, menata perlahan pondasi festival kami agar lebih kuat. Menjadi sederhana tapi fundamental, utamanya bagi masyarakat penontonnya. Mungkin tidak terlihat canggih, namun bila itu yang dibutuhkan untuk menyentuh empati, apa perlunya menjadi jumawa?” tandas Eka sembari memaparkan bahwa pada penyelenggaraan kali ini Dinas Kebudayaan Kota Denpasar tetap menjadi leading sector-nya.

KOMPETISI DAN NON KOMPETISI

IGK Trisna Pramana – Manager Festivalyang mendampingi Eka menambahkan, program penting selain Pasar Film Dokumenter adalah kompetisi film dokumenter yang didedikasikan untuk pembuat film dokumenter Indonesia dengan kategori pendek, tidak terbatas pada isu tertentu. Kompetisi dibagi dua kategori: Pelajar SMA/sederajat dan Umum.

Selain itu, imbuh Trisna, ada juga Program Non Kompetisi yakni pemutaran film-film dokumenter pilihan yang pilih secara khusus oleh programmer. Filmnya adalah film dokumenter pilihan dari Indonesia dan mancanegara.  Di sela itu ada Program Diskusi dan Workshop yang akan fokus pada soal-soal pengembangan bisnis dan pembiayaan film dokumenter di Indonesia.

“Isu utamanya adalah bagaimana melihat film dokumenter sebagai produk potensial bisnis konten, membangun ekosistem industri, serta bentuk pendidikan dokumenter yang berkelanjutan,” tegas Trisna.

Di bagian lain Trisna menjelaskan Dedoff 2019 dikuratori oleh tokoh-tokoh muda yang mumpuni yakni Daniel Rudi (Jakarta), Dwitra J Ariana (Bangli), Putu Kusuma Wijaya (Buleleng), dan John Badalu (Jakarta). Adapun Juri Kategori Pelajar SMA terdiri dari Ayu Diah Cempaka (Kritikus Film), Warih Wisatsana (Penyair, Penggerak Aktivitas Kreatif), Puja Astawa (Youtuber).

Juri kategori umum terdiri dari Rio Helmi (Fotografer Senior), Putu Fajar Arcana (Wartawan Senior), dan Agung Sentausa (Badan Perfilman Indonesia).

Venue utama Dedoff 2019 adalah Taman Kumbasari Tukad Badung dan Rumah Sanur.

Editor : Hana Sutiawati