SUARA-SUARA yang minta PHDI Bali tidak hanya mengurus ritual dan filsafat, juga muncul dalam rekomendasi Lokasabha VI PHDI Bali, 15 April lalu. Dalam rekomendasi internal di bidang politik dan HAM, PHDI diminta terus mensosialisasikan bahwa politik yang benar adalah sesuatu yang mulia. Kendati praktek politikus kebanyakan kotor dan diwarnai contoh buruk, sejatinya politik itu mulia dan untuk kesejahteraan masyarakat. Karena itu, PHDI perlu menuntun umatnya agar memilih politisi-politisi yang memperhatikan PHDI, berpolitik diatas jalan dharma, bukan politisi korup dan mengabaikan rakyat. Ketika PHDI perlu dukungan politik untuk mempertahankan bhisama kesucian pura,  akan aneh bila politisi di DPRD justru cenderung melemahkan bhisama  ataupun berusaha menyingkirkannya.
            Politik yang benar itu kan  mendudukkan sejumlah elit di kursi kekuasaan agar mereka berjuang untuk kesejahteraan masyarakat., termasuk umat Hindu dan PHDI. Kalau mereka tak duduk untuk itu, atau awalnya berjanji seperti itu, tapi mengingkarinya, jangan pilih lagi kalau ia maju di pemilu berikutnya. Itulah hakekat politik yang seimbang antara hak dan kewajiban. Penegasan itu merupakan salah satu butir rekomendasi Lokasabha VI PHDI Bali.
            ‘’Jangan terus-terusan diajarkan bahwa politik itu kotor, bahwa masyarakat Bali itu baik karena apolitis. Padahal, dengan mengabaikan hak-hak politik yang baik itu, rakyat terus-terusan dibodohi, ditipu dan dicekoki dengan ajaran bahwa karena politik itu kotor tak jadilah mereka menuntut hak-haknya secara politis. Karena tidak menuntut, politisi jadi bebas berbuat apa saja, termasuk bebas tak perlu memperjuangkan hak-hak politik umat Hindu. Padahal dalam pemilihan, para politisi itu datang minta dukungan dan suara umat Hindu, tapi pas diminta memperjuangkan aspirasi, kok  ada wacana bahwa umat tidak perlu berpolitik, karena politik itu kotor,’’ ujar Putu Wirata Dwikora, ketua panitia pengarah yang juga Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat.
            Karenanya, ke depan, PHDI mesti berani menunjukkan ke umatnya, bahwa politikus yang mengabaikan PHDI dan umat Hindu, tak perlu dipilih. ‘’Jangan ketika ada umat Hindu diusir dari desa adat, ketika ada yang rumahnya disegel oleh massa desa adat, politikus pura-pura tidak tahu nasib warga. Padahal, ketika pemilihan, si politikus mengiba-iba  minta dukungan dan suara krama  adat’’ tambah Putu lagi.  Apalagi, kalau ketika kampanye menyatakan setia membela kelestarian alam Bali dan budaya Hindu, tapi ketika duduk di DPRD justru aktif menggerogoti bhisama  kesucian pura  dari Perda Tata Ruang.
            Pengurus PHDI yang aktivis LSM anti korupsi ini menilai, masih banyak gejala dimana politikus tak terlalu menganggap PHDI. Politikus seperti itu cenderung pragmatis dan ‘’membeli suara’’ ketika pemilihan umum. Tapi, kalau PHDI terus-terusan mensosialisasikan, agar umat jangan polih politikus yang tak peduli nasib umat Hindu dan keberadaan PHDI, ke depan PHDI dan umat Hindu pasti lebih diperhatikan.
            Ia menunjuk, bagaimana pemerintah provinsi Bali membantu gedung PHDI Bali, membantu program-program sosial untuk umat Hindu dan desa adat, yang tak lain merupakan konsekuensi dari kesadaran bahwa desa adat dan PHDI punya kekuatan untuk mengarahkan umat agar memilih politisi yang peduli. Pemprov Bali juga mengalokasikan bantuan sosial untuk upacara manusa yadnya seperti matatah massal dan ngaben massal, dengan jumlah ratusan juta sampai miliaran.
            ‘’Program pemerintah itu baik, asalkan dialokasikan secara merata, adil dan diutamakan untuk umat Hindu yang kurang mampu. Janganlah ratusan juta atau miliaran itu  dikonsentrasikan di satu tempat. Jangan pula diberikan untuk orang yang mampu, apalagi mengarah ke konstituten atau kelompok tertentu,’’ sambung Putu.
            Dia mengingatkan, bila pemerintah bertindak adil dan memperhatikan rakyat kecil secara proporsional, walaupun mereka belum bisa dinaikkan kesejahteraannya secara sosial ekonomi, mereka pasti menghargai pemerintah dan akan memilih politisi yang memperhatikan nasib mereka. SUT-MB