Ditulis Oleh : I Dewa Putu Gandita Rai Anom

Ruang Sidang Utama Pengadilan Negeri (PN) Denpasar kembali ramai oleh pengunjung. Ruangan yang cukup lebar itu penuh padat oleh pengunjung. Maklum, di hari terakhir bulan, Kamis, 31 Mei 2012 itu digelar sidang lanjutan gugatan Gubernur Bali Made Mangku Pastika kepada Bali Post dengan agenda penyampaian kesaksian dua saksi ahli terakhir yang diajukan penggugat Gubernur Mangku Pastika.

Seperti sidang tanggal 24 Mei 2012, Amzer Simanjuntak, SH kembali memimpin sidang yang menyedot perhatian itu didampingi dua hakim anggota dan seorang panitera. Saksi ahli yang diajukan Gubernur adalah Prof. Aloysius R dan Prof Dr. Samsul Wahidin, SH, MH. Keduanya guru besar Universitas Merdeka, Malang, Jawa Timur.

Penulis tidak sempat mengikuti kesaksian saksi ahli pertama. Namun, kesaksian saksi ahli kedua, Prof. Dr. Samsul Wahidin, SH, MH ternyata tak kalah menarik dibandingkan kesaksian yang disampaikan saksi ahli Prof. Dr. Drs. Tjipta Lesmana, MA dalam sidang 24 Mei 2012 lalu untuk dijadikan bahan pembelajaran kita semua.

Dalam sidang sebelumnya Tjipta Lesmana dengan jelas mengatakan Bali Post melakukan pelanggaran berat dan kesalahan fatal, dalam sidang 31 Mei 2012 lalu Prof. Samsul Wahidin tidak secara gamblang mengatakan nama media Bali Post melakukan pelanggaran dan kesalahan. Tetapi Prof. Samsul Wahidin dengan tegas dan jelas juga mengatakan bahwa pemuatan berita yang tidak sesuai fakta alias berita bohong adalah perbuatan melawan hukum.

Berdasarkan hasil penelurusan penulis di jejaring internet, suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum  apabila suatu perbuatan itu memenuhi empat unsur, yakni : Pertama, adanya suatu perbuatan. Perbuatan disini meliputi perbuatan aktif (berbuat sesuatu) maupun pasif (tidak berbuat sesuatu), padahal secara hukum orang tersebut diwajibkan untuk patuh terhadap perintah undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (public order and morals).

Kedua, perbuatan tersebut melawan hukum. Artinya, manakala pelaku tidak melaksanakan apa yang diwajibkan oleh undang-undang, ketertiban umum dan atau kesusilaan, maka perbuatan pelaku dianggap telah melanggar hukum sehingga mempunyai konsekwensi tersendiri yang dapat dituntut oleh pihak lain yang merasa dirugikan.

Ketiga, adanya kerugian bagi korban yang terdiri dari kerugian materil dan kerugian immateril. Akibat suatu perbuatan melawan hukum harus timbul adanya kerugian di pihak korban sehingga membuktikan adanya suatu perbuatan yang melanggar hukum secara luas.

Keempat, adanya  hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Hubungan kausal merupakan salah satu ciri pokok dari adanya suatu perbuatan melawan hukum.

Akibat dari perbuatan melawan hukum – sebagaimana diatur pada Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1367 KUHPerdata — secara yuridis mempunyai konsekwensi terhadap pelaku maupun orang-orang yang mempunyai hubungan hukum dalam bentuk pekerjaan yang menyebabkan timbulnya perbuatan melawan hukum. Disebutkan pula bahwa akibat yang timbul dari suatu perbuatan melawan hukum akan diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian terhadap korban yang mengalami.

Penggantian kerugian sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum, sebagaimana telah disinggung diatas, dapat berupa penggantian kerugian materiil dan immateriil. Lajimnya, dalam praktek, penggantian kerugian dihitung dengan uang atau disetarakan dengan uang, disamping adanya tuntutan penggantian benda atau barang-barang yang dianggap telah mengalami kerusakan/perampasan sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum pelaku.

Penggantian kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan melawan hukum, secara teoritis, diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu : kerugian yang bersifat actual (actual loss) dan kerugian yang akan datang. Kerugian yang bersifat actual adalah kerugian yang mudah dilihat secara nyata atau fisik, baik yang bersifat materiil dan immateriil. Kerugian ini didasarkan pada hal-hal kongkrit yang timbul sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pelaku.

Dalam hal pemberitaan Bali Post tanggal 19 September 2011, kerugiaan aktual – apabila kerugian ini dapat diartikan sebagai kerugian yang dapat dideteksi dengan panca indera — yang diderita Made Mangku Pastika baik selaku Gubernur Bali maupun figur tokoh masyarakat Bali adalah, adanya kecaman yang dimuat media massa (Bali Post) sebagai akibat yag dapat dilihat dan dibaca secara nyata. Kerugian aktual lainnya adalah kecaman yang disampaikan masyarakat pada siaran televisi yang ditayangkan Bali TV pada tanggal 19 September 2011 sore.

Sedangkan kerugian yang bersifat dimasa mendatang adalah kerugian-kerugian yang dapat diperkirakan akan timbul dimasa mendatang akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pihak pelaku. Kerugian ini seperti pengajuan tuntutan pemulihan nama baik melalui pengumuman di media cetak dan atau elektronik terhadap pelaku.

Prof Samsul Wahidin mengemukakan, ketentuan hukum di Indonesia sudah sangat tegas dan jelas memerintahkan agar semua berita yang dimuat media massa didasarkan pada fakta. Bukan hasil mengarang apalagi menjiplak (plagiat). Ketentuan hukum itu adalah UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Pers menyebutkan, pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.  Sementara ketentuan Pasal 6 menyebutkan bahwa pers nasional memiliki lima peranan, yaitu : (1) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; (2) menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; (3) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; (4) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan (5)memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dari ketentuan UU Pers tersebut, jelas terlihat bahwa pemberitaan Bali Post tanggal 19 September 2011 adalah perbuatan melawan hukum, khususnya Hukum Pers yang diatur dengan UU Pers, khususnya ketentuan Pasal 6 poin c. Dalam pemberitaan tanggal 19 September 2011 itu, Bali Post telah memuat dan kemudian setelah tanggal 19 September 2011 itu  mengembangkan pendapat umum tetapi tidak berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.

Informasi penting lain yang penulis dapatkan dari sidang tanggal 31 Mei 2012 adalah bahwa tidak ada batasan mengenai besarnya tuntutan ganti rugi dalam gugatan perdata. Itu sebabnya, saksi ahli tidak mempersoalkan jika Gubernur Made Mangku Pastika menggugat Bali Post dan menuntut ganti rugi hingga Rp.150 miliar.

Saksi ahli juga menegaskan, tidak ada keharusan untuk menyelesaikan sengketa perdata pers menggunakan ketentuan Undang-Undang Pers terlebih dahulu baru kemudian disusul dengan ketentuan Undang-Undang Perdata karena UU Pers bukanlah undang-undang khusus. Itu berarti, jika Bali Post dinyatakan sebagai pihak yang bersalah dalam kasus ini, maka ia harus membayar ganti rugi senilai tuntutan ganti rugi yang diajukan Gubernur  Made Mangku Pastika sebesar Rp150 milyar plus pemuatan permintaan maaf sebanyak selama yang dituntut Gubernur, dan bukan Rp500 juta sebagaimana nilai ganti rugi maksimal yang ditentukan dalam UU Pers Tahun 1999.

Sidang lanjutan kasusu ini dilanjutkan kembali Kamis, 7 Juni 2012 dengan agenda penyampaian kesaksian oleh saksi fakta dari pihak tergugat (Bali Post). (**)