Oleh I Gde Sudibya
Apakah ada benang merah kaitan antara Narendra Modi, Hare Krishna (HK) di Bali dan tokoh di balik HK? Dalam sepak terjang politik tampaknya kerap kali menggunakan sentimen agama Hindu dan fanatisme kedaerahan untuk mendulang dukungan. Dan, strategi menghipnotis anak anak muda dengan sentimen agama dan berpura pura menjadi pahlawan pelindung budaya dan agama Hindu di Bali ternyata sangat berhasil. Terbukti dengan memakai politik fanatisme tokoh di balik penyebaran masif HK di Bali ternyata berhasil meraih dukungan yang signifikan.
Mengidolakan Narendra Modi dari BJP dengan garis politik keras berbasis fanatisme agama sangat tidak cocok bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi nilai pluralisme, perbedaan pendapat dan penyelesaian masalah berdasarkan musyawarah dan mufakat.
Ideologi kebangsaan negeri ini, yang lahir dari pergulatan panjang pemikiran The Founding Fathers kita, sangat dekat dengan ideologi kebangsaan  Partai Kongres yang didirikan Bapak Pendiri India Mahatma Gandhi dan J Nehru. Ada hubungan batin yang sangat kuat antara Soekarno, Hatta, Sjahrir dengan kedua Bapak Pendiri India di atas. Bahkan Sjahrir muda pada saat belajar Sekolah Hukum di Belanda, sangat terinspirasi dengan kekuatan moral ( moral force ) dari perjuangan politik Gandhi. Inspirasi ini terus terbawa sampai pejuang demokrasi humanis ini menjadi Perdana Menteri pertama Republik.
“Mengimpor” fundamentalisme agama model BJP ke negeri ini, sama dengan “bunuh diri” secara politik karena bertentangan dengan Konstitusi dan musuh besar nan kuat fundamentalisme agama lain di pelupuk mata. Sekaligus mengingkari jasa para pejuang kemerdekaan, yang tidak sedikit berkorban dalam rangkaian puputan di Bumi persada ini.
Berhentilah bermain api politik, dengan risiko kita bisa kehilangan semuanya  bahkan terancam punah, mengambil cermin dari sebuah suku asli di Suriah, yang mengalami pembasmian etnis karena berbeda agama dengan para pembrontak yang menang dalam pertempuran.
Narendra Moodi pemimpin BJP dengan garis politik fanatisme agama, menggunakan isu agama yang cendrung radikal, seperti Trump di AS dan Bosaloreno di Brasil. Radikalisme nyaris identik dengan fanatisme. BJP dalam banyak kebijakan ingin mengembalikan India ke masa lalu, misalnya sangat membatasi hak-hak perempuan.
Kampanye partai ini sangat memprovokasi, dan membuat tidak nyaman kelompok minoritas Islam di sana. Sampai saat ini, jumlah kelompok ini 200 juta orang, hampir setara dengan penduduk Indonesia. Garis politik dan ideologinya nyaris berseberangan dengan Partai Kongres yang didirikan Bapak Pendiri India Gandhi dan Nehru.

Lain lagi aliran HK dengan guru sucinya Prabupada. Setelah membaca  Bhagavad Gita dari Prabupada 3 kali, untuk lebih memahami maknanya.
Menurut penilaian penulis, Bhagvad Gita versi HK ini cendrung dibuat  menjadi dogma, mengklaim kebenaran tunggal, yang menurut penulis kurang pas dalam tradisi Veda/ Vedanta, yang memberikan tempat tinggi untuk pengembangan rasionalitas. Untuk pilihan keyakinan teman-teman HK, sah sah saja.
Memaksakan kepercayaan tunggal di negara yang prulisme ini tentu sangat berbahaya. Apalagi membawa bawa nama Hindu yang di Indonesia pemeluknya minoritas. Yang nanti sangat dirugikan, tentu pemeluk agama minoritas. Di sini perlu edukasi yang benar terhadap anak muda terutama dalam menghormati dan menjaga pluralisme ini.
Tetapi demikian bersinggungan dengan tradisi budaya lokal, semestinya diperlukan sikap kehati-hatian, supaya tidak menimbulkan salah pengertian dan juga salah tampi. Keterbukaan komunikasi diperlukan, dialog menjadi penting, sudah tentu dengan kerendahan hati. Dengan dialog, pengetahuan keagamaan krama menjadi lebih kaya: teologi, filsafat dan juga sosiologi agama. Jembatan dialog juga menurunkan tensi prasangka.

Kita yang mencoba memegang teguh tradisi, harus menguasai basis sastra dari tradisi ini, sehingga cukup punya rasa percaya diri untuk melakukan dialog dan selalu membuka diri terhadap pengetahuan konstruktif sejalan dengan semangat zaman.
Jangan cepat bilang : ” anak mula keto “, sebagai sikap permisif kita yang cendrung enggan dan malas belajar sastra kehidupan. Ada keberanian untuk melakukan otokrotik terhadap tradisi, dengan jiwa besar meninggalkan tradisi lama yang telah usang, punya kegairahan untuk melestarikan tradisi yang masih relevan, menciptakan sikap dan prilaku baru yang kemudian menjadi tradisi baru.
Di sini diperlukan lembaga yang kredibel untuk melakukan seleksi budaya ini. Ada integritas diri yang terjaga, dan siap berkorban untuk meninggalkan tradisi lama yang tidak lagi relevan, yang selama ini kita menikmati kenyamanannya.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, Ketua Pusat Kajian Hindu ( The Hindu Centre ) dan Ketua FPD.( Forum Penyadaran Dharma ), Denpasar.