Longsor Banjarnegara

Jakarta (Metrobali.com)-

Di penghujung tahun 2014, Ibu Pertiwi kembali berduka dengan terjadinya bencana longsor di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah yang mengakibatkan banyak korban jiwa.

Peristiwa tersebut, menambah daftar panjang rentetan bencana alam yang terjadi di Indonesia.

Wilayah Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan Australia serta Lautan Hindia dan Pasifik memiliki sekitar 129 gunung api aktif, atau dikenal dengan “ring of fire”, juga terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia yakni Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.

Kondisi demikian menempatkan negara kepulauan ini berpotensi terhadap ancaman bencana alam.

Di sisi lain, posisi Indonesia yang berada di wilayah tropis serta kondisi hidrologis memicu terjadinya bencana alam lainnya, seperti angin puting beliung, hujan ekstrim, banjir, tanah longsor, dan kekeringan.

Tentang Longsor Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa selama tahun 2014 terjadi 1.136 kejadian bencana banjir, longsor dan puting beliung. Dampaknya 355 orang meninggal, lebih dari 1,7 juta jiwa mengungsi dan menderita serta lebih dari 25 ribu rumah rusak.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menegaskan bahwa longsor merupakan jenis bencana yang menyebabkan korban tewas paling banyak.

Berdasarkan “peta bahaya longsor” yang dihimpun oleh pemerintah diketahui bahwa sekitar 274 kabupaten/kota berada di daerah bahaya longsor dengan tingkat sedang hingga tinggi dan sekitar 124 juta penduduk terpapar oleh bahaya longsor dengan tingkat sedang hingga tinggi.

“Kawasan yang perlu mendapat perhatian khusus terhadap bencana longsor, adalah daerah yang memiliki topografi pegunungan dan perbukitan, contohnya Bukit Barisan dari Aceh, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Sumsel, Lampung. Jawa bagian tengah dan selatan dan Bali serta NTT, NTB, Maluku, Papua dan Sulawesi,” katanya.

Antisipasi Longsor Sutopo menambahkan, pemerintah melalui BNPB dan sejumlah kementerian/lembaga telah melakukan koordinasi untuk mengantisipasi terjadinya bencana banjir dan longsor di wilayah Indonesia.

BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) telah melakukan rapat koordinasi teknis antisipasi banjir longsor, juga menyusun Rencana Kontinjensi Nasional Menghadapi Bencana Banjir dan Longsor Tahun 2014/2015.

“Isi rencana kontijensi tersebut meliputi kebijakan, strategi, koordinasi, komando, upaya yang dilakukan, pengerahan sumber daya serta mendistribusikan peta rawan banjir dan longsor skala 1 : 250.000 kepada seluruh BPBD Provinsi di Indonesia,” katanya.

Sementara itu, BPBD Provinsi dan BPBD kabupaten/kota telah menyusun Rencana Kontinjensi Daerah Menghadapi Banjir dan Longsor dengan lebih detil, dan melakukan sosialisasi kepada pemerintah daerah dan masyarakat.

“Kementerian/Lembaga dan Pemda telah melakukan upaya pengendalian banjir dan longsor sesuai dengan tupoksinya, misalnya melakukan normalisasi sungai, pembangunan waduk, perbaikan tanggul dan pompa air. Gubernur dan bupati/walikota telah mengeluarkan Surat Pernyataan Siaga Darurat Menghadapi Banjir dan Longsor,” katanya.

Peringatan Dini Presiden Joko Widodo memerintahkan BNPB untuk memasang sistem peringatan dini di beberapa tempat rawan longsor salah satunya di Banjarnegara.

Senada dengan Presiden Joko Widodo, Agung Laksono yang pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) mengatakan pemerintah khususnya pemerintah daerah perlu segera membuat peta mengenai daerah yang kritis dan rawan bencana.

Agung menilai, dengan adanya peta bencana, maka masyarakat yang bermukim di wilayah yang menjadi “area rawan bencana” bisa menjadi lebih waspada.

“Terutama mereka yang bermukim di lereng-lereng yang rawan akan longsor,” katanya.

Peta tersebut, kata Agung, bisa dilakukan oleh pemerintah daerah yang dinilai paling memahami karakteristik wilayahnya.

Hal itu, kata Agung merupakan bagian dari mitigasi bencana untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari suatu bencana.

Sosialisasi Masyarakat Sementara itu, Akademisi dari Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Bayu Dwi Apri Nugroho, Ph.D menambahkan, musim kemarau yang panjang dan juga musim hujan yang terjadi pada musim kemarau adalah sebuah siklus iklim, yang disebut dengan fenomena El Nino dan La Nina.

Dia mencontohkan, pada bencana longsor Banjarnegara, hujan yang lebat menjadi salah satu faktor dominan dan hal tersebut terkait dengan fenomena iklim yang terjadi di Indonesia.

Dampak yang paling nyata dari fenomena El Nino, kata dia, adalah kekeringan yang terjadi di Indonesia, yang menyebabkan langkanya air di sejumlah daerah dan berakibat pada penurunan produksi pertanian karena tertundanya masa tanam.

Sedangkan dampak dari La Nina adalah banjir yang besar di Indonesia, yang juga menyebabkan gagal panen pada pertanian karena sawah yang tergenang air hujan.

“Kemudian dikaitkan dengan penjelasan tentang El Nino dan La Nina diatas, bahwa setelah terjadinya El Nino akan diikuti oleh terjadinya La Nina. Dengan terjadinya La Nina di tahun ini, dapat dipastikan bahwa intensitas hujan akan tinggi selama musim hujan ini dan akan terjadi musim hujan yang panjang sampai tahun depan,” katanya.

Karena itu, kata dia, harus ada peringatan dini atau “early warning” mengenai fenomena iklim tersebut kepada masyarakat sehingga bencana-bencana alam di daerah rawan lainnya bisa diantisipasi atau paling tidak bisa meminimalisasi korban akibat bencana tersebut. AN-MB 

activate javascript