ADA beberapa pertanyaan yang menarik dicari jawabannya. Pertama, kenapa soal pemilih mewakilkan di Karangasem dianggap melanggar asas luber oleh Hasto dkk. Dan jadi amunisi untuk melakukan eksaminasi? Apa dampak eksaminasi bagi eksistensi Pilgub Bali. Kedua, kenapa, Hasto Kristiyanto dan kawan-kawan masih getol menyorot bahwa ada unsur suap dalam Pilgub Bali? Benarkah ada dasarnya? Kedua, jika ada suap misalnya, bagaimana nasib pasangan terpilih?

=================================

Pemilih Mewakilkan

Mari kita cerna ungkapan Hasto Kritianto sebagaimana dilansir Okezone.com Sabtu 2 November 2013:

Putusan kontroversial yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pilgub Bali 2013, dinilai dapat membahayakan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu 2014 mendatang. “Tahun 2014 itu transisi kepemimpinan. Kami waspadai ada ancaman serius dan ini dapat ciptakan resiko politik, kalau tidak cermat kejadian di Mesir,” ujar Wasekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristianto, dalam jumpa pers yang digelar di kantor MMD Initiative, Matraman, Jakarta Pusat, Sabtu (2/11/2013).
Dalil hukum dalam putusan pada 20 Juni 2013 tersebut telah melanggar asas one man one vote, yakni pemilih dapat memilih lebih dari satu kali dengan cara diwakilkan.
Putusan yang diambil Akil Mochtar pada saat itu, menyatakan, cara tersebut sudah dilakukan sejak Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden serta Pemilukada Kabupaten, dan tidak pernah dipermasalahkan, sehingga dalil Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum.
Sebab itu, Hasto mengatakan isi putusan MK menyatakan bahwa pemungutan suara dapat dilakukan dengan cara perwakilan, asalkan ada kesepakatan, asas kemanfaatan, tidak dimanipulasi dan tidak dipersoalkan. ( Okezone.com sabtu/2/11/2013)

                Dalam persidangan MK memang bisa dibuktikan terdapat 14 TPS yang pemilihnya mewakilkan, bukan 138 sebagaimana digembar-gemborkan selama ini. Namun demikian, MK dalam putusan Nomor 62/PHPU.D-XI/2013 pada halaman 280 butir pertimbangan mahkamah menyebutkan:

Berdasarkan pertimbangan atas bukti dan fakta hukum tersebut di atas, pemilih  yang  memilih  lebih  dari  satu  kali  dalam  konteks  mewakili  keluarga  serta tidak bersifat manipulatif, menurut Mahkamah memang benar terbukti, namun hal itu  sudah  dilakukan  pada  Pemilu-Pemilu  sebelumnya  dan  tidak  pernah dipermasalahkan sehingga dapat diterima. Adapun pemilih yang memilih lebih dari satu kali dengan motivasi manipulatif adalah tidak dibenarkan dan harus diproses lebih  lanjut  berdasarkan  peraturan  perundang-undangan  yang  berlaku.  Oleh karena itu, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

MK ingin menegaskan bahwa kendati ada pemilih mewakilkan, namun tidak manipulatif (berbeda dengan pemilih di Bungkulan yang mecoblos 100 kali yang bersifat manipulatif). Yang kedua, ada asas manfaat karena pemahaman MK bahwa daerah dimaksud topografinya amat sulit untuk datang ke TPS. Yang ketiga, kebiasaan ini sudah berlaku berkali-kali dari Pemilu ke Pemilu sebelumnya dan tak pernah ada masalah. Yang keempat, kedua belah pihak (saksi PAS dan Pastikerta di TPS dan PPS) sepakat dengan model pemilih mewakilkan ini. Itulah sejumlah alasan kenapa akhirnya MK menilai dapat menerima kebiasaan di sana kendati MK juga menegaskan agar di masa depan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. MK juga menegaskan bahwa masalah ini bersifat kasuistis dan tidak berlaku umum. Dengan demikian, kegaduhan Hasto bahwa fenomena ini akan mengancam Pemilu 2014 tidak beralasan. Secara lengkap Ketua MK (Inilah.com/8/11/2013) menyatakan sebagai berikut:

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengatakan sistem pemungutan suara dengan sistem perwakilan tidak hanya terjadi dalam Pemilihan Gubernur Bali. Beberapa daerah juga terjadi sistem perwakilan seperti di Papua dengan sistem Noken. Namun sistem tersebut tidak berlaku secara umum.  “Jadi memang ada dalam putusan MK itu dimungkinkan, salah satu contohnya adalah sistem noken di Papua. Sistem noken itu pemberian suara cukup diwakili dan sistemnya tidak langsung seperti dalam proses pemungutan suara di tempat lain. Dalam banyak sebenarnya putusan-putusan MK yang memungkinkan model seperti itu bukan saja Bali,” ujar Hamdan Zoelva di gedung MK, Jakarta, Jumat (8/11/2013).
Hamdan menambahkan, setiap sengketa pilkada berbeda penanganannya. Tergantung dalam kasus yang terjadi di masing-masing daerah. “Tergantung pada kasusnya. Jadi kalau memang bisa dibuktikan dari sejak pemilu legislatif, pemilu presiden dan lainnya yang selama ini diwakilkan dan semua pihak tidak keberatan itu dimungkinkan. Tapi itu dalam kasuistis jadi bukan kasus yang umum,” paparnya.

 

Saya ingin mengatakan bahwa tak semua yang tertulis di putusan mewakili analisis hakim MK secara keseluruhan. Dalam arti ada hal-hal tertentu yang juga menjadi dasar pijakan. Dalam pandangan saya, faktanya memang ada pemilih mewakilkan. Faktanya juga kedua belah pihak sepakat pemilih mewakilkan dan berlaku untuk PAS maupun Pastikerta. Faktanya juga saksi kedua pihak meneken C1 dan D1 baik di TPS dan di desa. Namun kenapa kemudian dipersoalkan hanya karena secara normatif dinilai bertentangan UU? Bagaimana jika kubu PAS yang menang, apakah ini juga akan dimasalahkan? Dalam konteks inilah (pengalaman saya jadi konsutan politik di MK), saya berkeyakinan majelis hakim paham mana pengacara yang sengaja mencari-cari persoalan di lapangan karena pihaknya kalah. Dan mana sebuah persoalan yang memang layak diberi putusan normatif. Dalam konteks Pilgub Bali, amat  terbaca Arteria Dahlan sedemikian rupa menyusun gugatan agar bisa menyoal hasil. Awalnya, hasil C1 dipersoalkan. Arteria mundur karena keder tahu data C1 milik KPU, Bawaslu dan Pastikerta sama. Artinya kalau menyoal selisih suara dengan menyandingkan C-1 pihaknya pasti kalah. Maka, dicarilah, masalah pemilih mewakilkan ini –yang sejatinya di lapangan bukan masalah.

Sebagai ilustrasi sama halnya kasus jalur busway. Tidak boleh dilalui kendaraan. Namun polisi yang berjaga lalu membolehkan saat macet kendaraan umum masuk jalur busway. Secara normatif ini melanggar, namun dari sisi manfaat ia berguna. Begitulah membaca pemilih mewakilkan di 14 TPS. Secara normatif memang melanggar, namun dari sisi manfaat di 14 TPS itu, itulah yang berguna untuk memastikan semua pemilih menggunakan haknya dengan kesulitan topografi. Terbukti polisi (KPPS, panwas, saksi kedua pihak) sepakat. Jadi jika ini terus dimasalahkan, jelas karena kalah maka cari masalah.

 

Eksaminasi

Eksaminasi berasal dari bahasa Inggris yaitu Examination atau dalam kamus bahasa Inggris-Indonesianya sebagai ujian atau pemeriksaan. Jadi istilah eksaminasi tersebut jika dikaitkan dengan produk badan peradilan berarti ujian atau pemeriksaan terhadap putusan pengadilan atau hakim.
Istilah eksaminasi dapat diartikan sebagai pemeriksaan, sehingga eksaminasi putusan peradilan diartikan sebagai pemeriksaan terhadap putusan pengadilan. Istilah eksaminasi sendiri berasal dari kata Belanda, examinatie yang berarti memeriksa dan menilai/menguji putusan badan pengadilan, meskipun sebetulnya dalam hal ini kata anotasi lebih tepat untuk menggambarkan aktifitas tersebut.

Sebagai suatu pengawasan publik, majelis eksaminasi dapat dibentuk oleh masyarakat. Selama ini, kegiatan eksaminasi publik biasanya dilakukan oleh kelompok masyarakat yang terorganisir dan memfokuskan kegiatannya pada pemantauan peradilan. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan masyarakat umum membentuk tim eksaminasi terhadap kasus tertentu. Kelompok ini bisa terlebih dahulu membentuk tim panel yang merupakan kelompok kecil dan mempersiapkan segala kebutuhan eksaminasi, dan kegiatan lain dalam melaksanakan eksaminasi publik. Kemudian tim panel menetapkan kasus yang akan dieksaminasi dan memilih anggota eksaminasi. Faktor utama yang dibutuhkan untuk menjadi tim panel ataupun anggota mejelis adalah integritas dan kredibilitas seseorang, terutama kesungguhan untuk menegakkan supremasi hukum yang memihak/berpihak pada rasa keadilan masyarakat.

Sebagai sebuah kajian akademis, sah-sah saja eksaminasi atas putusan Pilgub Bali dilakukan oleh kelompok masyarakat. Namun demikian, hasil kajian ini hanya memiliki dampak akademis dan tak berdampak hukum. Dalam arti, putusan MK tak berubah karena hasil eksaminasi yang berbeda misalnya.

Benarkah Ada Suap?

                Saya tidak dalam posisi mengetahu 100 persen apakah ada suap atau tidak. Namun saya termasuk orang yang terus menerus tiap hari mengawal kasus ini selama bergulir di MK. Dan saya tidak melihat gelagat pengacara dan pasangan calon berkomunikasi dengan pihak manapun di MK. Logika yang bisa dibangun juga begini. Jika memang ada suap tentu jejak-jejak itu masih tampak, sebagaimana kasus Pilkada Palembang dan Empat Lawang. Lalu tim penyidik KPK segera bergerak memeriksa ruang kerja Walikota Palembang. Jika memang Pilgub Bali ada suap, maka tentu oknum di Bali ada yang segera digeledah jika jejak-jejaknya ada. Lagi pula tak terlalu bodoh PPATK untuk menelusuri aliran dana, pengambilan uang dalam jumlah besar sebelum putusan dikeluarkan (misalnya terhadap rekening salah satu pasangan Pastikerta). Amat gampang melacaknya. Namun hingga hari ini kita tak pernah mendapat info soal itu sehingga saya tetap berkeyakinan tidak ada suap dalam Pilgub Bali.

                Bahwa Hasto mengklaim ada 10 saksi yang siap bersaksi, dan tahu suap, ya silakan saja. Namun dugaan saya saksi yang dimaksud Hasto adalah saksi yang mengetahui pemilih mewakilkan, bukan saksi yang melihat penyerahan uang suap. Biasanya, jika hal seperti terjadi, tak mungkin akan didiamkan oleh Hasto. Pasti ia langsung merangsek ke KPK bersama saksinya.

                Kalau pun kelak benar ada suap, maka proses hukum itu tidak mempengaruhi putusan MK. Putusan MK tetap sah, namun kasus suap itu hanya berdampak pidana tipikor. Jika misalnya penyuapnya salah satu apakah gubernur atau wakil gubernur, maka jabatan yang bersangkutan akan copot dengan sendirinya begitu berstatus terdakwa dan diganti oleh orang lain. Jika gubernur terbukti, maka wakil gubernur naik menjadi gubernur dan wagub baru dipilih oleh DPRD Bali. Namun saya berkeyakinan sejauh ini tidak ada indikasi suap.

Mengapa Ngotot?

                Sejak awal Megawati Soekarnoputri orang yang paling kecewa dan tidak terima jagonya kalah di Bali. Dan konon perintah ke MK pun darinya, kendati elite PDIP di Bali sudah memasrahkan. Nah, jika belakangan ini Hasto terkesan ngotot, saya melihatnya bagian dari skenario sepak terjang politik pribadinya untuk meraih rapor bagus di mata Mega. Ia ingin dinilai sebagai kader yang sungguh-sungguh dan serius mengawal kasus yang menjadi atensi Megawati. Tidak lebih. Dan saya kira dalam situasi PDI Perjuangan naik daun karena Jokowi effect, fenomena sejumlah kader jadi berlomba-lomba muncul ke permukaan saya kira sah-sah saja. Siapa tahu di Kongres mendatang bisa menjadi sekjen atau mungkin bisa meraih jabatan menteri jika kandidat capres PDI Perjuangan menang Pemilu Presiden.

Hanya, saya sesalkan, kasus Pilgub Bali terus digunakan sebagai amunisi, menunjukkan fakta betapa elite PDI Perjuangan sebenarnya tidak sayang Bali. Jika memang sayang Bali, tentu akan berfikir seluruh dampak politik akibat kasus ini digunakan sebagai amunisi politik. Jika esok hari gara-gara kasus ini lalu, Bali bergolak dan rusuh, apa mereka mau bertanggung jawab seperti rusuh 1999 ketika Mega tak bisa jadi Presiden? Toh akhirnya rakyat Bali yang harus memikul beban, dan membangun kembali seluruh infrastruktur yang luluh lantak itu. Pelan-pelan. Tak sepeserpun bantuan dari mereka mengucur. Nah!

Oleh I Gusti Putu Artha

Penulis, mantan Konsultan Politik Pastikerta, anggota KPU 2007-2012 kini aktif sebagai pembicara, konsultan politik dan wiraswasta.