Denpasar (Metrobali.com

 Menyikapi keluhan masyarakat terhadap promosi pengobatan alternative melaui media penyiaran, KPI D Bali menyelenggarakan kegiatan diskusi terbatas, yang melibatkan stake holders lintas sektoral , bertempat di Ruang Rapat KPI D Bali, Senin, 18 Juni 2012.

Yang hadir pada pertemuan tersebut cukup lengkap. Di antaranya, fakultas kedokteran Universitas Udayana yang diwakili oleh Prof.Wimpie Pangkahila, I Gusti Ngurah Jaman SE dari praktisi pengobatan alternative CV.Usadha Taksu Bali, Drs.Eka Ratnata dari Balai POM Denpasar, I Nengah Sukaadnyana, SS dari sekolah farmasi Bintang Persada, I Putu Armaya dari Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Bali, dan juga dari lembaga penyiaran di Bali.

Sebagai pembuka acara, Drh. Komang Suarsana, M.MA, ketua KPI D Bali menyampaikan, bahwa kegiatan tersebut dimaksudkan untuk menyamakan persepsi antar stake holders yang sering berinteraksi di lembaga penyiaran terkait dengan pengobatan alternative. Sehingga dengan demikian, dia berharap lembaga penyiaran, masyarakat, medis dan pengobatan alternative dapat berjalan bersama untuk membantu masyarakat.

Setelah acara diambil alih moderator, Sri Mudani, SH,  Yasa Adnyana, SH,MH, komisioner koodinator bidang pengawasan KPI D Bali menyampaikan bahwa diskusi tersebut diselnggarakan bukan untuk mempertajam friksi di antara dus system pengobatan tersebut. “ Kami berharap keduanya berjalan harmonis dan saling melengkapi,” tandasnya.

Yasa Adnyana menyampaikan bahwa diskusi tersebut bukan untuk mengekstradisi pengobatan alternative, malah dia berharap agar pengobatan alternative tetap lestari. Tetapi dia mengakui, para hiler pengobatan alternative masih perlu meningkatkan kemampuan dalam memanfaatkan media massa khususnya lembaga penyiaran dalam mempromosikan produk-produknya, sehingga apa yang disampaikan berjalan efektif, benar dan mendidik.

Mengawali acara yang dipandu Sri Mudani, SH, Wakil ketua Komisi penyiaran daerah Bali tersebut, sempat terjadi silang pendapat yang cukup menegangkan. Betapa tidak, utusan dari Farmasi menyampaikan secara fulgar  pandangannya bahwa pihaknya kurang setuju hadirnya pengobatan altenatif di tengah masyarakat. Argumentasi yang disampaikan Sukaadnyana sebagai utusan sekolah farmasi, dilandasi oleh banyaknya kasus informasi yang disampaikan oleh pengobat alternative di media penyiaran cendrung bohong dan menyesatkan masyarakat sehingga kesannya membodohi dan tidak mendidik.

Bahkan ketegangan semakin meningkat, manakala Prof.Wimpie Pangkahila,  memperagakan beberapa fakta tentang korban akibat salah penganan dan salah informasi tentang rumuan obat dari pengobat alternative yang tidak mau disebut namanya. Dalam kesempatan tersebut, dia mengatakan bahwa herbal umumnya efektif untuk penyakit – penyakit ringan, seperti flu dan filek. “ kalau penyakitnya serius , misalnya katarak, ya pasti harus dioperasi dengan system medis,dan selama ini belum bisa disembuhkan dengan cara lain,’ ungkapnya. Lebih lanjut, dia mengatakan, sesungguhnya herbal yang asli itu baik untuk  kesehatan, tapi sangat disayangkan, banyak ramuan yang berlabel label malah mencampurkannya dengan campuran obat kimia, sehingga memberi kesan ampuh dan mujarab. “ seharusnya, obat-obatan jenis itu harus dengan resep dokter, sebaba kalau penggunaannya tidak tepat bisa berbahaya untuk kesehatan organ-ortan tubuh manusia.

Praktisi pengobat alternative, I Gusti Ngurah Jaman, sempat menyampaikan argumentasi dengan nada sedikit keras. “ Secara holistic, system pengobatan barat(medis) atau pun timur (alternative)sesungguhnya adalah sama-sama sebagai pengobat alternative,”katanya. Dia memberi alasan bahwa yang menyembuhkan sesungguhnya hanya Tuhan. Jadi di luar, itu semua alternative. Dia mangaku sudah dua puluh lima tahun menjadi hiler alternative khususnya dengan media herbal dan spiritual. Sepanjang itu, dia telah banyak membantu masyarakat dari berbagai kalangan, dari masyarakat jelata , pejabat, bahkan tidak sedikit dari kalangan medis. “ Ini fakta, itulah kenyataan di masyarakat,”tandasnya.

Bahkan dari Lembaga Perlindungan Konsumen Bali (YLKB) mengungkapkan ada hal menarik terkait dengan hasil peneletiannya beberapa tahun terakhir yang berhubungan prilaku konsumen yang menerima pelayanan dari para pengobat alternative. Berdasarkan penelitiannya, 25 % masayrakat mengatakan bahwa pengobatan alternative menyatakan tingkat kepuasan setelah menggunakan jasa pengobatan alternative. Tapi yang menarik, justru kepuasan 25 % itu justru merupakan dampak pengobat alternative yang diberikan oleh pengobat tradisional Bali.

Dari lembaga penyiaran, mengakui bahwa beberapa pengobat memang belum memahami secara baik dalam menggunakan media massa, khsususnya penyiaran. ‘ Kami memang harus rajin melakukan filter atau verivikasi terhadap hiler alternative yang akan tayang,” ungkap Dewi Martika, dari Bali TV. Menurutnya , aspek legalitas atau perijinan merupakan hal penting sebagai salah satu indicator seorang hiler dapat tampil di medianya.   Bahkan, dia mendorong agar KPI D Bali segera melahirkan satu acuan atau aturan untuk mengatur kelayakan hiler alternative dalam siaran di media penyiaran.

Sedangkan dari Balai POM Bali, Eka Ratnata, mengatakan bahwa herbalis merupakan wilayah Bali POM untuk mengawasinya. “ Distribusi obat dan makanan adalah wilayah kewenangan kami untuk mengawasinya,” katanya.  Berdasarkan ketentuan yang ada, dia mengakui bahwa mekanisme produksi dan promosi sudah diatura di dalamnya.  Report by Yasa Adnyana.