BALI sangat kaya dengan keragaman seni budaya. Mulai dari kesenian wali, bebali dan balih-balihan. Kesenian wali (seni pertunjukan sakral) yang hanya dilakukan saat ritual pemujaan, dan kesenian bebali pertunjukan yang diperuntukkan untuk upacara, tetapi juga bagi pengunjung, serta kesenian balih-balihanyang sifatnya untuk hiburan belaka di tempat umum. Klasifikasi ini dilakukan oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Bali tahun 1971 silam. Sebagai upaya merespon perkembangan pariwisata Bali seiring gejolak modernisme budaya global yang semakin merambah denyut nadi kehidupan berkesenian yang sifatnya sakral. Demi upaya mengapresiasi antara peluang dan tantangan, serta membedakan batasan antara kesenian persembahan yang sakral dengan kesenian hiburan yang profan.

Kesenian Bali sangat sarat dengan simbol, dan filosofi yang menjadi cermin bagi masyarakat dalam menemukan jalan kehidupan yang lebih baik dan menyejahterakan. Selain itu, juga mengandung muatan pengajaran idealisme, imajinasi, etika dan moralitas yang bernafaskan ajaran Hindu yang sangat religius spritualis dalam nuansa magis, sehingga memiliki kekuatan adiluhung kesucian ruh dan taksu yang mendunia. Artinya, para penarinya (pragina) diberkati ataupun dianugrahi kekuatan transformatif yang mahasuci dari-Nya (Tuhan) berupa taksu dalam penampilannya di atas panggung.

Dengan kata lain, penari yang metaksu, karena diyakini mampu tampil dengan kualitas terbaik dari suatu karya seni baik musik, tari maupun teater. Seni pertunjukan Bali sempat menapaki masa kejayaan atau masa keemasan dalam era 1920-an hingga 1930-an silam. Dan, tragisnya mengalami keterpurukan saat terjadinya Bom Bali 2002 lalu, yang meluluh-lantakan gairah industri pariwisata Bali. Hingga saat ini, kepariwisataan Bali pun semakin terpuruk dan tidak mampu bangkit lagi seperti masa sebelum terjadinya tragedi ledakan Bom Bali 2002, yang sangat mengerikan dari sisi kemanusian dan mencederai semangat perdamaian dunia.

Ketua Listibiya Bali, Drs. I Gusti Putu Rai Andayana, mengakui kesenian Bali yang dikonstruksi para seniman Bali secara kreatif dan inovatif pada umumnya lebih dominan diperuntukan sebagai sebuah persembahan kepada kemuliaan Tuhan, sebagai wujud bakti dan rasa syukur atas anugrah dan rahmatnya. Terlebih lagi, seni tradisional ini mengajarkan filsafat keseimbangan antara kebutuhan jasmani-rohani sebagai sumber kebahagiaan. Di mana keseimbangan antara kebutuhan badan, kebutuhan sosial dan spiritual itu merupakan implementasi dari konsep Tri Hita Karana.

Namun, katanya, seiring waktu bergulir kesenian Bali terus berkembang dalam beragam komodifikasi pertunjukan seni budaya termasuk sebagai tontonan pariwisata (turistik). Awalnya, perubahan itu memang dapat berjalan dengan baik, tapi seiring waktu bergulir dengan gemerlapnya pariwisata Bali, beragam gejolak pun muncul melanda denyut nadi kehidupan kesenian Bali. Hingga keberadaan kesenian Bali merasa semakin terancam dan tergerus arus negatif budaya global. “Ini terjadi karena para pengelola tontonan pariwisata cenderung mengabaikan dan tidak mampu memuliakan hak-hak seniman dan karya kreatifnya secara layak dan memadai,” jelasnya.

 

Broker Seni Turistik

Beranjak dari fenomena globalisasi kekinian dan tragedi Bom Bali 2002, kebutuhan akan kesenian Bali sebagai pertunjukan dalam industri pariwisata (turistik) semakin surut dan merosot tajam. Ironisnya, seiring dengan itu muncul para broker (asosiasi dan makelar) seni yang menawarkan kesempatan pentas kepada para sekaa atau sanggar kesenian Bali. Celakanya, karena terbentur kepentingan finansial ekonomis, banyak seniman berlomba-lomba dan bahkan rela dibayar murah agar dapat tampil di hotel. Pada umumnya sudah menjadi rahasia publik para broker seni ini mendapatkan bayaran yang lebih besar daripada senimannya, sebagai komisi yang berkisar antara 20-25 persen dari bayaran yang ditawarkan sebagai upah oleh pihak hotel atau pengelola tontonan pariwisata.

Tak pelak, demi menghemat biaya operasional dan agar tetap bisa tampil di hotel, para sekaa atau sanggar kesenian Bali ini pun rela naik truk sebagai alat transportasi seniman dan kelengkapan pementasannya. Selain itu, beragam komodifikasi kesenian Bali yang disajikan pun cenderung tidak berkualitas dan terkesan sekadarnya. Akibatnya, posisi tawar para seniman dihadapan pengusaha pariwisata pun menjadi semakin rendah. Ini ditandai dengan adanya persaingan dalam menurunkan harga di antara sekaa atau sanggar kesenian Bali.

Memang ada segelintir hotel dan pengelola tontonan pariwisata yang berupaya menghormati dan memuliakan para seniman dengan menyajikan seni pertunjukan tradisional berkualitas dan ruang kreativitas tersendiri yang cukup memadai dan representatif. Di mana para sekaa atau sanggar kesenian Bali yang dilibatkan dibayar secara layak dan lebih tinggi serta para tamu pun mengapresiasi tampilannya dengan serius karena disajikan bukan saat acara makan-makan. Tapi, dalam kenyataan sekarang ini secara dominan tingkat kesadaran pihak hotel dan pengelola tontonan pariwisata untuk memuliakan seniman Bali masih sangat rendah dan sedikit. Terbukti masih ada sekaa atau sanggar kesenian Bali mengangkut seniman sekaligus perlengkapan pentasnya memakai kendaraan angkutan barang atau truk. Sungguh sangat ironis bukan.

Komposer Bali, Kadek Suardana, yang alumnus Sekolah Konservatorium Karawitan (Kokar) Bali bahkan menegaskan bahwa ketika kesenian sudah dijual murah, maka dapat dipastikan tidak lagi bisa berbicara tentang kualitas. Karena, kualitas acapkali hanya diukur dengan budget atau bayaran yang telah ditentukan ataupun disepakati. Dampaknya, secara menyeluruh kualitas kesenian Bali sebagai tontonan pariwisata cenderung semakin merosot tajam. “Sehingga kesenian Bali pun dianggap semakin kehilangan vitalitas dan kemurnian kekuatan adiluhung dari kesucian ruh dan taksu Bali,” sentilnya.

Sanksi Hukum Seni Turistik

Maraknya broker seni turistik hingga menciptakan persaingan yang tidak sehat antara sekaa atau sanggar kesenian Bali selama ini merupakan bentuk lain dari kelemahan dan ketidakmampuan para elite politik penguasa pemangku kebijakan untuk menegakkan aturan hukum secara tegas dan berkeadilan tanpa pandang bulu. Dalam upaya memuliakan tata nilai adiluhung kekuatan ruh dan taksu Bali, yang dipancarkan melalui kreativitas seni budaya dalam pertunjukan seni terutama tontonan kesenian pariwisata (turistik). Di samping itu, memang sinergi antara dunia pariwisata dengan proses kreativitas para seniman acapkali saling berjarak, karena dipicu kapitalisme global yang cenderung mementingkan keuntungan (profi) finansial ekonomis semata.

Para seniman acapkali menggadaikan dan bahkan rela “melacurkan” kreativitas kreatif seninya dengan merendahkan harga dirinya hanya untuk dapat tampil di hotel demi memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya. Dan, celakanya kesempatan itu justru dimanfaatkan oleh para broker seni dan pihak hotel serta pengelola tontonan pariwisata untuk mengeruk keuntungan setinggi-tinggi. Hal ini terjadi karena lemahnya sanksi hukum yang dapat menjerat para pelaku tindakan yang tidak terpuji tersebut. Makanya, para broker seni dan pengelola tontonan pariwisata selalu merasa aman dan nyaman dalam melakoni profesinya, karena merasa sangat dibutuhkan dan selalu dicari oleh para seniman yang ingin mendapatkan peluang dan kesempatan tampil di hotel menghibur para turis baik domestik maupun mancanegara.

Menyikapi fenomena itu, sudah semestinya pemerintah melalui instansi terkait di bidangnya termasuk Dinas Kebudayaan (Disbud), dan Dinas Pariwisata (Dispar), serta Listibiya Bali, termasuk kontrol sosial masyarakat secara proaktif melakukan pengawasan, sekaligus memberikan dukungan dan bimbingan kepada para sekaa atau sanggar kesenian Bali agar meningkatkan mutu dan kualitasnya, serta tidak mudah tergerus arus negatif kepentingan kapitalisme global dari pariwisata Bali. Artinya, pemerintah dalam hal ini Listibiya Bali tak cukup hanya memberikan lisensi atau labelisasi sekaa atau sanggar kesenian Bali dengan sertifikat Pramana Patram Budaya semata. Melainkan justru harus mampu tampil terdepan dalam membela kepentingan para seniman dengan meningkatkan kesejahteraannya dan melindungi hak-haknya dengan pembuatan perangkat aturan hukum yang jelas dan sanksi yang lebih berat beserta penegakan hukum secara tegas serta berkeadilan tanpa pandang bulu.

Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, sempat mengatakan memang kesejahteraan seniman masih rendah. Ini karena komponen pariwisata Bali masih belum mampu menghargai seniman dengan upah yang layak saat tampil dalam pementasan turistik di hotel berbintang. Makanya, seringkali keberangkatan para seniman saat datang dan pergi dari hotel memakai kendaraan truk. Bahkan, pihak hotel juga tidak menyediakan tempat khusus untuk berhias. “Selain upah yang diterima rendah, juga kalangan hotel tidak menyediakan fasilitas yang memadai bagi seniman Bali,” sesalnya. Padahal, pihaknya telah berkali-kali mengingatkan agar kalangan hotel dan pengelola tontonan pariwisata untuk lebih peduli dengan keberadaan seniman yang tampil menghibur turis baik domestik maupun mancanegara di hotel berbintang.

Sementara itu, Kepala Disbud Bali, I Ketut Suastika mengakui telah menindaklanjuti maraknya seniman turistik naik truk bersama Dispar Bali dengan instansi pemerintah terkait lainnya untuk menguatkan perangkat aturan hukum dan sanksi lebih berat bagi pihak hotel dan pengelola tontonan pariwisata yang mengabaikan hak-hak seniman secara layak dan memadai baik dalam bentuk pelayanan saat tampil maupun pemberian standarisasi profesional upah yang lebih proporsional dan menyejahterakan. Tak hanya itu, para seniman pun dapat dikenakan sanksi tegas jika menyajikan pertunjukan seni budaya yang tidak layak atau tersertifikasi Pramana Patram Budaya. “Jadi upaya yang terpenting dan harus dilakukan saat ini adalah proses penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan tanpa pandang bulu,” tegasnya.

Politik Seni Turistik

Pada era globalisasi kekinian, dalam kenyataan empirik telah menjadi konsekuensi logis dari konstruksi industri pariwisata budaya menjadi fenomena yang selalu menggiurkan. Sayangnya, konstruksi budaya yang dibangun cenderung dalam arti sempit sebagai barang dagangan. Tak hanya itu, energi kreasi seni beserta kompleksitas spirit dan teknis gerak pragina (seniman) bahkan secara perlahan telah mengalami degradasi nilai dan makna karena dikotomi politik pariwisata budaya.

Hal ini mengingat dunia pariwisata merupakan dunia perdagangan, bisnis ekonomi, juga politik dan lahan perebutan kekuasaan dan prestise. Di mana uang adalah tujuan utamanya. Karena itulah, beragam sektor yang bersentuhan dengan dunia pariwisata dipaksa harus mampu beradaptasi dengan kondisi tersebut. Namun, semestinya bukan berarti harus kehilangan identitas dan jati diri. Makanya, pariwisata budaya harus mampu dikonstruksi secara lebih berkeadaban, sehingga seniman sebagai indikator utama dari konstruksi seni budaya Bali dalam industri pariwisata Bali dapat menciptakan karya kreatif dan inovatif unggulan dan berkualitas yang sarat nilai dan makna secara profesional. Jangan sampai perkembangan pariwisata menimbulkan krisis lingkungan, identitas dan krisis nilai budaya Bali. Jadi politik seni turistik harus lebih perkuat dengan kebijakan yang lebih memihak kepada kepentingan seniman.

Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S, mengakui memang perkembangan pariwisata budaya sarat akan dampak negatifnya jika tidak diantisipasi secara cermat dan tepat. Makanya, semua komponen kekuatan pariwisata seperti pebisnis pariwisata, broker, kapitalisme, globalisme dan pemerintah harus bersinergi dengan seniman dalam meneguhkan identitas dan jati diri bangsa demi meraih kemanfaatan persaingan secara mendunia.

Untuk itu, katanya, pariwisata Bali dituntut harus mampu menciptakan politik seni turistik yang bermartabat dan lebih berkeadaban. “Sehingga denyut nadi kehidupan kreativitas berkesenian para seniman Bali terus bergairah dengan melahirkan karya cipta seni unggulan dan berkualitas secara profesional,” tegasnya.

Sementara itu, guru besar ISI Denpasar, Prof Dr. I Wayan Dibia, menegaskan bahwa dedikasi, loyalitas dan komitmen dari para elite politik penguasa pemangku kebijakan merupakan kunci utama dalam mengatasi persoalan rendahnya kesadaran pihak hotel dan pengelola tontonan pariwisata terhadap upaya memuliakan pertunjukan seni budaya turistik yang telah terjadi selama ini. Kenapa ? Karena mereka merupakan penggerak sekaligus eksekutor dari setiap kebijakan yang mengayomi kepentingan khalayak publik, masyarakat luas tersebut.

Lebih jauh, diakuinya, perlu adanya diplomasi politik secara lokal, nasional, maupun internasional dalam upaya membangkitkan kembali kesadaran, empati, dan apresiasi publik terhadap penguatan kekuatan adiluhung dari kesucian ruh dan taksu kebudayaan bangsa yang berbasis kearifan budaya lokal Bali. “Jadi gerakan diplomasi politik seni turistik harus berorientasi kepada upaya strategis membela kepentingan hak para seniman secara lebih berkeadaban dan berkelanjutan dalam industri pariwisata dunia,” tegasnya.  * Nyoman Wija