ilustrasi buruh

Jakarta (Metrobali.com)-

Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Muhammad Rusdi menegaskan bahwa persentase manfaat pensiun yang diterima pekerja sektor formal hendaknya disamakan dengan yang diterima para PNS, TNI/Polri dan para pekerja di BUMN.

“Artinya tidak boleh ada diskriminasi dalam pemberian manfaat pensiun, karena sejatinya para pekerja swasta juga sudah berkontribusi setiap bulannya dalam membayar pajak, sehingga wajib bisa hidup layak saat memasuki usia pensiun,” katanya di Jakarta, Kamis (4/9).

Anggota tripartit nasional unsur buruh itu menyatakan, mereka mendesakkan perjuangan itu sehubungan pada pukul 10.00 WIB di kantor Kemenakertrans dilaksanakan rapat pleno Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional yang akan membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Jaminan Pensiun.

Ia mengatakan bahwa sesuai amanah UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24/2004 tentang BPJS bahwa jaminan pensiun diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang pekerjaannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap.

Program jaminan pensiun (JP) itu, katanya, berbasis tabungan dan asuransi sosial.

Bagi peserta yang sudah mengiur selama kurang lebih 15 tahun, kata dia, maka si pekerja atau keluarganya akan mendapat manfaat berkala setiap bulannya sampai batas yang ditentukan.

Sedangkan bila masa iur pekerja kurang dari 15 tahun maka ia akan mendapatkan akumulasi iuran yang telah diiur, namun tidak mendapat manfaat berkala setiap bulannya.

Parameter hidup layak, lanjutnya, sebagaimana diatur dalam perhitungan kebutuhan hidup layak (KHL) harus dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya seperti kebutuhan makanan, minuman, pakaian, kesehatan, perumahan, transportasi dan pendidikan.

Muhamad Rusdi mengatakan bahwa besaran manfaat berkala yang diterima oleh pekerja ketika memasuki usia pensiun sebagai pengganti pendapatan yang hilang, tidak boleh jauh dari pendapatan sebelumnya yakni minimal 75 persen dari upah terakhir.

Ia mengemukakan bahwa sepertinya pihak pemerintah dan pengusaha akan tetap memaksakan besaran manfaat hanya 25 hingga 30 persen dari upah, di mana hal itu jelas tidaklah layak.

“Karena itu, kami mendesak agar manfaat berkala jaminan pensiun yang akan diterima pekerja swasta sebesar 75 persen dari upah terakhir yang diterimanya,” ucapnya.

Ia menjelaskan bahwa untuk mendapatkan manfaat sekitar 75 persen setiap bulannya maka iuran jaminan pensiun setidaknya sekitar 18 dari upah terakhir dengan perincian, pekerja mengiur 3 persen, pengusaha mengiur 22 persen dan pemerintah mengiur 3 persen.

Sementara itu, Sahat Butar Butar anggota LKS Tripartit Nasional yang mewakili FSP KEP KSPI mengatakan di beberapa BUMN dan perusahaan swasta yang selama ini telah menyelengarakan program jaminan pensiun secara sukarela sesuai dengan UU No. 11/1992 iurannya rata rata di kisaran 13-18 persen.

Sebagai pembanding, ia memberi rujukan di beberapa negara ASEAN seperti Vietnam, iurannya sebesar 20 persen, dengan perincian pekerja 7 persen, pengusaha 13 persen.

Di Tiongkok, iurannya sebesar 20 persen yang dibayarkan oleh pengusaha, di Malaysia sebesar 24 persen dengan perincian pekerja 11 persen, pemberi kerja 13 persen, dan di Singapura pekerja 20 persen, sedangkan pengusaha 16 persen.

“Iuran dari pengusaha (di kawasan ASEAN-red) rata rata di atas 13 persen,” ungkapnya.

Sahat menegaskan bahwa buruh menolak usulan dari pemerintah dalam draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Jaminan Pensiun yang hanya mengusulkan iuran sebesar 8 persen dengan perincian pekerja 3 persen dan pengusaha 5 persen dengan besaran manfaat berkala setiap bulan yang didapat para pensiunan hanya sebesar 25 persen dari gaji terakhir.

“Yang paling prinsip jaminan pensiun wajib dijalankan mulai 1 Juli 2015 dan bersifat wajib bagi para pekerja swasta/sektor formal,” tukasnya. AN-MB