KALIMAT  “Ciyus? Miapa?” Boleh jadi lebih mudah dimengerti oleh generasi muda kini ketimbang nilai-nilai dalam Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Kalimat yang dipopulerkan oleh generasi muda yang mengklaim diri sebagai generasi “alay” itu dinilai lebih keren dan modis daripada meresapi butir-butir Pancasila yang merupakan jati diri bangsa.

Sedikit yang menyadari bahwa negara kebangsaan berlandaskan Pancasila yang dicita-citakan oleh Bung Karno pada dasarnya adalah negara modern yang tidak pernah ketinggalan zaman.

Negara kebangsaan modern yang dicita-citakan Bung Karno adalah negara yang didukung oleh seluruh rakyat yang memiliki pengalaman kolektif sejarah yang sama dan yang berada dalam satuan gugusan wilayah yang secara geopolitik sangat strategis akan berdampak pada terancamnya integrasi nasional, baik secara sosial, politik dan teritorial.

Namun fakta yang terjadi saat ini dimana nilai-nilai Pancasila mulai tergilas ideologi hasil keterpengaruhan budaya barat lebih banyak disebabkan karena sebagian besar pemimpin melupakan hakekat negara Republik Indonesia sebagai negara kebangsaan berdasarkan Pancasila.

Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang berat untuk meneguhkan kembali cita-cita negara Pancasila.

“Untuk itulah perlu dipertahankan bentuk negara kesatuan, dan perlu dilaksanakan dan diselenggarakannya satu sistem pendidikan nasional dan terus dimajukannya kebudayaan nasional,” kata pengamat politik Yudi Latif.

Menurut dia, pengamalan Pancasila oleh kalangan penyelenggara negara saat ini telah bergeser dari era saat negeri ini didirikan.

“Kalau dulu para pendiri bangsa kebijakannya sesuai dengan nilai atau etika Pancasila, saat ini mengalami kemerosotan,” katanya.

Kemerosotan dalam penghayatan nilai Pancasila itu, menurut dia antara lain diindikasikan dengan maraknya praktik korupsi di kalangan penyelenggara negara saat ini.

Membumikan Pancasila Sejak pengesahan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945, Pancasila telah diterapkan sebagai falsafah negara, pandangan hidup, serta dasar kenegaraan.

“Pengamalan nilai tersebut hanya dapat terlaksana apabila ada ketaatan dari penyelenggara Nngara dan warganya,” kata pengamat Yudi Latif.

Ia berpendapat, pusat dari ketaatan pengamalan nilai Pancasila oleh warga negara pada dasarnya bergantung pada semangat para penyelenggara negara dalam mengamalkan nilai itu dalam setiap kebijakan.

Selanjutnya, ia menilai prinsip ideal Pancasila saat ini belum sepenuhnya teraplikasikan dalam kenyataan.

Hal itu, menurut dia, terutama disebabkan oleh krisis keteladanan dari para penyelenggara negara.

“Sebaik apapun kandungan nilai Pancasila dan UUD 1945, hanya keluhuran di atas kertas, tanpa kesungguhan untuk `mendagingkan` nilai tersebut dalam penyelenggaraan negara,” katanya.

Dengan demikian, bagi warga negara penerapan nilai Pancasila ke dalam realitas kehidupan memerlukan penghayatan langsung dari semangat bernegara para pendiri bangsa.

“Membumikan Pancasila sebagai pantulan cita-cita dan kehendak bersama, mengharuskan Pancasila hidup dalam realita, tak hanya retorika atau verbalisme di pentas politik,” katanya.

Ia juga mengatakan Pancasila perlu difungsikan sebagai tenaga batin serta prasarat moralitas yang dapat mengangkat bangsa dari kerendahannya.

“Dalam memahami, meyakini serta mengamalkan Pancasila, harus dipahami bahwa Pancasila bukan hanya dasar statis. Pancasila merupakan prinsip dinamis yang responsif terhadap dinamika perkembangan zaman,” katanya.

Kecerdasan Lokal Guru Besar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta Endang Sumiarni menilai Pancasila sebagai hasil ekstraksi kecerdasan lokal.

Menurut anggota Tim Ahli Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayaan, Direktorat  Jenderal Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2013 itu, dasar dari nilai-nilai Pancasila merupakan kecerdasan atau kebijaksanaan setempat yang dapat diketahui atau ditemukan di balik aktivitas manusia.

“Misal, sikap membungkukkan badan jika hendak menghormati orang lain, posisi tangan saat mempersilakan orang lain, cara duduk, dan lain-lain semua mencerminkan kebijakan atas kecerdikan lokal. Setiap suku memiliki aktivitas atau simbol-simbol atau lambang-lambang yang memiliki makna,” katanya.

Kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai dasar Pancasila terdapat di seluruh wilayah Nusantara dan tidak ada yang diambil dari bangsa atau wilayah lain. Meskipun berbeda-beda, namun nilainya tetap sama.

Oleh karena itu, ia menilai masyarakat Indonesia seharusnya lebih bangga menjadi negara Pancasila bukan justru bangga ketika mengamalkan budaya jiplakan yang kini digandrungi “anak muda”.

Ketua DPR Marzuki Alie berpendapat nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara terkesan diragukan selama reformasi, bahkan mulai dipinggirkan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut dia, Pancasila telah dianggap sebagai peninggalan Orde Baru dan menjadi penyebab timbulnya masalah selama ini.  “Padahal pendapat itu tidak benar, karena Pancasila justru yang memperkuat tatanan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu seluruh pimpinan lembaga pemerintahan sepakat untuk mereaktualisasikan falsafah negara kepada generasi penerus,” katanya.

Itu semata dilakukan sebagai suatu keharusan untuk meneguhkan kembali Indonesia sebagai negara Pancasila seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa.

 Hanni Sofia/Antara