Dhamantra di Buleleng

Buleleng (Metrobali.com)-

Pembangunan di Bali masih timpang antara belahan selatan dengan belahan barat, utara, dan timur, serta antara sektor kota dan pedesaan  Ketimpangan ini membuat Bali masih banyak mengantongi warga miskin dan urbanisasi. Perlu mendorong penerapan pembangunan berbasis kabupaten/kota, menarik dicermati. Untuk itu, sejumlah langkah yang mesti diperbuat agar seluruh krama Bali bisa menikmati imbas kemajuan ekonomi dan pariwisata. Demikian catatan Simakrama Nyoman Dhamantra di sejumlah desa di Buleleng dan sekitar, sejak Kamis-Jum’at 13-14/2/2014.

Menurut Nyoman Dhamantra, pemerataan pembangunan Bali Selatan dengan Utara dan belahan lain harus mengacu pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Bukan pencapaian pertumbuhan ekonomi semata, seperti yang tercermin dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), atau diatas angka-angka.

“Pendapatan menengah dan rendah di Bali bagian utara, barat dan timur harus ditingkatkan. Sebab, bicara pemerataan harus dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), bukan  semata pertumbuhan phisik yang dicapai. Pola Ini bisa dimulai dari meningkatkan kesehatan masyarakat, pendidikan dan pendapatan rumah tangga,” katanya, mengawali Simakrama di Balai Dinas Br. Pejarakan Desa Pejarakan, Kec. Gerokgak, Buleleng,

IPM merupakan suatu indikator yang menjelaskan bagaimana penduduk suatu wilayah mempunyai kesempatan untuk mengakses hasil dari suatu pembangunan sebagai bagian dari haknya dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. “Nilai IPM ini menunjukkan seberapa jauh wilayah tersebut telah mencapai sasaran yang ditentukan yaitu angka harapan hidup (sampai usia 85 tahun), pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat tanpa kecuali, lingkungan hidup yang sehat, serta tingkat produksi dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup layak,” kata Nyoman Dhamantra.

Dalam kesempatan tersebut, Kepala Desa, I Made Dinas, yang diikuti sejumlah tokoh masyarakat seperti IWayan Nama, Wayan Jana, dan  Nyoman Sudiarta mepertanyakan  soal porsi APBN/D di Provinsi Bali yang timpang, sehingga “daerah yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin”. Pertanyaan senada juga muncul dari tokoh Desa Bantas dan Desa Musi, yang difasilitas anggota DPRD Buleleng, I Nyoman Adnyana. Sekaligus mempertanyakan langkah-langkah Dhamantra, selaku wakil rakyat seperti apa yang tertuang dalam buku: “Berjuang Merebut Hak Bali”, yang dibagikan kepada segenap hadirin di setiap simakrama.

Semua itu bermuara pada proses politik, dimana rakyat harus pilih memimpin yang mampu memikirkan kemajuan Bali, baik secara politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, sampai pertahanan dan keamanan.  “Tidak hanya berpegangan dengan pertumbuhan ekonomi, tetapi pemerataan dan stabilitas ekonomi (sustainable economic). Dimana, selain melakukan pemerataan dari segi pendapatan per kapita masyarakat yang timpang antara masyarakat di Bali Utara yakni Kabupaten Buleleng, Negara, Karangsem, dan Klungkung dibandingkan Bali Selatan seperti Badung, Denpasar dan Gianyar, melalui program jangka pendek “cash for work” dalam berbagai hibah dan bantuan sosial (Bansos), perlu diikuti dengan program jangka menengah dalam membangun kemandirian dan kedaulatan ekonomi rakyat,” jelasnya lebih jauh.

Untuk itu, melaui tema “Berjuang Merebut Hak Bali”, Dhamantra mengusulkan penerapan otonomi daerah “asimetris”, dengan merevisi UU Provinsi Bali No. 64/1958, sehingga Pemerintah provinsi, kabupaten/kota, serta Desa dapat  bersinergi. Tidak cukup hanya visi dan misi di provinsi saja, tetapi diperlukan koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota, serta. Sekaligus menghilang ego daerah dan sektoral, yang selama ini dominan dalam  pemerintahan dan pembangunan di Bali. RED-MB