Pasukan anti huru-hara siaga di kota Jayapura, Papua, Senin (23/9).

Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda hari Selasa (24/9) menyerukan agar Komisaris Tinggi HAM PBB berkunjung ke Papua Barat untuk melihat sendiri keadaan di kawasan itu setelah pemerintah Indonesia mengirim 16.000 orang pasukan keamanan tambahan ke sana.

“Tahun 2019 telah menjadi tahun terburuk dalam pendudukan ilegal yang dilakukan Indonesia sejak hampir enam dasawarsa,” kata pernyataan Benny Wenda yang dirilis oleh pembantunya Connor Woodman.

“Terjadi pembantaian dan aksi kekerasan yang dilakukan sebagai akibat penambahan 16.000 orang tentara Indonesia sejak bulan Agustus,” kata Wenda.

Kantor berita Associated Press melaporkan hari Selasa sedikitnya 20 orang tewas akibat kerusuhan di Papua sehari sebelumnya, termasuk tiga orang yang ditembak polisi dalam aksi protes yang disertai kekerasan yang melibatkan ratusan orang.

Sebelumnya Kapolda Papua Brigjen Pol Rudolf Albert Rodja mengatakan, massa yang mengamuk membakar gedung-gedung pemerintah, toko, rumah, serta sejumlah mobil dan sepeda motor di beberapa jalan menuju kantor Bupati Wamena.

Rodja mengatakan, protes dipicu oleh tuduhan bahwa seorang guru SMA di Wamena yang bukan berasal dari Papua menyebut seorang pelajar penduduk asli Papua sebagai monyet pekan lalu. Rodja mengatakan, setelah diselidiki, ternyata berita itu merupakan hoax.

Tapi Benny Wenda, yang kini tinggal di Oxford, Inggris mengatakan, aksi itu dipicu oleh ujaran kebencian yang disampaikan oleh seorang guru di Wamena.

Dalam pernyataan persnya, Wenda mengatakan, “Tiba waktunya Komisaris Tinggi PBB Urusan HAM berkunjung ke Papua Barat, sesuai dengan komunike Forum Negara-negara Kepulauan di Pasifik yang dikeluarkan tanggal 16 Agustus lalu.

“Saya menyerukan kepada Presiden (Joko) Widodo untuk mengizinkan Komisaris Tinggi HAM PBB itu berkunjung ke Papua. Waktunya (untuk berkunjung) adalah sekarang, jangan ditunda-tunda lagi,” tambahnya. (ii/em) (VOA)