Seratusan budayawan, agamawan, dan kelompok warga menyerukan persatuan bangsa usai pemilihan presiden dalam peringatan 111 tahun Hari Kebangkitan Nasional, Senin (20/5), di Bandung. (Foto: VOA/Rio Tuasikal).

Pemilu 2019 tak bisa dipungkiri telah menimbulkan polarisasi di masyarakat. Karena itu, ratusan budayawan dan agamawan mengambil momen Hari Kebangkitan Nasional untuk menyerukan persatuan.

Seratusan budayawan, agamawan, dan kelompok warga menyerukan persatuan bangsa usai pemilihan presiden. Seruan itu disampaikan dalam peringatan 111 tahun Hari Kebangkitan Nasional, Senin (20/5) sore, yang digelar di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung.

Polarisasi selama pilpres itu sangat dirasakan di masyarakat, ujar Tuti Ekawati. “Kondisinya beda dengan waktu-waktu kemarin yang adem-adem. Sekarang tuh istilahnya lagi rawan kondisinya,” ujarnya yang merupakan perwakilan penghayat kepercayaan.

Tuti mengatakan, suasana kebersamaan terasa mulai luntur. Hal ini harus segera dikembalikan seperti semula.

“Diraba tuh susah, tapi perasaan tuh udah lo-lo gua-gua, udah nggak ada rasa kebersamaan, itu susah. Ya mungkin ini dampak dari kemarin pemilu dan ternyata tidak semudah untuk cair kembali,” ujar penganut Budidaya ini.

Acara “Menjadi Indonesia (di) Nusantara” dimulai dengan menjahit bendera Merah Putih raksasa yang jadi simbol bersatunya bangsa. Sejumlah seniman juga membuat karya lukis yang mencerminkan harapan mereka.

Warga pengunjung ikut melukis mural dalam peringatan 111 tahun Hari Kebangkitan Nasional, Senin (20/5/2019), di Bandung. (VOA/Rio Tuasikal)
Warga pengunjung ikut melukis mural dalam peringatan 111 tahun Hari Kebangkitan Nasional, Senin (20/5/2019), di Bandung. (VOA/Rio Tuasikal)

“Kita ingin memaknai peristiwa bersejarah itu dalam permenungan, di dalam kerinduan kita sebagai sesama anak bangsa. Di tengah begitu banyaknya tarik menarik politik di elit, kita ingin berkumpul dan berdoa bersama, mengharapkan situasi ini berjalan damai,” ujar seniman yang turut serta, Hary Ponchang, kepada VOA di sela-sela acara.

Persatuan Lebih Penting Ketimbang Hasil Pemilu

Di samping memperingati Hari Kebangkitan Nasional, aksi ini juga merespon ketegangan politik di masyarakat. Sebagian elit politik telah berupaya mendelegitimasi KPU sejak penghitungan suara menunjukkan Jokowi-Ma’ruf unggul. Para politisi ini, yang terhubung dengan kubu Prabowo-Sandi, juga menyerukan ‘people power’ yang mengajak masyarakat turun ke jalan menolak hasil pemilu.

Menanggapi situasi itu, kelompok budayawan dan warga menyatakan, pesta demokrasi sudah selesai pada 17 April 2019. Penghitungan suara menjadi kewenangan penuh KPU.

“Kalau masalah yang ada di Jakarta dan sebagainya, kita ketahui bahwa itu adalah proses politik demokrasi yang memang memiliki tantangan bagi bangsa kita sendiri,” tambah Hari.

KPU telah mengumumkan hasil rekapitulasi suara pilpres pada Selasa dini hari, sehari lebih cepat dari tenggat. Dalam pengumumannya, KPU menyatakan Jokowi-Ma’ruf unggul dengan 55,5 persen dan Prabowo-Sandi dengan 44,5 persen.

Namun, Hari menekankan, persatuan sebagai bangsa jauh lebih besar nilainya ketimbang pemilu.

“Tapi kami yakini bahwa apabila kita ingat kembali titik berangkat kita, bersepakat jadi sebuah bangsa dengan segala keberagaman, tentu kita harus memaknai bahwa apa yang kita ributkan hari ini itu jauh dari apa yang jadi cita-cita kemerdekaan kita,” pungkasnya.

Hal senada disampaikan Tuti. Dia berharap, pihak-pihak yang kecewa dengan hasil pemilu bisa menempuh cara-cara di dalam koridor hukum.

“Tidak sejalan dengan cita-cita bangsa, istilahnya kita tuh berdemokrasi harus sesuai dengan konstitusi, harus mengekspresikan sesuatu itu ada jalurnya,” katanya menanggapi upaya mendelegitimasi KPU.

Rangkaian acara enam jam ini, diisi sejumlah penampilan seni dan orasi kebudayaan. Antara lain monolog Soekarno yang dibawakan Wawan Sofwan dan orasi dari Mudji Sutrisno. Para tokoh lintas-agama juga membacakan doa yang menyerukan persatuan.

Lokasi Gedung Indonesia Menggugat (GIM) di Bandung dipilih karena jadi saksi sejarah Soekarno menyampaikan pledoi ‘Indonesia Menggugat’ ketika disidang oleh pengadilan kolonial Belanda. Peristiwa pada 1930 dianggap jadi salah satu tonggak yang mengantarkan Indonesia merdeka 15 tahun setelahnya. [rt/em]

Sumber : VOA Indonesia