SEJAK reformasi bergulir, tepatnya setelah lengsernya Jenderal Besar (Purn) Soeharto dari kursi kepresidenan, pada 21 Mei 1998 silam, kehidupan berdemokrasi di negeri ini memang sempat mencatat kemajuan luar biasa dan bahkan sangat optimis akan lebih baik dari sebelumnya. Pasalnya, para pemimpin bangsa mulai dari calon presiden, wakil presiden, termasuk kepala daerah dapat dipilih secara langsung dan terbuka oleh rakyat, khalayak publik.

Alhasil, dalam setahun setidaknya bisa sampai lima kali dan bahkan bisa lebih dari itu, rakyat sebagai warga negara yang baik sesuai aturan hukum harus mengikuti proses berdemokrasi dengan mendatangi tempat pemungutan suara (TPS), mulai pemilihan umum (pemilu) untuk anggota legislatif, presiden, serta pemilihan kepada daerah (pemilukada) gubernur, hingga bupati atau wali kota yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintahan, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Tak pelak, hingar-bingar atmosfir budaya politik pun kini semakin berkembang dengan sangat pesat di tengah kehidupan masyarakat multikultur sebagai bagian penting dan cukup strategis bagi proses berdemokrasi dalam aktivitas kekuasaan dan kenegaraan. Namun, sungguh sangat disayangkan fenomena kehidupan berdemokrasi itu dalam realitasnya acapkali diwarnai tindakan anarkis yang berujung kericuhan, kerusuhan, dan sengketa.

Bahkan, tragisnya tindakan anarkis tersebut berakibat sangat fatal hingga menelan korban jiwa dan harta benda. Akibatnya, semangat berdemokrasi secara langsung dan terbuka sontak berubah secara dramatis menjelma menjadi ancaman serius yang sangat signifikan terhadap terjadinya disintegrasi bangsa, yakni runtuhnya kekuatan persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara.

Selain itu, realitas reformasi demokrasi dalam peradaban global kekinian selama tahun 2013 ini pun cenderung mengalami cobaan yang sangat heroik dan dilematis. Pasalnya, para calon pemimpin terpilih dalam pemilu dan pemilukada saat berkuasa dalam relasi kekuasaan dari aktivitas kenegaraan dan birokrasi pemerintahan sebagai elite politik penguasa pemangku kebijakan secara pongah dan blak-blakan tanpa penyesalan nekat melakukan praktik korupsi secara masif dan sistemik.

Implikasinya, semangat melindungi dan mengayomi kepentingan dari kemaslahatan publik yang menjadi tugas utama dan tanggungjawab mulia dan tertinggi sebagai sebuah pengabdian dari integritas dirinya cenderung menjadi semakin terabaikan dan bahkan terkesan sengaja terlupakan. Kenapa ? Karena, praktik kerja sama kongkalikong aneka program pembangunan yang dikonstruksi para elite politik penguasa pemangku kebijakan tersebut cenderung hanya berupaya maksimal memuaskan nafsu duniawi sesaat dari kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan para kroninya semata.

Akibatnya, proses berdemokrasi kini semakin berada dalam cengkraman praktik budaya korupsi politik. Dengan kata lain, selama satu dekade lebih berlalu rupanya reformasi demokrasi kini semakin mengalami defisit kepercayaan publik. Faktanya, satu demi satu secara perlahan dan pasti para elite politik penguasa pemangku kebijakan yang terindikasi kuat melakukan praktik korupsi harus berurusan dengan lembaga antikorupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, yang telah terbukti secara hukum sebagai koruptor harus mengikuti masa orientasi studi kehidupan barunya sebagai tamu kehormatan di hotel prodeo, penjara atau lembaga pemasyarakatan.

 Jika fenomena ini berlangsung secara terus menerus tanpa adanya kemauan kuat dan nyali besar untuk melakukan perubahan yang serius terhadap upaya pemberantasan praktik budaya korupsi politik sudah dapat dipastikan tentunya reformasi demokrasi memasuki tahun politik 2014 akan semakin terancam dan perahu besar kepentingan kemaslahatan publik akan tenggelam di tengah amukan badai tsunami peradaban global dengan teknologi serba canggihnya.

 Berani Korupsi Hebat!

Lingkaran setan ataupun mafia praktik budaya korupsi politik yang melibatkan para elite politik penguasa pemangku kebijakan mulai dari aktor partai politik baik anggota DPR dan Birokrat, Pengusaha, serta Staf Khusus Kementerian/DPR, Hakim, Jaksa, Pegawai Negeri Sipil, dan Pejabat Publik lainnya telah berdampak luas terhadap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, ironisnya upaya pengentasan kemiskinan dan pengangguran semakin dilematis. Di mana jumlah kemiskinan dan pengangguran justru cenderung terus meningkat tajam. Ini disebabkan oleh adanya praktik korupsi secara masif dan sistemik pada setiap agenda program anggaran dari proyek pembangunan bangsa dan negara selama ini.

Dalam konteks ini, rupanya hasrat berkuasa para elite politik penguasa pemangku kebijakan dari aktivitas kekuasaan dan kenegaraan, birokrasi pemerintah dari tingkat pusat dan daerah selama ini cenderung cacat moral, membabi buta dan kebablasan karena dengan sengaja melegalkan terjadinya praktik kerja sama kongkalikong untuk memperkaya diri secara bersama-sama melalui berbagai agenda program anggaran dari proyek pembangunan bangsa dan negara dengan dalih demi kepentingan kemaslahatan publik.

Sehingga, tanpa sepenuhnya disadari rupanya praktik budaya korupsi politik telah menghilangkan sikap dan perilaku keteladanan yang berjiwa besar, berani jujur di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam peradaban global kekinian dengan teknologi serba canggihnya. Akibatnya, lingkaran setan ataupun mafia praktik budaya korupsi politik dengan beragam modus transaksinya seperti kongkalikong anggaran dan bantuan sosial menjadi semakin sempurna, dan menggurita menjadi praktik dinasti kekuasaan para keluarga dari elite politik penguasa pemangku kebijakan.

Bahkan kini praktik budaya korupsi politik telah menjelma sebagai budaya kreatif bagi para elite politik penguasa pemangku kebijakan, mulai dari partai politik baik anggota DPR dan Birokrat, Pengusaha, serta Staf Khusus Kementerian/DPR, Hakim, Jaksa, Pegawai Negeri Sipil, dan Pejabat Publik lainnya. Dengan kata lain, para elite politik penguasa pemangku kebijakan ini pun mendapat gelar kehormatan sebagai seniman kerah putih dengan motto Berani Korupsi Hebat!, yang merupakan plesetan dari slogan lembaga antikorupsi, KPK yakni Berani Jujur Hebat!.

Tak pelak, ini berarti praktik budaya kreatif berbasis kearifan lokal yang dikonstruksi ataupun dilakoni oleh para seniman (masyarakat) sesungguhnya pada akhirnya dengan sangat terpaksa harus sukarela mengalah karena memang telah kalah bersaing dengan seniman kerah putih dari berbagai aspek kepentingan (modal dan kekuasaan) dalam pembangunan bangsa dan negera di tengah gejolak peradaban global yang semakin maju dengan teknologi serba canggihnya.

Pada dasarnya, keprihatinan publik terhadap praktik budaya korupsi politik dari para aktor intelektual feodal dengan praktik budaya premanisme dalam organisasi partai politik selama ini telah diapresiasi khalayak publik, masyarakat luas dengan berbagai aksi solidaritas secara objektif dan independen, seperti mencetak aktivis atau relawan antikorupsi, pembentukan organisasi antikorupsi (ICW, BCW, dan lainnya) dari tingkat pusat dan daerah, serta beragam aksi kepedulian lainnya demi kepentingan kemaslahatan publik.

Namun, rupanya kesaktian ataupun kekuatan ruh dan taksu dari praktik budaya korupsi politik semakin mahadasyat, sangat kuat dan telah membumi ataupun bahkan telah mendarah daging di tengah kehidupan para elite politik penguasa pemangku kebijakan dalam atmosfir aktivitas kekuasaan dan kenegaraan, sehingga sangat sulit untuk dimusnahkan.

 Harga Mati

Kita semua sebagai warga negara yang baik dan taat hukum, aturan perundang-undangan sepertinya tak akan pernah dapat menikmati kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang aman dan nyaman serta mencapai kehidupan yang lebih baik dan menyejahterakan bilamana praktik budaya korupsi politik terus menerus dibiarkan terjadi secara masif dan sistemik.

Maka dari itulah, ke depan dalam rangka menutup lembaran tahun 2013 dan menyambut datangnya matahari baru di tahun 2014 dengan agenda besarnya tahun politik kita semua secara bersama-sama harus punya nyali besar, berani jujur mengambil sikap tegas untuk menghancurkan konstruksi utama dari praktik budaya korupsi politik tersebut secara lebih objektif dan indenpenden serta berkelanjutan. Demi kepentingan kemaslahatan publik yang lebih baik dan menyejahterakan secara berkesinambungan.

Lonceng sikap dan perilaku kejujuran dan kebersamaan tentunya harus menjadi harga mati yang tidak boleh ditawar lagi, jika kita semua ingin menciptakan negara tercinta ini mampu bersaing dengan negara lain di masa datang. Jadikan, fenomena praktik budaya korupsi politik di tahun 2013 sebagai sebuah pembelajaran maha penting dari segala ilmu pengetahuan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari generasi penerus bangsa di masa datang dalam persaingan global dengan peradaban teknologi serba canggihnya.

Dengan demikian, praktik berdemokrasi di negeri ini nantinya akan dapat menghasilkan kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat dengan sikap dan perilaku solidaritas serta keadilan sosial yang bermoral dan bermartabat dalam kehidupan kebangsaan yang lebih baik dan menyejahterakan. Selain itu, krisis keteladanan kepemimpinan transformatif dan visioner yang selama ini cukup krusial dalam aktivitas kekuasaan dan kenegaraan, birokrasi pemerintahan nantinya dapat terjawab pada tahun politik, pemilu 2014.

 Meskipun pada dasarnya memang banyak pihak memprediksi pesta demokrasi di tahun pemilu 2014 masih belum mampu dan sangat sulit untuk mendorong adanya perubahan secara signifikan terhadap kepemimpinan bangsa dan negara. Ini karena praktik budaya korupsi politik masih tetap mewarnai pesta demokrasi tersebut. Mengingat wajah para elite politik penguasa pemangku kebijakan dari partai politik baik anggota DPR dan Birokrat, Pengusaha, serta Pejabat Publik lainnya tidak signifikan mengalami perubahan, karena yang ikut bertarung dalam pesta demokrasi di tahun pemilu 2014 masih merupakan wajah lama alias masih berkuasa saat ini.

Atas dasar itulah, optimisme harus tetap dibangun dan dikembangkan secara terus menerus tanpa henti dengan menguatkan sikap dan perilaku kejujuran serta kebersamaan dengan mewujudkan pesta demokrasi yang objektif dan independen. Mulai detik ini juga kita semua harus berani mencegah dan bahkan menghentikan hasrat berkuasa para elite politik penguasa pemangku kebijakan untuk memperkaya diri demi kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu.

Dalam konteks ini, jangan pernah memilih ataupun mencoblos atas dasar fee atau berorientasi uang yang sifatnya sesaat dan sangat menyesatkan. Karena itu, dalam waktu yang relatif singkat ini mulailah mengevaluasi dan mengawasi gerak gerik setiap calon pemimpin bangsa yang akan bertarung dalam pesta demokrasi di tahun pemilu 2014 nanti agar tidak salah pilih. Jika yang terpilih pejabat publik dengan kompetensi dan integritas diri yang rendah sudah dapat dipastikan kemaslahatan publik akan semkin terpinggirkan dan bahkan terlupakan. Maka itulah, waspadai setiap bentuk bantuan sosial yang berpotensi melegalkan praktik budaya korupsi politik secara masif dan sistemik.

Akhir kata, dalam kerendahan hati yang tulus iklas tanpa pamrih saya mengucapkan selamat natal dan tahun baru 2014. Mari kita bersama-sama merayakan pesta demokrasi dengan suka cita dalam semangat kejujuran dan kebersamaan bagi kehidupan yang lebih baik dan menyejahterakan serta demi kepentingan perdamaian dunia. WB-MB