DALAM Konstitusi UUD 1945, ditegaskan bahwa tugas Negara Indonesia adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Namun di sepanjang tahun 2012, agaknya tugas Negara dalam melindungi nasib “segenap anak bangsa” yang bekerja di luar negeri, masih jauh dari harapan. Di tahun 2012, masalah hukum yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di berbagai negara masih menjadi masalah utama. Ribuan warga Indonesia yang menjadi TKI, masih belum mendapatkan perlindungan secara maksimal dari negara.

DPP AAI, satu-satunya organisasi advokat yang konsern dalam mengadvokasi TKI, menilai bahwa perlindungan negara terhadap TKI masih jauh dari harapan. “Sepanjang tahun 2012, perlindungan TKI yang dilakukan pemerintah masih bersifat parsial, hal ini mengakibatkan negara dinilai tak memberi perlindungan maksimal terhadap TKI di luar negeri,” tegas Humphrey Djemat, ketua umum DPP AAI yang juga sempat menjabat sebagai Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) TKI yang dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dari gambaran tersebut, Humphrey memberikan banyak catatan terhadap masalah TKI yang terjadi sepanjang tahun 2012 tersebut. Beberapa diantaranya adalah pertama, di tahun 2012 berbagai masalah mengenai perlindungan TKI masih tetap menjadi sorotan utama. Banyak pihak menilai khususnya masyarakat perlindungan terhadap para TKI belum dilakukan secara maksimal didalam setiap tahap, yaitu tahap pengrekrutan, pra penempatan, tahap penempatan di luar negeri dan tahap purna penempatan.

Kedua, pemahaman perlindungan TKI harus dilihat secara konferensif, yaitu dilihat dari hulunya (Indonesia) dan kondisi di hilirnya (di negara penempatan),  “Jadi, perlindungan terhadap TKI tidak bisa dilakukan secara parsial atau sepotong-potong,” papar Humphrey.

Perlindungan terhadap TKI, sambung Humphrey lagi, yang dilihat dan dilakukan secara parsial mengakibatkan timbulnya penilaian masyarakat bahwa pemerintah tidak melakukan peranannya secara maksimal atau hadir melindungi nasib para TKI. Disamping itu, tidak dilakukannya pengrekrutan calon TKI sesuai standar peraturan, yaitu dengan umur yang tidak memenuhi ketentuan yang dianggap memadai ( 21 tahun), TKI yang unfit, serta pembekalan yang tidak cukup sebagai bekal untuk bekerja di negara penempatan menyebabkan timbulnya masalah-masalah pada saat bekerja di luar negeri.

Humphrey menggambarkan, kasus yang menimpa TKI Vitria Depsi Wahyuni yang terancam hukuman mati di Singapura karena membunuh majikan perempuannya yang berusia 80 tahun, membuktikan sistem rekrutmen yang bermasalah. Karena ternyata TKI Vitria saat bekerja di Singapura berumur 17 tahun, namun di pasportnya tercatat umurnya 23 tahun. Masih beruntung, akhirnya TKI Vitria lepas dari hukuman mati karena dianggap masih anak-anak dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.

Humphrey menjabarkan bahwa sinyalemen kasus di atas diperkuat oleh pernyataan Kepala BNP2TKI, Jumhur Hidayat yang menyatakan bahwa pangkal masalahnya ada pada pengrekrutan calon TKI berikut pelatihannya yang tidak sesuai prosedur dalam UU No. 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Itulah inti atau jantung persoalan TKI pada tahap pra penempatan.

Dikatakan Jumhur, setiap bulan 30.000-35.000 TKI PLRT diberangkatkan ke luar negeri, sementara kapasitas dari seluruh BLKLN hanya untuk melatih sekitar 15.000 calon TKI. “Ini berarti banyak TKI yang mendapatkan kopentensi sertifikatnya baik menyangkut kesehatan maupun kopentensi kerjanya berdasarkan jual beli sertifikat,” tukas Humphrey lagi menjabarkan.

Ketiga, masalah perlindungan TKI di negara penempatan khususnya di Arab Saudi dan Malaysia sebenarnya telah mendapatkan perhatian lebih serius dari pemerintah sejak dibentuknya SATGAS Penanganan Kasus WNI/TKI di luar negeri yang terancam hukuman mati (SATGAS WNI/TKI).  Sejak adanya SATGAS WNI/TKI yang dibentuk berdasarkan Keppres Presiden, telah dilakukan upaya perlindungan yang sangat progresif dan substansial disetiap perwakilan untuk memberikan perlindungan hukum yang maksimal bagi WNI/TKI yang terancam hukuman mati.

“Pemerintah telah menyediakan budget yang sangat besar dan tidak terbatas kepada KEMENLU untuk setiap perwakilan bisa menangani kasus WNI/TKI seperti penunjukan pengacara tetap (retainer lawyer)  untuk memberikan pendampingan sejak awal, unit kerja khusus disetiap perwakilan, dan catatan yang disebut buku besar yang bisa merekam seluruh permasalahan yang ada,” tutur Humphrey yang juga menjabat sebagai salah satu anggota Satgas TKI itu.

Keempat, Humphrey menjabarkan, justru dengan keterlibatan SATGAS WNI/TKI menghasilkan konsep yang jelas bagi perlindungan TKI di luar negeri sehingga terbentuk SOP (Standart Operasi Prosedur) di dalam menangani suatu masalah. Pada akhir masa tugasnya SATGAS WNI/TKI telah membebaskan 76 orang dari hukuman mati, yaitu : 24 orang di Saudi Arabia, 27 orang di Malaysia, 22 orang di RRT, 2 orang di Iran dan 1 orang di Singapura.

Kelima, namun demikian SATGAS WNI/TKI masih melihat perlunya perlindungan hukum yang dilakukan oleh negara penempatan khususnya Arab Saudi dan Malaysia, mengingat banyaknya tenaga kerja Indonesia di sana (di Arab Saudi diperkirakan minimal 1,5 juta orang, sedangkan di Malaysia minimal 2,5 juta orang). Perlu diketahui kedua negara tersebut belum mempunyai Undang – Undang atau peraturan yang mengatur perlindungan hukum bagi tenaga kerja di sektor informal. Di Arab Saudi tenaga kerja PLRT hanya berdasarkan kontrak yang dibuat diantara majikan dengan tenaga kerjanya yang diatur sepenuhnya oleh agen tenaga kerja swasta. Sama sekali di Arab Saudi pemerintahnya tidak ikut campur tangan di dalam masalah pekerjaan sektor informal.

“Bahkan di Malaysia selain tidak ada peraturan yang mengaturnya, pemerintahnya terlihat bersikap diskriminatif dan adanya pembiaran serta permisif pada saat TKI kita mengalami perlakuan semena-mena dan dilecehkan oleh masyarakat Malaysia,” tandas Humphrey lagi.

Terlalu banyak kasus di Malaysia yang bisa mendukung sinyalemen tersebut di atas seperti pemerkosaan 3 polisi Malaysia terhadap TKW Indonesia, tembak mati ditempat yang sering dilakukan terhadap orang Indonesia yang diduga sebagai pelaku kejahatan. Kakak beradik TKI asal Pontianak (Frans Hiu dan Dharry Hiu) yang dihukum mati sementara pelaku lainnya yaitu warga negara Malaysia dibebaskan dari hukuman.

“Kita perlu mempertanyakan hasil kunjungan Presiden SBY ke Malaysia baru-baru ini yang katanya agendanya membicarakan perlindungan terhadap TKI di Malaysia. Apakah ada jaminan dari pemerintah Malaysia untuk tidak melakukan tindak diskriminatif dan pembiaran,” tegas Humphrey lagi.

Selain itu, Humphrey juga mengatakan, Presiden SBY harus menjelaskan pembicaraannya dalam kunjungan ke Malaysia tersebut karena menyangkut nasib 2,5 juta orang Indonesia yang ada di Malaysia yang selama ini merasa tidak tenang dan suka diremehkan selama bekerja di sana, perlindungan TKI di Malaysia jauh lebih penting dari pada menerima gelar Doktor Honoris Causa.

Keenam, untuk masalah Perlindungan TKI pada tahap purna penempatan ternyata peranan konsorsium asuransi proteksi TKI sangatlah mengecewakan. Malah para TKI menjadi sapi perahan bagi pihak konsorsium asuransi. Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) bekerjasama dengan BNP2TKI memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma mendampingi para TKI yang bermasalah dalam mendapatkan klaim asuransinya. AAI mendapatkan bukti dilapangan ternyata para TKI tidak mendapatkan klaim asuransinya sebagaimana yang telah diperjanjikan kepada mereka baik berdasarkan peraturan Menakertrans maupun berdasarkan polis asuransi yang dibuat. Dengan berbagai macam alasan formal dan administratif klaim asuransi ditolak karena tidak membawa dokumen sebagai syarat kelengkapan dalam mengajukan klaim.

“Seharusnya pihak asuransi tahu bahwa para TKI itu berhasil pulang ke Indonesia dalam keadaan yang sudah sangat memprihatinkan. Semua dokumen telah diambil oleh majikannya, bahkan hanya tinggal baju dibadan yang bisa dibawa pulang,” tegas Humphrey.

Akhirnya kebanyakan klaim asuransi dari TKI bermasalah ditolak pihak asuransi dan hanya dibayarkan berdasarkan pertimbangan kebaikan dan kompromi pihak asuransi saja. Hal ini tidak mengherankan, melihat  jumlah uang yang diterima pihak konsorsium asuransi sudah mencapai 500 Milyar, namun para TKI hanya dibayar klaim asuransinya tidak lebih dari 50 milyar. Hal ini sungguh ironis, kebanyakan TKI mengharapkan uang klaim asuransi yang diterimanya dapat menjadi bekal hidupnya dan menghilangkan aib di mata keluarganya, sehingga timbul pertanyaan,  apakah sistem asuransi masih perlu dipertahankan karena tidak dirasakan manfaatnya sama sekali bagi para TKI.

Nah, melihat raport merah tentang perlindungan TKI tersebut di atas kiranya di tahun 2013 Presiden SBY perlu melakukan berbagai tindakan progresif, baik di hulu maupun sampai di hilir demi untuk melindungi TKI di luar negeri.

HARAPAN DI TAHUN 2013

Humphrey menjabarkan, tindakan progresif yang perlu diambil oleh Presiden SBY tersebut menyangkut hal-hal sebagai berikut :

* Mempertanyakan kepada Menakertrans komitmentnya untuk memperbaiki dan menyelesaikan masalah TKI selama 1 tahun yang diucapkannya pada saat sidang kabinet di tahun 2011. Janji adalah hutang, apabila Menakertrans dinilai tidak bisa memperbaiki nasib para TKI, itu yang terlihat di mata masyarakat saat ini seharusnya presiden mengganti Menakertrans dengan orang yang lebih cabable, berintegritas dan mempunyai komitmen yang kuat untuk pro TKI.

* Mempercepat revisi UU No.39 Tahun 2004 agar frasa perlindungan lebih ditonjolkan daripada penempatan disinilah peranan para advokat untuk memberikan perlindungan sejak pengrekrutan, pra penempatan, bahkan sampai purna penempatan.

* Memastikan tidak ada tumpang tindih tupoksi di antara BNP2TKI dengan Ditjen Binapenta, Kemenakertrans. Jadi, Kemenakertrans hanya sebagai pengawas pelaksanaan penempatan TKI, khususnya dalam pembinaan BLK hal tersebut guna menghindari dualisme dalam pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI.

* Perlindungan TKI di luar negeri sepenuhnya ditangani oleh Kemenlu melalui perwakilannya yang ada dan tetap menjalankan sistem yang telah diberikan oleh SATGAS WNI/TKI seperti pemakaian lawyer tetap, unit khusus dan catatan buku besar serta SOP.

* Sistem perlindungan dengan cara asuransi dihentikan saja karena tidak ada manfaatnya, dimana para TKI hanya menjadi sapi perahan untuk menjadi bajakan uang asuransinya oleh berbagai pihak termasuk pejabat pemerintah. Jangan sampai pemerintah secara tidak langsung dianggap sebagai perampok hasil keringat dan darah para TKI selama mereka bekerja di luar negeri.

* Moratorium di Arab Saudi tetap dilanjutkan, kecuali pemerintah Arab Saudi secara kongkrit memberikan perlindungan kepada tenaga kerja informal Indonesia. Bahkan kalau perlu moratorium seluruh TKI di Timur Tengah dilakukan karena adanya perdagangan manusia dengan pengiriman  TKI dari satu negara ke negara yang kena moratorium. Juga moratorium total kepada Malaysia terutama di sektor perkebunan kecuali pemerintah Malaysia bisa menghilangkan sikap diskriminatifnya, pembiaran, dan permisifnya terhadap tenaga kerja Indonesia.

Demikianlah Catatan Akhir Tahun 2012 terkait dengan Lemahnya Perlindungan terhadap TKI kita di luar negeri ini. DPP AAI sangat berharap agar jutaan nasib TKI kita di negeri orang bisa makin terlindungi oleh pemerintah di tahun 2013 mendatang. Karena tugas negara Indonesia, seperti termaktub dalam UUD 1945 adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia”. Namun dalam kenyataan yang terjadi, banyak anak bangsa yang mengadu nasib di luar negeri masih banyak yang terancam jiwa dan raganya dalam mencari sesuap nasi di negeri orang. Sampai kapan hal ini terus terjadi?

RED-MB