Jakarta (Metrobali.com)

Jika ada formula yang paling tepat untuk mempertahankan daya beli masyarakat miskin agar tetap baik saat pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) diterapkan, boleh jadi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) menjadi jawaban terbaik.

Bantuan itu mungkin saja akan menjadi skema yang paling adil dalam hal pengalihan subsidi dari mobil-mobil mewah kepada masyarakat miskin sepanjang penyalurannya tepat sasaran, bermartabat, dan tidak ada bagian yang terkorupsi.

Hal serupa pun pernah diterapkan dan bahkan menuai sukses di sejumlah negara maju dalam hal menjaga kelompok miskin agar mampu bertahan menghadapi ancaman inflasi tinggi.

Indonesia sendiri pernah menyalurkan bantuan serupa saat kenaikan harga BBM bersubsidi dilakukan beberapa tahun silam.

Pro dan kontra tetap saja menyeruak baik dulu maupun kini, isu kekhawatiran terkorupsi lantaran rumitnya penyaluran pun menyeruak di samping isu lain mulai dari membuat masyarakat untuk tidak mandiri sampai pada kecurigaan kepada “incumbent” yang dinilai ingin mempertahankan eksistensi politik melalui program sinterklas.

Namun di lain pihak, BLSM dinilai akan mampu meminimalisir dampak psikologis masyarakat terhadap kenaikan harga BBM yang berimbas pada kenaikan kebutuhan sehari-hari, dan program diharapkan tepat sasaran agar tidak menimbulkan masalah sosial yang baru.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan kompensasi untuk rakyat miskin pasca-pengurangan subsidi untuk BBM mutlak diperlukan, agar dampak kenaikan harga BBM subsidi tidak terlampau memberatkan.

Ia menekankan, pemerintah tidak ingin mengulangi kesalahan serupa seperti yang terjadi ketika pembuat kebijakan menaikkan harga BBM subsidi pada 2005.

“Pengalaman kita pada 2005 kemiskinan meningkat menjadi 17 persen. Jadi pengalaman-pengalaman itu harus jadi pelajaran. Kita tidak ingin akibat kebijakan, masyarakat miskin terkena dampaknya,” kata Hatta.

Sebelumnya pemerintah telah mengajukan anggaran untuk empat kompensasi kenaikan harga BBM subsidi kepada DPR yakni bantuan langsung tunai (BLT) yang namanya berganti menjadi bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), kemudian akan ditambahkan dengan program bantuan sosial yang sudah ada, seperti Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Keluarga Harapan (PKH), dan Beras Miskin (Raskin).

Hatta mengatakan, kali ini pemerintah juga telah melakukan survei untuk mengurangi dampak buruk dari kebijakan kenaikan harga BBM subsidi.

“Kami harap sekarang jauh lebih baik dalam hal persiapan karena survei dan simulasi sudah dilakukan dan tingkat ketepatannya yang tinggi. Jadi 40 persen masyarakat di garis terbawah kemiskinan menjadi sampel secara random dan diproyeksikan tepat,” kata Hatta.

Empat Bulan Panitia Kerja Belanja Pusat Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dan Kementerian Keuangan telah sepakat bahwa dana program percepatan dan perlindungan sosial sebesar Rp12,6 triliun.

Pemerintah dan DPR sekaligus setuju bantuan langsung masyarakat sebesar Rp9,3 triliun, dan infrastruktur dasar Rp6 triliun dengan total dana kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp27,9 triliun.

Anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Golkar, Satya W Yudha, mengatakan program perlindungan sosial terdiri dari program bantuan siswa miskin Rp7,5 triliun, program keluarga harapan Rp700 miliar, subsidi pangan atau beras untuk rakyat miskin Rp4,3 triliun.

Sementara dana pelaksanaan program khusus terdiri dari bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) selama empat bulan sebesar Rp9,3 triliun dan dana infrastruktur dasar Rp6 triliun.

“Pemerintah semula minta BLSM untuk 5 bulan, akhirnya disepakati dana itu diberikan selama 4 bulan, menghemat sekitar Rp2 triliun,” kata Satya.

Ketua Badan Anggaran DPR RI Ahmadi Noor Supit menambahkan bantuan akan diberikan dalam dua tahap, akhir Juli dan akhir September.

“Jumlah penerima bantuan sebanyak 15,5 juta rumah tangga sasaran dengan nominal perbulan sebesar Rp150.000,” katanya.

Dan pasca-kesepakatan antara pemerintah dengan DPR terkait program kompensasi pengurangan subsidi BBM termasuk BLSM, sejumlah pemerintah daerah mulai sibuk memetakan calon para penerima program dari kalangan masyarakat miskin.

Banyak yang berharap BLSM benar-benar tepat sasaran dengan pola penyaluran yang bermartabat dan tidak menimbulkan masalah sosial yang baru, misalnya memberikan prioritas kepada para lansia miskin untuk mengakses bantuan tidak secara berdesak-desakan sehingga justru membahayakan jiwa mereka.

Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) Sri Puryono mengatakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng, mulai memetakan masyarakat yang akan mendapatkan BLSM.

Ia mengatakan, setiap daerah diminta mengusulkan jumlah warganya yang dinilai berhak menerima BLSM ke pemerintah pusat. “Daerah-daerah yang akan mengusulkan siapa saja penerimanya. Sehingga arahnya jelas,” katanya.

Pemprov Jateng kini sedang menunggu petunjuk teknis pemilihan penerima BLSM meliputi kriteria dan kuota yang disediakan pemerintah pusat.

“Setelah petunjuk turun, pemprov baru bisa bergerak meminta data dari pemerintah kabupaten kota. Dalam waktu dekat, pemerintah pusat juga akan memanggil gubernur dari seluruh Indonesia untuk membicarakan mekanisme pencairan,” katanya.

Tolak Pengurangan Subsidi Meski implementasi BLSM hanya tinggal menunggu waktu saja, namun reaksi berbagai kalangan menyeruak beragam mengingat pro dan kontra dianggap sebagai hal yang biasa di negara demokrasi.

Sejumlah elemen mahasiswa di berbagai daerah masih ada yang memprotes pengurangan subsidi BBM, demikian juga Partai Keadilan Sejehtara yang menggelar sejumlah spanduk penolakan BBM.

Namun, masyarakat harus disadarkan bahwa selama ini subsidi BBM lebih banyak dinikmati masyarakat mampu karena dari Rp240 triliun anggaran subsidi BBM, sekurang-kurangnya Rp170 triliun tidak tepat sasaran. Itu artinya, sekitar 70 persen subsidi BBM dinikmati kalangan mampu yang justru tidak berhak atas subsidi itu.

Jika dana sebesar Rp170 triliun itu dialihkan untuk subsidi pendidikan dan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, tentu akan jauh lebih bermanfaat.

Adanya harga BBM subsidi itu menimbulkan masalah penimbunan dan penyelundupan BBM bersubsidi dan akhirnya dinikmati orang asing.

Pengamat Ekonomi Energi dari Green Economy Darmawan Prasodjo mengusulkan, agar ada solusi permanen yang bisa diandalkan untuk mendapatkan bahan bakar murah misalnya dengan etanol dari tetes tebu dan singkong.

Ia mengusulkan penggunaan salah satu energi yang dinilainya pro-rakyat yakni ethanol sebagai bahan bakar yang dalam perhitungannya mampu menghemat Rp40 triliun subsidi, sekaligus bisa menggerakkan ekonomi di desa-desa dengan memobilisasi petani untuk menanam tanaman penghasil etanol.

“Penghematan ini bisa dialihkan misalnya untuk membangun kapitalisasi BUMN yang menangani produksi ethanol sehingga bisnisnya akan bergerak cepat dan likuid dalam menyediakan bahan bakar murah,” katanya.

Betapapun dianggap mempunyai keuntungan politis menjelang Pemilu 2014, masyarakat miskin tanah air memerlukan solusi tercepat dalam jangka pendek ini sehingga BLSM seakan menjadi program yang tak terelakkan.

Daya beli mereka harus tetap dijaga agar tetap baik sehingga mimpi si miskin untuk tetap bisa membeli sesuatu di tengah ancaman inflasi tinggi tetap bisa diwujudkan.

Sepanjang segalanya bermartabat, manusiawi, tepat sasaran, dan antikorupsi. INT-MB