Bupati Gde Agung Didaulat sebagai Nara Sumber Talk Show Hari Anti Korupsi Sedunia Bersama KPK RI

Mangupura (Metrobali.com)-

Serangkaian peringatan Hari Anti Korupsi (HAKI) sedunia yang dipusatkan di Gedung Graha Sabha Pramana Universitas Gajah Mada Yogyakarta sejak  selasa 9 hingga jumat 12 desember mendatang KPK menggelar Festival Anti Korupsi yang dibuka langsung oleh Presiden RI Joko Widodo, Selasa (9/12) . Guna turut berpartisipasi pada peringatan HAKI tersebut pemkab Badung memenuhi undangan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia  untuk mengikuti sejumlah kegiatan diantaranya Festival Anti Korupsi, Pameran Integritas (Integrity Expo) ,seminar Unit pengendali Gratifikasi (UPG) serta  Talk Show  Upeti, hadiah dan Gratifikasi ditinjau dari perspektif  budaya. Pada  acara Talk Show  yang dipandu oleh Ninda Nindiani. ini Bupati Badung Anak Agung Gde Agung didaulat sebagai Narasumber bersama Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas dan Budayawan Daerah istimewa Yogyakarta Kang Sobary,
Menurut Busyro Muqoddas dari 439 tersangka kasus korupsi selama ini , sebagaian  besar tergelincir terkait dengan Gratifikasi oleh karenanya melalui Talk Shwo ini  dari aspek hukum yang oleh pemberinya ada hubungan kepentingan dengan yang diberi terlebih pejabat negara atau PNS maka dalam waktu 30 hari dari pemberian tersebut harus sudah dilaporkan kepada KPK agar tidak terjadi permasalahan hukum.  dibagian lainnya Pimpinan KPK Busyro Muqoddas  juga memberikan apresiasi atas komitmen Bupati Gde Agung untuk  tegakkan Integritas sebagai benteng pencegahan korupsi.
“bahwa melihat korban yang ada karena tindak pidana korupsi Gratifikasi untuk mencegahnya KPK akan mencegah korupsi dengan berbasis keluarga, dan akan menjadikan Kabupaten Badung sebagai pilot Proyek pencegahan Korupsi berbasis keluarga.
Bupati Badung Anak Agung Gde Agung saat segment Talk Show bertemakan Upeti dan Gratifikasi tersebut mengungkapkan bahwa budaya pemberian  Upeti, hadiah ditinjau dari perspektif Budaya tidak semuanya berkonotasi negatif sebagai Gratifikasi. menurutnya dalam struktur sosial  masyarakat Bali bahwa sesuai dengan kultur masyarakat yang memiliki budaya terimakasih dan rasa syukur itu merupakan kearifan lokal yang adiluhung untuk  menjaga hubungan yang harmonis annntara manusia dengan sesama” menurutnya bahwa pemberian dalam konteks budaya ini terjadi karena terdapat ikatan Bathin yang sangat dekat. demikian pula dengan jaman kerajaan dan hingga saat ini masih berlaku dimana masyarakat degan kedekatan emosional ingin turut berpartisipasi sebagai bagian dari prosesi yadnya atau upacara. pemberian atau persembahan bagi masyarakat Bali  termasuk di Badung dalam berbagai kegiatan upacara Yadnya  dilandasi oleh ketulusan dan keikhlasan yang  dimaknai sebagai  persembahan yang sama sekali tidak meminta imbalan dan tidak ada konflik kepentingan jika dikaitkan dengan jabatan dan pemberian tersebut sepenuhnya dimanfaatkan untuk upacara . oleh karenanya menurut Gde Agung pemberian sebagai wujud partisipasi dalam sebuah upacara ini sesungguhnya dimaknai pula sebagai perekat tali silahturahmi dan memperkuat budaya Gotong Royong, oleh karenanya kearifan lokal yang ada  agar tetap dipertahankan dan jangan diintervensi oleh aturan yang akhirnya akan mengakibatkan nilai adiluhung ini menjadi sirna.” ujar Gde Agung
Sementara Kang Sobari dari sisi perspektif Budaya, bahwa pemberian itu mengandung suatu kekuatan simbolik tanpa kaitannya dengan jabatan, maka pemberian ini terkandung simbul simbul yang teramat mulia sepanjang dilakukan secara pribadi tanpa terkait dengan penyalah gunaan kewenangan  dan tidak terjadi kerugian negara maka ini tidak akan menjadi masalah hukum,
“dari sisi budaya dimana Raja yang selalu penuh dharma ini segala pemberian dari Rakyat dan kadipaten lain ini oleh raja tidak dimanfatkan untuk kepentingan pribadi namun untuk dikembalikan kepada rakyatnya yang tidak mampu, dan ini merupakan wilayah privat. ” pungkasnya. RED-MB