PERNYATAAN kritis beberapa sulinggih  Hindu dalam seminar 50 tahun UNUD tentang Tata Ruang Bali, rupanya sempat menimbulkan pertanyaan usai seminar ditutup. Dalam sesi menerima masukan, ada pernyataan yang menyayangkan ulah politikus yang mendatangi griya  dan sulinggih  hanya menjelang pemilu legislatif maupun pemilihan kepala daerah. Tapi, begitu terpilih, mereka bukan saja tidak mau datang, tetapi sebagian besar tidak melaksanakan apa yang dinyatakan sebagai janji dan komitmen politiknya, ketika masuaka  agar namanya dipilih oleh umat.

Diantara contohnya, ternyata hanya sedikit wakil rakyat di pusat maupun daerah, konsisten membela eksistensi Bhisama Kesucian Pura dalam Perda Tata Ruang Bali, ketika bhisama berusaha digusur ataupun dilemahkan. Karenanya, politikus demikian, yang tidak serius dan tidak konsisten membela bhisama, tidak perlu dipilih lagi dalam pemilu mendatang. Politisi yang hadir dan diketahui konsisten membela Bhisama dan Perda RTRW dan hadir dalam seminar, adalah Ngakan Made Samudra, anggota DPRD Bali yang jadi narasumber, serta Wayan Sudirta, senator dari Bali. Dari DPD RI Pusat, yang komit mengkawal pelaksanaan Perda RTRW adalah Ketua DPD RI Irman Gusman dan seorang anggota DPD RI dari Sumatera Utara, Rahmat Syaf.
            Ketua Sabha Walaka, Putu Wirata Dwikora yang bertindak selaku pemandu seminar mengaku, bahwa usai seminar banyak mendapat pertanyaan apakah tepat sulinggih berbicara masalah-masalah politik praktis seperti itu. Masih ada pula pertanyaan, apakah tepat sulinggih dan pemangku sampai datang ke DPRD Bali ketika sejumlah aktivis LSM, gurubesar, walaka PHDI dan tokoh adat beraudiensi dengan wakil rakyat di Renon. Kata Putu Wirata, mereka berbincang-bincang setelah seminar, karena tak sempat mengajukan pertanyaan di forum seminar yang padat peserta itu. Lagi pula, selain 4 narasumber, 3 pembicara dari DPD RI, ada total 18 orang termasuk sulinggih yang diberikan kesempatan menyampaikan masukan, terkait tema seminar.
            Acharya Yogananda, pandita yang duduk di Sabha Pandita PHDI dan juga Ketua Dewan Pasharaman Bali, bahkan menegaskan, dalam situasi yang genting, seperti ketika Bhisama PHDI hendak dicopot dalam revisi Perda RTRW, sulinggih wajib meluruskan manakala suara-suara Walaka saja tidak didengar oleh politisi. ‘’Dalam Mahabharata, Bhagawan Drona, Bhagawan Bhisma, Kripacarya, bahkan turun memimpin pasukan, ketika situasinya sudah sedemikian genting. Kalau disini, sulinggih baru sampai bicara dan mengingatkan agar para politisi sadar, mereka duduk karena pilihan rakyat, jadi mesti memperjuangkan aspirasi rakyat.Sulinggih dan pemangku waktu datang ke DPRD Bali, juga untuk mengingatkan dan mendoakan para anggota Dewan, agar jernih melihat masalah, demi generasi mendatang dalam kerangka kelestarian alam dan budaya Bali. Sulinggih-sulinggih kita belum terjun ke langkah yang lebih jauh,’’ jelasnya.
            Putu Wirata menambahkan, sebetulnya, diantara anggota dewan yang sempat mempersoalkan kehadiran sulinggih di forum-forum seperti delegasi ke DPRD Bali, sepanjang yang ia ketahui, adalah politisi yang juga datang ke sulinggih  dan griya-griya  untuk minta restu dan dukungan dalam pencalonannya.
            ‘’Kita mengharapkan, agar ada kejujuran, jangan menggunakan standar ganda. Ketika sulinggih dan pemangku bicara untuk menegakkan bhisama, dan sampai datang ke DPRD guna mengingatkan para anggota dewan, kok  dibilang melanggar sesana.  Tapi, ketika politisi tersebut berkampanye, ia datang ke sulinggih-sulinggih  untuk minta restu dan dukungan. Sebetulnya, mereka tidak salah ketika datang ke sulinggih untuk minta restu, dan sebaiknya jangan juga menyalahkan sulinggih dan pemangku yang datang ke DPRD untuk menyuarakan bhisama dan yang mereka yakini benar. Dalam kedua posisi tadi, baik didatangi atau mendatangi, beliau-beliau tidak melanggar sesana,  karena sulinggih berkewajiban untuk menjaga kelestarian alam semesta, meluruskan dan mengingatkan umatnya yang langkah-langkahnya dinilai keliru,’’ katanya.
            Justru tidak sesuai sesana,  bila ada penyimpangan di depan mata, ada upaya-upaya untuk melemahkan Bhisama, baik yang dilakukan secara yuridis maupun langkah-langkah lainnya,  sulinggih dan pemangku  hanya berdiam diri. Ketua PHDI Bali, Dr. IGN Sudiana pun menegaskan hal serupa. Sikap PHDI Bali jelas, tak ada pelanggaran sesana  bila sulinggih dan pemangku bicara politik, sepanjang yang dibicarakan adalah politik dharma. Ia juga menegaskan, sulinggih dan pemangku memang lebih dikenal dalam fungsi beliau sebagai pemuput  dan ngantebang banten. Itu memang satu diantara tugas dan kewajiban sulinggih  dan pemangku.  Bicara kebenaran, meluruskan yang bengkok dengan landasan sastra-sastra agama, merupakan tugas dan kewajiban yang tak kalah pentingnya. Apalagi di jaman seperti sekarang, ketika problem sosial kemasyarakatan semakin kompleks dan tidak mampu diselesaikan oleh walaka saja. IKA-MB