Ilustrasi Habis dimakan Investor
Oleh: Ngurah Karyadi

Tulisan karakatur ini mungkin hanya mimpi penulis. Dalam kisah “Bukan Suksesi Tanah Jawa”, penulis bayangkan suksesi kekuasaan di negeri ini, yang keluar dari cerita masa lalu, Babad Tanah Jawi. Setidaknya dapat melampui kisah politik bengis, penuh tipu-menipu dan korupsi, yang datang silih berganti.

Kisah ini bermula, ketika Soekarno, sang proklamator, saat terbaring sakit di Wisma Yoso, memberikan pesannya yang terakhir. Lewat Supersemar, dia menetapkan bahwa salah seorang Jendral, Soeharto, untuk sementara berperan pulihkan keadaan. Bung kita ini berujar lirih: “Segenap rakyatku hormatilah pengganti sementaraku, dalam memulihkan keamanan dan ketertiban.” 

Dalam versi catatan resmi, tidak banyak dikisahkan bagaimana wujud surat tersebut aslinya. Sang proklamator keburu wafat, dan tanpa suasana perkabungan “kenegaraan” yang pantas. Hanya cerita samar-samar, dan diungkap selintas para guru sejarah. Sangat tragis perlakuan bangsa ini, bahkan kepada mereka yang berjuang untuk kemerdekaan bangsanya.

Sang pemangku Supersemar, Soeharto tak menyiakan kesempatan itu, dan mengumumkan kepada khalayak ramai: “Wahai orang-orang di segenap belahan Indonesia, ketahuilah bahwa kini (disampaikan samar: untuk sementara) saya bertakhta menjadi penguasa negeri ini. Hai segenap sejawat dan rakyatku, siapa yang tidak setuju, mengamuklah, aku ini lawanmu.” 

Mendengar itu, orang-orang ketakutan, terlebih di Bali. Kata “culik, gigit dan cekik”, tidak lagi berarti tempat atau wilayah. Mereka yang tertangkap menjadi penghuni tetap “Gulag” rezim di pulau Buru, Nusa kabangan dan sejenisnya. Tampaknya bibit-bibit ketegangan dan teror menjadi modal kekuasaan ini. Baru terkuak setelah sejumlah Jendral yang lebih tua, yang tak datang dan mengambil jatah dari penguasa baru, namun justru bersikap kritis dalam berbagai ‘petisi’ kepada Soeharto. 

Tidak ada kata damai: penguasa baru tak cukup bijaksana, bahkan gemar mengumbar kekerasan, sepanjang 32 tahun kekuasaanya. Diawali dengan mengajak seniornya, Jendral Nasution, melihat apa yang disebutnya “kekejaman PKI” di Lubang Buaya, dekat markas Angkatan Udara, Halim Perdana Kusuma. Kunjungan yang seakan memberi peringatan: “Nasibmu tak ingin berakhir seperti ini, toh?” 

Zaman tentrem kerta raharja seolah terjadi. Tapi tak lama. Dari Aceh, orang yang kemudian disebut Teuku Cik Ditiro, menyatakan kedaulatannya sendiri. Aceh ingin lepas. Tak ayal, perang pun terjadi. Babad Tanah Jawa seakan berulang, bala tentara Indonesia bergerak ke utara. “Dilihat dari kejauhan seperti laut tanpa tepi, diseling gunung terbakar.” Ribuan bedil dan meriam kadang-kadang tampak seperti kilat, kadang-kadang seperti sinar pelangi.

Pertempuran tak seimbang digelar dan dipertotonkan luas, lewat TVRI -milik negara. Terpojok, Teuku melawan dengan berani. Ia sakti, demikian cerita Babad Tanah Rencong, dan sempat membunuh banyak prajurit TNI. Tapi akhirnya ia kalah, dan lari minta suaka ke luar negeri. Aceh pun ditaklukkan. 

Sang Jendral tak langsung menghukum mati mereka yang memberontak itu. Ia hanya menangkap dan mengadili antek-anteknya. Tapi konflik tak berakhir. Sang Kecik pun ‘ditiru’ di Papua, dimana para kepala suku juga melawan. Namun segera dapat dijinakkan, dengan limpahan uang, perempuan dan minuman keras. Kemudian, Indonesia melancarkan perang baru, perang penaklukan ke Timor-Timur. 

Sampai jilid terakhir episode Orde Baru, yang dipublikasi secara internasional, 21 Mei 1998, aroma itu tetap kental. Sang kekasih hati, Habibie selaku suksesor Soeharto idem ditto -menyisakan lautan api, darah, dan air mata saat meninggalkan Timor-timor. Ada jeda sejenak, saat Gus Dur tinggalkan istana dengan hanya berkolor -meski punya pasukan berani mati. Namun tak lama -bangkit lagi dengan aroma baru: Terorisme. Mulai menapak jejak di saat Megawati, dan dilanjutkan di masa SBY, lengkap dengan segala jenis bencana alam yang mahadasyat.    

Kini, dalam Bukan Suksesi Tanah Jawa ini, kita mesti menandai babak baru dengan tampilnya figur muda seperti Jokowi yang Jawa, dengan kombinasi dengan Jusuf Kalla, yang senior namun bersemangat “lebih cepat, lebih baik”. Di sisi lain ada Prabowo, dan Hatta Rajasa, sebagai figur yang dianggap status quo dan punya jejak rekam ‘ingatan’ buruk masa lalu. Apalagi menyapa publik dengan: “Piye kabare, enak zamanku, toh?” Sementara, publik berharap, akan suksesi di “Tanah Nusantara” sebagai sebuah kosmos yang damai dan tanpa konflik yang berarti. Meskipun, ancaman pergolakan dan kekerasan tetap mengintai, serta patut diwaspadai.

Dalam kontestasi ini, para Capres/Cawapres plus tim suksenya, mencoba menggali “mitologi, legenda, folklor” dalam merebut dan mempertahankan kuasa. Kisah Wali, Arok, Diponogoro, dan sejenisnya pun seakan bangkit dari kuburnya. Meski disana-sini menunjukkan sebuah perspektif yang modern: melihat sejarah sebagai kisah yang menampik sifat sakral kekuasaan. Takhta selalu bersifat sementara. Babad ini boleh dikatakan versi lain dari riwayat raja-raja yang bangun dan jatuh. Suksesi dengan sebagai sesuatu yang alamiah, dan tanpa kekerasan 

Di masa lalu, penguasa, dan para pecundang di sisi lain, selalu menyebut “kehendak Tuhan” ketika mereka memilih sebuah tindakan. Sejak kudeta Arok, gerakan Ratu Adil,  Imam Mahdi, sampai teror Imam Samudra. Tapi hanya sejenak Tuhan hadir. Hanya dalam momen itu, hanya dalam ucapan itu. Selebihnya: Manusia. 

Kini, manusia Indonesia mesti tampil menunjukkan bahwa ada sesuatu yang transendental di dasar “harmoni” sosial di negara ini. Abaikan kepentingan status quo sebelum, saat atau sesudah pertarungan politik. Namun, ”pertarungan yang mencoba mengungkap apa adanya.” Meski tetap menyisakan ‘bayang tak berwajah’ kekerasan masa lalu. 

Dari segi ini, dalam mengulas Bukan Suksesi Tanah Jawi ini, penulis hanya ingin memperlihatkan bahwa sejarah kekuasaan (tidak) selalu bersifat serba mungkin, penuh risiko, dan genting. Namun suatu politik yang tepat, laku dengan sikap tertentu, terutama yang berani dan cerdik. Semua itu bisa dipelajari dan didapatkan siapa saja. 

Dengan kata lain, kekuasaan sebagai  sang penentu bisa didapatkan siapa saja. Sebuah tempat kosong, atau “un lieu vide,” kata orang Prancis. Karena tak ada yang sudah niscaya mengisinya. Satu tempat yang diperebutkan, bukan warisan sepanjang zaman. Cara pandang itu harus kita akhiri -hari ini bila perlu. 

Tentu saja kata “tempat kosong” bisa menyesatkan. Takhta sebagai “tempat” sama sekali tak kosong, meskipun ketika tidak ada seorang pun yang duduk di sana. Takhta mengandung sebuah pesona, mungkin candu, juga banyak hal yang edan, najis dan destruktif. Kita wajib “eling lan waspada,” kata Ronggowarsito, mengingatkan. 

Lewat Bukan Suksesi Tanah Jawi, penulis mencoba memperlihatkan bahwa takhta sebagai wilayah kosong, dan tak jarang penuh najis, yang selalu diperebutkan. Sekaligus hendak mengingatkan tentang, tak adanya monopoli kuasa yang dapat dipegang selama-lamanya. Tak ada hak istimewa untuk itu. Tak ada legitimasi terus-menerus.

Bahkan jika dibaca lebih jauh, akan kita ketahui bahwa asal-usul raja-raja bermula dari campuran antara takdir dan kebetulan dalam kehidupan rakyat biasa. Ayah dari Panembahan Senapati ”yang sebelum naik jenjang bernama Sutowijoyo” adalah seorang petani, Ki Ageng Pemanahan. Begitu pula dengan Arok, atau pun Soekarno. Para tokoh yang tanpa disengaja minum, makan atau mendapat “sesuatu,” yang mengandung “nasib baik”. 

Konon di negeri lain, katakanlah di Jepang, Prancis atau China sebelum Revolusi, mereka yang bertakhta dianggap tubuh yang sebagian berisi roh dari langit. Begitupun tertuang dalam Babad Tanah Jawi. Namun, Bukan Suksesi Tanah Jawa ini, sebaliknya. Akan lebih meyakinkan bila kita tampilkan Soeharto, dan para pemujanya, bisa buas dan sangat tamak -meski selalu tampil sebagai Sang Bapak.

Sangat aneh bila dikatakan bahwa cerita lama penguasa Jawa dan belahan Nusantara lainya itu mengajari kita wawasan demokrasi. Demokrasi lokal, atau apapun sebutanya hanya isapan jempol. Bagaimana pun juga, mudah-mudahan semangat demokrasi tumbuh.  Sekaligus sadar, bahawa tiap kekuasaan politik pada akhirnya bukan kemenangan yang gilang-gemilang dan abadi, namun jatuh bangun.